Mohon tunggu...
Marogi A. Mustofa
Marogi A. Mustofa Mohon Tunggu... Guru - Guru Pengabdian

Positive Vibes.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sisi Gelap Positive Thinking: Berfikir Positif, Merugikan?

29 Oktober 2024   19:57 Diperbarui: 29 Oktober 2024   20:14 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

             Sebagian besar orang pasti akan mengakui bahwasanya positive thinking adalah suatu hal yang hebat, luar biasa, sebuah perilaku terpuji, serta habit orang-orang sukses. Orang yang selalu positif dalam berpikir dianggap memiliki keseharian yang ceria, raga yang lebih sehat, dan hidup tanpa beban. Hal ini seakan-akan menisbatkan positive thinking sebagai sifat mulia yang menjamin kebahagiaan hidup seorang manusia. Namun tahukah anda, di samping berpikir positif memberikan begitu banyak manfaat bagi pelakunya, juga bisa menjadi bumerang jika kita terlalu berlebihan dalam memberikan porsinya. Orang yang selalu berpikir positif tanpa memedulikan realita yang ada, dapat membahayakan diri sehingga mudah terserang sindrom toxic positivity.

             Seseorang yang menimbang sesuatu dari sisi positifnya saja tanpa mempertimbangkan kemungkinan negatif yang akan terjadi, mengira hidupnya akan lurus hingga sampai pada yang ia tuju. Orang tersebut cenderung menekan perasaan yang sebenarnya dan menghindari masalah yang seharusnya memerlukan perhatian lebih. Sebagai contoh, ada yang berkata padamu, "Jangan pernah ngeluh, belajarnya pasti bisa kalau kamu semangat!" Narasi ajakan seperti itu terdengar baik di telinga pendengarnya, namun tanpa disadari hal itu memaksa seseorang -dalam konteks ini ialah seorang siswa- untuk terus bersemangat tanpa mengakui bahwa belajar itu kadang berat dan melelahkan, justru membuatnya merasa bahwa keluhan atau kesulitan yang sedang dialaminya tidak bisa dibenarkan.

Bisa juga berbentuk narasi lain seperti, "Kamu pasti bisa, nggak usah stres soal ujian!" Ketika terdapat siswa yang merasa cemas menjelang ujian, pernyataan ini mengabaikan kecemasan mereka. Bisa jadi, siswa tersebut sedang membutuhkan dukungan lebih dari sekedar dorongan untuk berpikir positif, seperti cara belajar yang lebih baik atau waktu untuk rehat sejenak.

Berpikir positif yang terlalu posesif justru menimbulkan toxic positivity. Yaitu, sebuah pemikiran yang menganggap bahwa emosi negatif seseorang tidaklah penting. Padahal, emosi tersebut adalah bagian alami dari kehidupan yang perlu diakui adanya dan diproses untuk mendukung kesehatan mental. Tentu ini akan sangat merugikan jika kita terjebak berlarut-larut di dalamnya.

Lantas bagaimana caranya agar kita terhindar dari toxic positivity?

Jika kita berniat untuk keluar dari habit ini, cobalah untuk melakukan beberapa hal ini:

  • Terima semua bentuk emosi dengan lapang dada! Alih-alih hanya fokus pada perasaan positif, izinkan diri sendiri untuk merasakan emosi negatif. Sadari bahwa perasaan seperti sedih, marah, dan kecewa adalah bagian alami dari kehidupan. Cobalah untuk berkata pada diri sendiri, "Tidak apa-apa kok merasa sedih. Kamu berhak merasakannya."
  • Jangan abaikan masalah! Toxic positivity sering terjadi ketika seseorang mengabaikan masalah nyata demi berpikir positif. Sebaiknya, fokus pada solusi yang nyata dan akui tantangan yang ada. Katakan pada dirimu, "Ini memanglah sulit, tapi apa yang bisa kulakukan untuk memperbaikinya?"
  • Kenali batas antara positif dan nyata! Memiliki harapan positif itu penting, tetapi juga perlu untuk tetap realistis. Kenali kapan harus optimis dan kapan harus realistis dengan situasi yang ada, sehingga tidak memaksakan diri untuk terus bersikap ceria ketika kenyataan menuntut sebaliknya.

Sebagai penutup, positive thinking jangan sampai ditinggalkan! Ia adalah sifat terpuji yang memiliki peran besar dalam menjaga optimisme dan semangat hidup. Berpikir positif dapat membantu kita menghadapi tantangan dengan percaya diri. Namun, kita juga perlu menyadari bahwa tidak semua situasi bisa diselesaikan dengan berpikir positif saja. Mengakui emosi negatif dan menghadapi realitas dengan kepala dingin adalah bagian penting dari kesehatan mental yang seimbang.

Berpikir positif bukan berarti menutup mata terhadap masalah atau menekan perasaan sulit. Justru, dengan menerima dan memahami emosi-emosi tersebut, kita dapat belajar dan tumbuh. Keseimbangan antara berpikir positif dan realistis akan membantu kita menghadapi hidup dengan lebih bijak. Dengan begitu, kita tetap bisa menjaga harapan tanpa terjebak dalam toxic positivity yang mengabaikan kenyataan. Tetaplah optimis, namun jangan lupa bahwa menjadi manusia berarti juga merasakan semua spektrum emosi yang ada.

*Kosakata:

- Bumerang    : /bu-me-rang/ (kiasan) perkataan (perbuatan, ulah, peraturan, dan sebagainya) yang dapat merugikan atau mencelakakan diri sendiri.

- Posesif          : /po-se-sif/ bersifat merasa menjadi pemilik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun