Mohon tunggu...
Mustofa B. Nahrawardaya
Mustofa B. Nahrawardaya Mohon Tunggu... profesional -

Saya Pendatang Baru di Kompasiana\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Apa yang Terjadi bila Umat Islam Golput?

16 Februari 2014   07:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:47 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DISADARI atau tidak, kunci kesuksesan maupun kegagalan Pemilu 2014 sebenarnya ada di tangan Umat Islam. Sebagai perhelatan demokrasi terbesar Indonesia, Pemilu akan menjadi berbobot atau tidak, ketika Umat Islam yang menjadi mayoritas pemilih menggunakan hak politiknya. Entah itu hak memilih maupun hak untuk tidak memilih. Kedua pilihan itu, akan menentukan nasib bangsa ke depan.

Pada 2014 ini, ada dua perhelatan Pemilu terbesar tanah air. Diantaranya adalah Pileg (Pemilu Legislatif) dan Pilpres (Pemilu Presiden/Cawapres). Nah, di situlah peran Umat Islam yang besar ini diuji. Bagaimanapun, karena Umat Islam-lah Pemilu dapat menentukan  wakil rakyat terbaik untuk diantarkannya menuju kantor Parlemen, dan karena Umat Islam pula, maka akan terpilih Presiden dan Wakil Presiden terbaik untuk memimpin lebih dari 250 juta Rakyat Indonesia ke depan, sekaligus menjadi pemimpin Negara yang hampir 90% nya adalah Umat Islam.

Sayangnya tipikal Umat Islam di tanah air ini memang beragam.  Memang sebagian besar bersedia hadir ke bilik suara dan memilih Caleg maupun Capres/Cawapres pilihan. Tetapi ada yang memang mau hadir ke bilik suara, tetapi mirisnya mereka tidak memilih satupun Caleg/Capres/Cawapres yang ada di kartu suara. Bahkan ada yang sengaja tidak tidak hadir ke bilik suara, dan hanya menunggu pengumuman KPU melalui televisi. Ada lagi yang sengaja hadir ke bilik suara, tetapi sengaja mencoblos/mencontreng dengan cara yang salah. Alasan kelompok ini sangat klasik. Bahwa, tidak ada diantara peserta Pemilu yang cocok dengan dirinya maupun kepentingannya. Tidak ada Caleg yang dia kenal atau pernah/akan menguntungkannya. Atau bahkan ada dugaan awal, Caleg yang ada di daftar kartu suara dikhawatirkan menjadi koruptor, dan sebagainya apabila terpilih nanti. Kelompok-kelompok tersebut, biasa disebut Golongan Putih atau Golput.

Sejarah mencatat,  fenomena Golput pada setiap tahapan Pemilu, baik itu Pileg maupun Pilpres,  dari Pemilu ke Pemilu ternyata terus meningkat. Dari beberapa sumber dapat diketahui bahwa pada Pemilu 3 kali terakhir tercatat Golput sebagai berikut:  Golput Pemilu 2009 mencapai 29,04%. Golput Pemilu 2004 mencapai 23,34%. Golput Pemilu 1999 mencapai  10,21%. Sedangkan pada pemilu-pemilu sebelumnya, meski Golput tercatat naik turun angkanya, namun kecenderungan selalu naik.

Perlu dicatat bahwa: Pertama, tidak bisa dipungkiri memang ada kecenderungan adanya penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Partai Politik (Parpol) yang mereka pilih karena pada sebagian yang terpilih di Pemilu sebelumnya ada yang terlibat korupsi. Kedua, pilihan mereka ternyata menghasilkan kekecewaan akibat tokoh/Parpol yang dipilih ternyata tidak berhasil memenuhi  janji  kampanye.  Ketiga, memang masih adanya kesadaran yang rendah untuk mengikuti Pemilu. Dan,  Keempat, sebagian kecil Umat Islam kadang tidak paham secara teknis saat memilih akibat kurangnya sosialisasi. Dengan kondisi ini, maka Golput semakin subur.

Selain daripada itu, ada beberapa pengakuan dari  Umat Islam yang melakukan aksi Golput, diantaranya:  Pertama, bahwa Golput perlu dilakukan untuk  mengoreksi secara konstruktif terhadap Parpol maupun Negara. Kedua, mereka ingin menunjukkan bahwa tidak memilih itu bagian dari hak masyarakat untuk memilih. Ketiga, sebagian dari penggerak Golput adalah kelompok yang kurang setuju dengan sistem demokrasi yang ternyata tidak menjamin kesejahteraan dan kepastian hukum di kemudian hari. Meski untuk menemukan solusi selain Demokrasi bukan persoalan mudah, tampaknya kelompok terakhir ini cukup intens melakukan berbagai sosialisasi anti demokrasinya.

Yang menambah jengkel mereka sehingga menjadi Golput, adalah munculnya fenomena mengesalkan dalam praktek politik tanah air. Misalnya, meski masyarakat luas sudah tahu data dan jumlah koruptor pada setiap Partai peserta pemilu, anehnya peraup suara terbanyak setiap pemilu justru berasal dari Parpol-Parpol yang bersangkutan banyak dengan kasus korupsi. Umat Islam yang datang ke bilik suara, entah dapat dorongan darimana, justru memilih Parpol dan tokoh-tokoh yang justru banyak bermasalah dengan kader korup. Fenomena ini memang agak janggal jika diteliti lebih lanjut.

Padahal jika mau, dengan gamblang masyarakat sebenarnya sudah dapat mengetahui nama Parpol yang di dalamnya bercokol banyak koruptor yang sudah divonis Pengadilan, baik yang ditangani KPK maupun Polri, namun faktanya Parpol tersebut justru menjadi pilihan masyarakat. Jumlah perwakilan yang ada di Parlemen, faktanya malah paling banyak, dan tentu saja menjadi faktor penentu apapun hasil produk Parlemen. Begitu juga Partai besar yang di dalamnya banyak elit Partai ditangkap KPK, malah bisa menguasai parlemen dua kali dan memimpin Negeri ini. Kondisi ini jelas sangat mengkhawatirkan.

Oleh karenanya, dengan bercokolnya banyak tokoh Parlemen dari Parpol yang sering bermasalah dengan kader korup, atau dengan bercokolnya Pemimpin Pemerintahan yang berasal dari Partai yang di dalamnya bercokol banyak kader korup, sudah pasti akan menambah kekecewaan masyarakat luas, yang akhirnya menjadi ikut-ikutan bergabung dengan Golput. Wajar jika angka Golput selalu naik.

Apabila pola semacam ini terus terulang, sudah pasti Indonesia akan mengalami kegagalan proses demokrasi yang berulang-ulang. Penguasa Parlemen dari Partai “Korup”, dan Pemerintahan dipimpin dari partai yang sama. Kemudian setiap jelang Pemilu didengungkan isu Golput, namun pada prakteknya masyarakat tetap memilih pola yang sama dengan sebelumnya. Alhasil, tidak berubah. Masyarakat kecewa, pemerintahan sering bermasalah, korupsi tidak berkurang, dan isu Golput pun terus menerus menjadi bumbu pahit demokrasi.

Semestinya, masyarakat khususnya Umat Islam harus pandai bersikap. Umat Islam harus cerdik melihat bahwa tidak mungkin dengan Golput kemudian dapat mengurangi koruptor di Parlemen. Karena menjadi Golput pun, kecil kemungkinan akan menggagalkan Pemilu dan sangat susah menekan Negara ini mengubah sistem Demokrasi dengan sistem lain. Meskipun hal itu bisa terjadi, namun belajar dari sejarah, angka Golput tampaknya sulit menembus angka 50%, sehingga yang terjadi malah sebaliknya:  Pemilu tetap berjalan, dan Umat Islam justru kehilangan wakil-wakil rakyatnya di parlemen, dan otomatis tidak memiliki wakil pembela Umat yang nantinya akan berjuang melalui pembuatan Undang-Undang. Jika sudah demikian, maka jangan heran apabila banyak Undang-Undang produk DPR, yang akhirnya terbukti merugikan Umat Islam. Mungkinkah ada yang berfikir, tidak mungkin UU bentukan DPR merugikan Umat Islam karena di dalam parlemen banyak Aleg (Anggota Legislatif) beragama Islam?. Tentu ada. Dan, jawabannya pun mudah.

Meski banyak Aleg dari Umat Islam, namun dalam prakteknya  pengaruh Partainya biasanya lebih kuat. Maka idealisme Aleg jelas menjadi lenyap terhempaskan oleh kepentingan Parpol yang menaunginya.  Apa yang ada di dalam benak Aleg yang awalnya untuk membela kepentingan Umat, kadang dengan mudah tergadaikan dengan kepentingan Partai Politik sebagai payungnya. Oleh karena itu, meski banyak Partai Politik yang di dalamnya banyak Aleg Muslim, namun jangan harap mereka sepenuhnya bisa membantu Umat Islam melalui UU yang dibuatnya. Dengan demikian, pada Pemilu 2014 mendatang, Umat harus lebih pandai memilih Parpolnya, selain juga pandai memilih Caleg yang sudah disusun KPU. Karena terbukti selama ini banyak UU produk Senayan khususnya, yang tidak sejalan dengan kepentingan Umat Islam.

Maka wajar jika sebuah Organisasi Islam seperti Muhammadiyah, belum lama ini akhirnya harus pontang-panting ke MK (Mahkamah Konstitusi) karena kepentingan masyarakat umumnya dan kepentingan Umat Islam di Muhammadiyah khususnya ternyata terabaikan oleh produk UU dari Senayan. Belum lama ini, misalnya, Muhammadiyah mengajukan Judicial Review UU 22/2001 tentang Migas yang terbukti merugikan Umat karena cenderung menguntungkan asing. Umat yang besar ini akhirnya tidak diuntungkan dengan adanya UU tersebut. Judicial Review ini berhasil dikabulkan MK, dengan dibubarkannya BP Migas. Menyusul saat ini juga sedang berlangsung  Judicial Review UU No 7/2004 Tentang Sumber Daya Air (SDA) yang dianggap lebih banyak dikuasai asing. Umat Islam di hampir seluruh pelosok tanah air akan terlukai jika UU SDA tersebut tidak dibatalkan atau diubah secara substantif karena sebagian besar Umat Islam hidup memanfaatkan air, dan ada kecenderungan air yang melimpah di Indonesia ini akan diatur sedemikian rupa sehingga dapat merugikan mereka dan bahkan dikuasai asing.  Berikutnya Muhammadiyah sudah mengajukan Judicial Review atas UU 44/2009 tentang Rumah Sakit. UU ini diajukan ke MK karena UU ini terdapat pasal dan ayat yang dengan jelas ingin mematikan dan melumpuhkan semua Rumah Sakit milik Muhammadiyah khususnya, yang kini jumlahnya lebih dari 400 buah. Sudah terbukti, gara-gara UU tersebut, sangat sulit bagi RS milik Muhammadiyah mengajukan ijin perpanjangan, apalagi mendirikan RS baru. Padahal Muhammadiyah lebih berpengalaman dari Negeri ini dalam mengelola Rumah Sakit, namun dengan adanya UU tersebut, memaksa Muhammadiyah berhenti melayani masyarakat melalui Amal Usaha Rumah Sakit.

Belum lagi UU No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti UU No. 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU; dan UU No. 9 tahun 2013 tentang Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, serta banyak UU lain yang benar-benar merugikan Umat Islam. Isu-isu terorisme kini menghantui hampir semua kalangan aktifis Islam, pergerakan Islam, masjid, mushola, rohis, dan semua elemen Islam karena UU tersebut tidak mengindahkan HAM dan sudah terbukti banyak digunakan sebagai alasan membantai Umat Islam dengan alasan terorisme. Sungguh sangat ironi, mayoritas penghuni Negeri ini sekarang ternyata justru menjadi sasaran teror negara. Jika Umat tidak memenuhi parlemen, maka diduga UU semacam ini akan terus bermunculan.

Untuk itu, agar benar-benar dapat memaksimalkan peran parlemen maupun Istana dalam mengelola kepentingan-kepentingan Umat yang besar ini, semua tergantung pada Umat Islam sendiri. Jika ingin ada perubahan ke arah lebih baik, maka Umat Islam harus berbondong-bondong ke bilik suara saat Pemilu.

Jika ukurannya soal korupsi, maka mereka harus memilih Partai yang paling rendah keterlibatannya dalam kasus korupsi. Umat Islam harus memilih dan mendukung Partai Politik yang dianggap minim terlibat kasus korupsi. Mengapa ada istilah ‘minim’? Karena kenyataannya tidak mungkin juga, ada partai Politik yang benar-benar bersih dari korupsi. Semua maklum dan tahu bahwa isi dari Partai Politik adalah manusia biasa yang tentu bisa berbuat salah. Mereka bukanlah malaikat yang tidak bisa berbuat dosa. Satu-satunya langkah terbaik Umat Islam adalah dengan memilih dan membesarkan Partai Politik yang memiliki resikonya paling kecil menjadi Partai Korup. Jika disepakati, maka tidak ada alasan bagi Umat jika kemudian ikut-ikutan memberangus Parpol “Islam” bahkan menebar opini miring terhadap Parpol milik Umat Islam tersebut. Yang perlu dilakukan adalah dengan mendukung dan ikut memperbaikinya agar bisa lebih baik pada masa berikutnya.

Sekali lagi, Umat Islam jelas harus pandai-pandai memilih Caleg karena pilihan yang dilandasi iseng, sekedarnya, atau asal-asalan; pasti tidaklah bermanfaat. Memilih Caleg yang dilandasi ikut-ikutan tetangga, ikut-ikutan teman tanpa mempertimbangan kualitas Partainya, maupun kualitas pribadi sang Caleg, hanyalah menghasilkan Aleg “boneka”.  Umat harus bisa memastikan, Partai Politik yang di dalamnya bercokol banyak kasus koruptor layak untuk ditinggalkan. Parpol yang tidak memihak kepada Umat Islam tidaklah menjadi pilihan. Pastikan pula, Partai Politik yang di dalamnya minim kasus korupsi, layak menjadi pertimbangan untuk dipilih beserta para Caleg-calegnya.

Sedangkan terhadap parpol baru sekalipun, Umat Islam harus pandai mencermati karena sesungguhnya kita bisa mendeteksi melalui platform dan visi misi serta track record (jejak rekam) para pendiri dan pengurus parpol baru tersebut. Karena masih Parpol baru, maka tentu filter kasus korupsi belum bisa dilihat. Akan tetapi semangat (ghirrah) membantu Umat Islam, dapatlah dilihat secara kasat mata. Jika tidak ada signal membantu Umat, berarti Parpol baru tersebut layak ditinggalkan.

Memilih Caleg juga tidaklah tepat apabila hanya dikarenakan iming-iming jangka pendek berupa  sejumlah uang atau gara-gara bantuan materi misalnya mie instan, beras, maupun uang transport saat Pemilu. Jelas ini sebuah kecelakaan politik yang tak perlu diulangi di waktu mendatang.

Menjelang Pemilu, memang biasanya para cukong dan penjahat besar yang ingin menguasai parlemen, uang dan materi menjadi andalan dalam meraih simpati publik, khususnya Umat Islam. Jika masyarakat mengikuti pola kerja para cukong dan penjahat besar ini, maka jangan protes apabila hasil dari Pemilu 2014 malah menjadi fenomena klasik: Pemilu menghasilkan koruptor! Karena tidak mungkin bagi para cukong dan penjahat tersebut mau mengeluarkan dan menggelontorkan uang triliunan sebelum menang, kalau tidak ingin mencari kembalian kan?

Apakah ukurannya hanya jumlah kasus koruptor? Tentu tidak. Umat Islam harus pandai menandai Partai yang memang berdiri dengan niat baik untuk mendekatkan hukum nasional dengan hukum yang ditentukan Allah SWT. Bukan dengan mengganti dengan Hukum Islam, tapi mendekatkan hukum nasional dengan hukum yang dikehendaki Allah SWT. Umat Islam harus belajar tata hukum yang pernah diungkapkan oleh  ahli hukum Belanda Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845–1927) dengan teori Receptio in Complexu-nya. Sebenarnya hukum itu mengikuti agama yang dianut seseorang. Maka jika di Indonesia mayoritas Islam, semestinya hukum disesuaikan dengannya. Sebaliknya jika nantinya Indonesia mayoritas Non Muslim, maka sudah semestinya hukum disesuaikan dengan mayoritas masyarakatnya.

Nah, apapun yang terjadi, naiknya angka Golput--dengan berbagai alasan, jelas akan membahayakan Umat Islam.  Karena konsekuensi terjeleknya, Umat Mayoritas tidak bisa membuat aturan dan hukum untuk dirinya sendiri, tetapi aturan dan hukum itu akan dibuat oleh pihak lain. Ini akan menjadi momok mengerikan. Karena dengan demikian sudah sangat jelas, secara tidak langsung Umat Islam melakukan pilihan terburuk dalam Pemilu, yakni dengan menutup kesempatan Caleg terbaik Umat, atau Capres/Cawapres pilihan Umat memimpin Negeri ini. Sewajarnya bila, Umat mayoritas memiliki peran terbesar di Parlemen maupun di istana.

Maka umat harus terus berjuang dengan memilih calon terbaiknya agar komposisi wakil rakyat yang membela dan menggawangi kepentingan Umat Islam khususnya, menjadi mayoritas di Parlemen. Tidak mungkin membiarkan Parlemen dikuasai oleh kepentingan yang dapat merugikan Umat mayoritas bukan?.

Dengan kalimat lain, apabila Umat Islam ikut-ikutan Golput, maka dapat dipastikan sama artinya dengan memberikan jalan mulus bagi kelompok lain. Karena sesuai dengan prinsip demokrasi, jelas Umat Islam harus memiliki porsi signifikan untuk mewarnai.

Salahsatu caranya adalah, Umat Islam harus berbondong-bondong mengantar wakil-wakil terbaiknya. Tentang banyaknya parpol “Islam” mestinya tidak menjadi  halangan. Sejelek-jelek Parpol “Islam”, setidaknya mereka memiliki niat untuk menyalurkan kepentingan Umat melalui parlemen. Yang penting, diantara elemen Umat Islam tidak ada yang mau diadudomba oleh pihak lain karena jika mau diadudomba, maka justru Umat Islam sendiri yang akan  berkelahi, saling menyerang dan saling memojokkan. Anggap saja semua Parpol berbasis Islam adalah aset politik Umat Islam, maka sudah sewajarnya, kita yang harus merawat dan menjaga aset tersebut. Sudah saatnya semua Parpol berbasis Islam bersatu dalam perbedaan. Oleh karena itu, dengan adanya  Partai “Islam” yang lebih dari satu, maka Umat boleh merasa sulit mencari pilihan, tetapi sebenarnya tidak susah jika sudah satu pemikiran.

Dulu ketika masih jaman Orde Baru, memang masyarakat mudah untuk mendeteksi mana Parpol pengusung kepentingan Umat, dan mana Parpol pengusung kepentingan lain. Karena saat itu Parpol hanya ada dua yakni Partai Islam & Partai Non-Islam plus satu Orsospol Golkar. Oleh karenanya, Umat saat itu bisa dengan mudah menentukan pilihan yang cocok.

Bagaimana dengan saat ini? Tampaknya pilihan Umat menjadi banyak. Dengan banyaknya pilihan Umat, maka menyebabkan pilihan Umat Islam mungkin tidak bisa bersatu. Pilihan menjadi ada dimana-mana, dan dampaknya kepentingan Umat Islam menjadi terbengkalai, terpecah, tidak bisa bersatu. Faktanya, Pesatuan Umat pun terganggu.

Bagi yang tidak menemukan solusi, kadang hanya menjadi pemilih asal-asalan. Sudah menjadi pemilih asal-asalan, ditambah teror psikis yang terus menghantui terhadap Islam, dimana isu miring terus menghantam Umat melalui isu terorisme. Maka lengkap sudah penderitaan, dimana kepentingan politiknya tercerabut, dan kepentingan agamanya terteror.

Kondisi tersebut lebih parah jika kita melihat adanya kelompok-kelompok kecil Umat yang mencoba menggelorakan Golput hanya karena tidak setuju dengan sistem demokrasi yang sudah disepakati para pendiri bangsa kita. Andai saja ketidaksetujuan demokrasi hanya sebagai wacana, tidak menjadi masalah. Tetapi jika berujung pada ajakan Golput, jelas ini menambah penderitaan Umat. Alangkah baiknya, Umat Islam bersatu memperbaiki Demokrasi, dan jika demokrasi sudah baik, dan Umat Islam berada di dalamnya sepenuh-penuhnya, maka Indonesia insya Allah akan menjadi Negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur. Bila mau lakukan langkah berani, bisa saja Umat menyatukan pilihan dalam rangka menggalang satu kekuatan di Parlemen. Meski ini sulit dan memerlukan persiapan, namun tidak tertutup kemungkinan ini bisa dilakukan.

Maka, sekali lagi kesuksesan Pemilu ada di tangan Umat Islam. Kunci sukses Pemilu bukan saja terletak pada kehadiran di bilik suara, memilih serta selesainya penghitungan suara, namun lebih dari itu, suksesnya Pemilu terletak pada sebanyak apa Aleg berkualtitas yang bisa mereka antarkan memasuki Gedung Parlemen pada 2014 nanti, dan sebagus apa Presiden/Wakil Presiden yang terpilih kelak. Semakin berkualitas hasil pilihan, maka partisipasi terhadap keberhasilan Pemilu oleh Umat Islam bisa dianggap semakin besar. Sebaliknya semakin buruk kualitas yang terpilih, maka semakin kecil pula partisipasi Umat Islam. Oleh karenanya, berpartisipasi yang sebenarnya adalah jika Umat Islam berhasil mengantar sebanyak mungkin Caleg berkualitas memasuki Parlemen menjadi Aleg,  dan mendudukkan Capres/Cawapres terbaik pilihan Umat, menjadi Presiden dan Wakil Presiden yang diridhai Allah SWT. #

*) Aktifis Muda Muhammadiyah, Caleg DPR RI PKS Dapil Jateng V.

( Tulisan ini dimuat juga di Tribunnews: http://www.tribunnews.com/tribunners/2014/02/15/keuntungan-besar-parpol-sarang-koruptor-kalau-umat-islam-golput )

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun