Mohon tunggu...
Mustofa B. Nahrawardaya
Mustofa B. Nahrawardaya Mohon Tunggu... profesional -

Saya Pendatang Baru di Kompasiana\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Salah) Arah Deradikalisasi Terorisme

11 Oktober 2011   17:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:04 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


SEHARI sebelum 'Bom Solo' meledak, saya kedatangan seorang tamu dari Australia. Alan Foulkes, seorang Senior Analyst, Southeast Asian Terrorism, Office of National Assessments (ONA)--suatu unit di bawah Perdana Menteri yang menyediakan laporan-laporan kepada Pemerintah Australia atas masalah-masalah internasional yang berhubungan dengan Australia. Kehadirannya ke Indonesia, dimaksudkan untuk meng-update informasi seputar perkembangan terorisme, karena diakuinya sudah 4 tahun lamanya yang bersangkutan tidak lagi mengunjungi Indonesia. Bertempat di kantor saya di Menteng, percakapan pun berlangsung cukup hangat, meski terdapat beberapa perbedaan pendapat cukup tajam dari Alan Foulkes dengan apa yang saya yakini soal terorisme. Sayangnya, percakapan memang tidak bisa panjang karena Alan harus segera ke Singapura untuk urusan yang sama.


Pada pertemuan itu, salahsatu poin penting yang saya catat adalah adanya kekhawatiran Alan atas perbedaan sudut pandang saya terhadap terorisme di Indonesia selama ini. Adanya perbedaan sudut pandang terhadap kasus terorisme, bagi Alan ternyata cukup mengkhawatirkan. Alan berterus terang, bahwa pandangan yang bersifat mengkritik langkah deradikalisasi terorisme, bisa dianggap sebagai bentuk persetujuan atas tindakan radikal di manapun.


Untuk itu, pada kesempatan tersebut saya menjelaskan sedikit gambaran, bahwa sejak maraknya bom teroris di Indonesia, maka sangat banyak kerugian yang harus diterima oleh umat Islam di Indonesia, meski teror yang terjadi, ‘pelakunya’ hanya segelintir orang yang beragama Islam. Korban-korban terorisme, bukan lagi korban-korban saat peristiwa teror berlangsung, namun lebih dari itu, banyak fenomena menyedihkan yang terjadi pasca peristiwa teror terjadi.


Ada sekolah yang semula menggunakan label “Jihad” dalam institusi Lembaga Islam itu, namun setelah marak bom, maka sekolah yang menggunakan embel-embel “Jihad” ini akhirnya nyaris roboh gedungnya. Siswanya sudah kosong, dan tidak ada lagi aktifitas di dalamnya. Betapa, banyak orangtua yang kini tidak lagi tertarik untuk memasukkan anaknya ke pesantren dan sekolah Islam, dengan alasan takut terjerumus dalam aliran sesat dan aliran radikal. Tidak hanya Lembaga Islam yang mulai ketakutan menggunakan label Jihad di dalam nama institusinya, ada juga kasus nama aktifitas sebuah Yayasan Islam yang terpaksa mengganti nama “Jamaah” menjadi kata lain agar tidak terkesan radikal. Dua kalimat: yakni Jihad dan Jamaah, rupanya mulai menjadi momok bagi sebagian umat Islam sendiri.


Saya tekankan, bahwa mainstream korban terorisme, mungkin adalah korban fisik saat bom meledak. Misalnyaorang-orang meninggal, orang yang luka-luka, dan sebagainya. Atau gedung runtuh, kaca berantakan, dan sebagainya. Namun, pada kisaran waktu panjang, ternyata korban terorisme yang lebih besar adalah mulai rusaknya sendi budaya, agama, sosial, pendidikan dan juga ekonomi. Saya malah pernah melihat sebuah program acara di sebuah saluran berbayar di televisi,Indonesia malah sudah dicap sebagai negara yang disebut sebagai rawan teroris seperti halnya di beberapa negara Timur Tengah, lengkap dengan gambar-gambar video ledakan Bom Bali 1 dan Bom Bali 2, maupun Marriott 1 dan Marriott 2. Tidak pernah terpikir oleh saya, soal potongan-potongan viceo bom yang kemudian menjadi narasi kesimpulan program acara televisi dunia, bahwa Indonesia bukanlah negara aman untuk dikunjungi.


Saya khawatir, bukan hanya para teroris itu saja yang berkontribusi merusak nama bangsa kita, akan tetapi kadang saya berfikir bahwa ternyata rusaknya image negeri kita akibat publikasi berlebihan dan umbar data pengakuan tersangka dan terduga teroris oleh polisi, yang bisa menyebabkan distorsi informasi yang cukup mengkhawatirkan dampaknya.


Akibat kecerobohan informasi, tidak hanya masyarakat umum yang tercemari informasi sepihak, namun juga menular pada sosok-sosok penting di media. Bahkanpada suatu dialog di televisi, saya sempat mengingatkan pada salahsatu narasumber, gara-gara si narasumber keceplosan kalimat yang tidak perlu.


Narasumber terkenal ini semulangotot bahwa sangat perlu masyarakat mengawasi orang-orang yang cenderung dekat dengan teroris. Yang mengagetkan saya, si narasumber dengan terus terang menyebut soal kelompok itu memiliki ciri bercadar,celana ngantung dan pria berjenggot. Saya rasa aneh, masih ada saja pandangan sempit semacam itu, yang akhirnya menjadi sebuah justifikasi sepihak tanpa mempedulikan sensitifitas pemeluk Islam. Untung saja, moderator diskusi di televisi swasta tersebut cepat mengalihkan pertanyaan kepada narasumber lain. Saya kira sebodoh-bodohnya rakyat Indonesia, tidak sepatutnya mendengar pernyataan semacam itu. Saat ini, cadar, tidak hanya dipakai oleh keluarga teroris. Perempuan-perempuan terdakwa korupsi pun, kita lihat di televisi, akhirnya mengenakan cadar hanya untuk menutupi wajahnya dari sorotan kamera wartawan.


Pendapat sempit semacam itu, akhirnya bisa menggiring kelompok yang mengenakan cadar, celana ngantung, apalagi berjenggot panjang, menjadi terduga teroris secara sosial, padahal secara hukum tidak. Salahsatu penyebab pandangan sempit tersebut muncul, kemungkinan disebabkan oleh pemberitaan-pemberitaan berlebihan terorisme, apalagi kebiasaan mengambil stock shot wanita bercadar, opini-opini miring publik soal cadar, dan juga pernyataan-pernyataan pejabat pemerintah yang menyiratkan keterlibatan kelompok teroris yang sangat dekat dengan perempuan bercadar, celana ngantung, dan lelaki berjenggot.


Sayangnya, pejabat kita kadang malah latah dan mudah mengucapkan kata-kata dan kalimat yang sebenarnya resisten soal SARA, namun sepertinya tak dipedulikannya. Sehingga, ada kesan pejabat kita malah kehilangan resistensi soal SARA, dan seperti tak punya beban ketika membawa-bawa simbol, kode, istilah-istilah, maupun lambang-lambang agama ke dalam propaganda antiteror.


Untuk mendukung betapa besarnya kekhawatiran saya, Alan Foulkes saya suruh mengingat catatan saya di berbagai media yang konon sudah dia pelajari. Dalam salahsatu simulasi, polisi menggelar operasi anti teror di atas kereta api di Surabaya beberapa bulan silam. Dengan tanpa beban, polisi-polisi itu menempelkan tulisan “Jihad Fi Sabilillah untuk Kebenaran” di sebuah kotak/dus yang berisi “bom”. Lalu, terdengar suara ‘teroris’ yang sedang meneriakkan kalimat takbir “AllahuAkbar..AllahuAkbar”.


Sungguh sebuah fenomena menyesakkan dada, karena peristiwa itu terjadi di Jawa Timur, dimana di sana merupakan salahsatu kantong muslim terbesar di Indonesia.


Di Pondok Pesantren Umar Bin Khatab Bima, NTB, polisi malah kembali tak menghiraukan sensitifitas umat Islam, dengan menjadikan Al Qur’an sebagai barangbukti terorisme, di samping beberapa barang-bukti lain yang disita dari TKP (Tempat Kejadian Perkara). Meskipun itu sah-sah saja, namun penggunaan lambang-lambang agama, kalimat-kalimat agama, kitab suci, dan lain sebagainya dalam kaitan terorisme, sepertinya tidak elok dan cenderung sengaja melukai perasaan umat Islam. Untuk menghindari luka tersembunyi, selayaknyalah cara-cara demikian dihindari, karena masih banyak cara lain meskipun hasilnya sama.


BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) juga demikian. Upaya deradikalisasi, terkesankurang menghargai para pemeluk agama Islam. Beberapa pernyataan BNPT, terbukti sekedar bersembunyi di balik template kisah-kisah kekerasan masyarakat abad lampau, masa di mana situasi sosial kemasyarakatan terlalu jauh jika diseret ke masa situasi sosial masa kini. Kemudian, kisah kekerasan ribuan tahun lalu itu, dijadikan alasan spesial untuk mengecap para pelaku teror baik yang sudah ditangkap maupun yang belum tertangkap, bahwa mereka memiliki latar belakang secara ideologi yang sama pada masa lalu tersebut. Beralasan pengakuan para pelaku yang sudah ditangkap, lalu BNPT menganggap apapun pengakuan mereka, kemudian layak dipakai sebagai ‘lieratur’ wajib untuk menggambarkan betapa hal itu ternyata cocok untuk apa yang terjadi sekarang di Indonesia.


Kisah Masjid Dirar, kisah taghut, dan lain-lain, menjadi general template untuk menggambarkan betapa semua pelaku teror, terkait kisah heroisme masa silam. Ini bisa kita lihat pada pernyataan-pernyataan petinggi-petinggi BNPT di berbagai kesempatan. Parahnya, sering pejabat Polri dengan data mentah itu, lalu mengungkapkan kepada media massa.


Pada sebuah dialog soal Bom Solo di TV One, kembali saya bertemu pejabat BNPT yang saya kira tidak memahami sensitifitas SARA. Atau BNPT mungkin tak pernah berpikir panjang soal itu?


Bayangkan, seorang Petrus Reinhard Golose, Kepala Deputi Bidang Penindakan BNPT membahas dan menjelaskan soal peristiwa Masjid Dirar, tentu menjadi aneh dan agak berlepotan. Kisah Masjid Dirar adalah kisah heroisme yang tidak ada yang perlu dipersoalkan oleh umat Islam karena kenyataannya telah ada dan diucapkan Rasulullah. Tidak ada yang salah dengan kisahnya. Akan tetapi saat kisah tersebut dijelaskan oleh seorang Petrus Golose, alhasil adalah munculnya kesan betapa kentalnya penistaan SARA yang mestinya tidak terjadi. Intinya, apakah tidak bisa, BNPT kemudian mengutus tokohnya yang benar-benar memahami kisah Masjid Dirar, sekaligus memeluk dan memahami agama Islam lahir batin? Apakah tidak bisa BNPT menggandeng ulama-ulama terkenal untuk membenarkan pemahaman yang dianggap tidak benar, menggunakan sarana yang benar yang bisa diterima oleh umat Islam?


Menggunakan seorang Petrus Golose menerangkan kisah Masjid Dirar, tentu tidak salah. Namun pada pandangan saya, dengan mengutus Petrus untuk urusan Masjid Dirar, seolah BNPT kehabisan orang yang bisa didengar dan dilihat secara nyaman oleh mayoritas Islam yang melihat televisi.


Saya kira, banyak ulama Islam yang lebih pantas ‘disewa’ BNPT untuk menerangkan kisah Masjid Dirar, ketimbang Petrus Golose. Akibat pernyataan Petrus Golose soal Masjid Dirar, ratusan SMS berjejal ke handphone saya, menyesalkan tampilnya tokoh beda agama yang ikut serta mengurusi persoalan umat Islam. Itu soal sensitifitas SARA semata.


Meskipun tidak ada UU yang melarang, sering juga saya lihat, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Polisi Untung Yoga, juga menyampaikan berbagai keterangan pers soal terorisme. Namun jika sudah pada materi dan istilah yang menyangkut kitab suci Al Qur’an, kisah-kisah perjuangan, jihad, dan sebagainya, baru kelihatan ketidak pede-an mimiknya. Maklum, beliau tentu mengucapkan hal-hal semacam itu bukan karena mengerti, tetapi hanya tahu karena tuntutan jabatan semata. Akibat kacau balau seperti itulah, wajar saja jika ada yang khawatir, bahwa perbuatan teror yang dilakukan hanya oleh segelintir orang mengaku Islam dengan berjihad, namun pada kenyataannya seolah digeneralisir layaknya seluruh umat Islam itu sebagai teroris. Tentu ini sebuah langkah mundur dan tidak mengerti akar yang sesungguhnya. Pendekatan deradikalisasi melalui media, tampaknya salah kaprah oleh BNPT maupun pejabat Polri.


Saya pun menyodorkan sebuah asumsi bahwa, akhirnya opini yang menghubungkan radikalisme, terorisme dengan isu pendirian Negara Islam maupun penegakan Syariah Islam, lama-kelamaan malah tidak masuk akal, dan bahkan menutupi akal sehat kita semua. Istilah lain, fenomena itu membodohi kita semua.


Mana mungkin sebuah kelompok ingin mendirikan Negara Islam, ingin menegakkan Syariah Islam, kok kampanyenya dengan Bom Bunuh diri, atau kampanye dengan merampok bank, atau menusuk polisi, meledakkan masjid, meledakkan gereja, dan seterusnya, tentu tidak masuk akal. Jika polisi mudah sekali menyimpulkan hal demikian, maka sama saja dengan menutupi akal sehatnya dengan kebodohan yang nyata.


Coba kita pikir. Untuk mencapai tujuan mulia—dalam hal ini mereka yang ingin mendirikan Negara Islam atau menegakkan Syariah Islam--, sepertinya lebih tepat dengan menunjukkan perilaku positif, menunjukkan perilaku Islami, dan jauh dari kekerasan dan sifat radikal yang lain. Jika menunjukkan perilaku keras dan radikal, bahkan bom bunuh diri, sudah dipastikan tujuan para pelaku akan gagal total. Sudah pasti tidak bakal ada masyarakat yang mendukung ide-ide dan gagasan mereka. Yang terjadi, justru masyarakat pasti ketakutan melihat itu semua. Tanpa digerakkan pemerintah sekalipun, masyarakat akan menentangnya.


Alhasil, saya akhirnya meyakini bahwa aksi-aksi bom bunuh diri, merampok bank, menusuk polisi, meledakkan masjid, dan meledakkan gereja, adalah bukan aksi-aksi untuk jihad dan pendirian negara Islam atau semacamnya, namunitu tidak lebih dari aksi-aksi gerombolan orang gila, yang bertujuan bukan ingin mendirikan Negara Islam atau menegakkan Syari’ah Islam, atau mempraktekkan kisah Masjid Dirar. Mereka lebih cocok dituduh sebagai gerombolan yang ingin mendirikan Negara Preman Indonesia (NPI), bukan Negara Islam Indonesia (NII).


Yang tragis adalah, hingga kini polisi masih begitu saja percaya atas ocehan para pelaku bom atau para terduga lain yang mengaku sedemikian ngawurnya, dan memforward pengakuan tolol mereka kepada media massa. Padahal, bisa saja pengakuan itu terucap karena diliputi oleh keinginan para pelaku menyelamatkan diri dan menimpakan kesalahan pada kitab suci, pada ulama, dan pada agamanya.#< Mustofa B. Nahrawardaya>#

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun