Mendung bergelanyut menghantar waktu magrib, sayub-sayub terdengar suara azan membuat aku segera bergegas ke mushola dipojokan station Pasar Turi. Kulirik jam masih menunjukan pukul enam kurang lima belas menit petang, masih ada waktu untuk menghadap ke hadiratNya guna melaksanakan kewajiban sebagai muslim.
Petang itu gerimis hujan masih menghiasi kota Surabaya, dan beberapa genangan air menghiasi jalan depan mushola station Pasar Turi. Dengan sedikit berteduh menghindar dari hembusan gerimis hujan aku segera mengambil tas dan mengenakan sepatu yang tadi aku titipkan. Tak seberapa lama alunan lagu tembang-tembang kenangan dari organ tunggal di teras station menemani aku melangkah pelan ke gerbong kereta api yang akan segera berangkat tepat pukul setengah tujuh malam dengan tujuan Jakarta.
Beberapa orang asyik dengan barang bawaannya, ada yang membawa tas koper cukup besar, ada juga yang hanya membawa kotak-kotak kardus yang dibungkus dan diikat dengan rapi, dan ada pula yang membawa kantong besar. Semua orang itu hilir mudik untuk segera memasuki gerbong kereta api yang dipintunya telah berdiri dengan ramah pramugari/pramugara kereta api. Aku juga tidak ingin ketinggalan, segera aku menuju gerbong nomor 3 tempat kursi dimana tertera di karcis kereta, saat hendak menginjakkan kaki di pintu gerbong tiba-tiba ada wanita dengan rambut semampai tersenyum menoleh padaku , aku baru menyadari kalau aku hampir menghimpit dia dan anaknya saat memasuki pintu, spontan segera aku bilang “maaf, silahkan mbak”, “makasih mas..” katanya.
Aku perhatikan wanita itu , wajahnya manis dengan kulit putih tubuhnya, rambutnya hitam terurai sebahu menambah menarik untuk lama dipandang. Balutan pakean dengan sedikit dada terbuka sangat serasi dengan celana jeans ketat menunjukkan ramping lekuk tubuhnya. Wanita itu dengan sigap masuk gerbong 3 sambil menggendong buah hatinya yang asyik memainkan minuman botol yang digenggamnya, seorang porter dengan memanggul koper cukup besar ikut dibelakangnya.
Dingin AC gerbong kereta api executive sby-jkt menembus balutan jaket yang aku kenakan, iringan music instrumentalia mengalun merdu sayup perlahan terdengar menemani aku melangkah mencari kursi nomor 3C, dan saat mendekat tak kusangka kursi kosong disebelah wanita cantik yang bertemu di pintu gerbong kereta adalah nomor kursi yang tertera di tiket yang kugenggam. Dengan sedikit basa-basi aku letakkan tas ku di bagasi di atas tempat duduk dan kemudian dengan melepas senyum kecil aku duduk persis disebelahnya.
Perlahan waktu telah menunjukkan pukul 7 malam, kereta telah melaju meninggalkan kota Surabaya menembus gelapnya malam, udara dingin hembusan AC masih menyelimuti ruangan yang memperdengarkan alunan musik-musik instrumentalia. Gerbong bergerak kadang kala sedikit oleng ke kiri dan kadang kala kekanan ,dihiasi suara gesekan roda kereta membuat bunyi laju kereta api terdengar bersahutan. Kulirik wanita itu asyik bercanda dengan balita yang cantik dan lucu, jaket tebal berbulu membalut tubuh mungil balita itu. "Wajah anak itu cantik secantik ibunya" gumanku dalam hati.
Malam makin larut, kereta terus melaju menembus kabut malam sepanjang jalur pantura, kota demi kota telah dilewati kadang kereta berhenti, kadang melaju dengan kencangnya. Gerbong terasa bergoyang kadang pelan kadang juga kencang. Kulirik jam menunjukkan pukul 1 malam, terlihat banyak para penumpang terlelap dengan selimut menutupi tubuhnya. Redup lampu gerbong membuat lelap penumpang makin terlenakan.
Tiba-tiba sentuhan lembut dipundakku diiringi suara sedikit berbisik mengejutkanku “ Mas…., mas tolong aku ya..?” dan aku menoleh ke wanita disebelahku. “Ya….., kenapa ?“ kataku tidak kalah pelannya.
“Bukain baju dong..” katanya pelan nyaris tidak terdengar.
Dengan sedikit menoleh kesamping dan kebelakang, aku lihat para penumpang lelap tidurnya, gerbong terus bergoyang namun suasana sangat sepi hanya terdengar suara gesekan roda kereta bersahutan. Akupun mencoba menuruti kemauannya, kubuka bajunya pelan dan kulihat dia tersenyum manja.
“Mas…., sekalian yang ini “ katanya sambil menunjukkan pakean dalam warnah putih berhias bunga-bunga warna jingga.
“Ba..ba.., baiklah “ kataku, dengan sedikit memberanikan diri aku mencoba lebih mendekat. Tercium harum parfum nan lembut sedikit menggoda naluri laki-lakiku. Perlahan aku membuka pakean dalamnya, kancing demi kancing aku lepas pelan dan pelan, terlihat kulit mulus tanpa cacat, saat aku memberanikan diri menyentuhnya kulit itu terasa hangat dan lembut, "Kulit putih tanpa dosa " gumanku dalam hati. Dan wanita itu hanya diam.
“Terima kasih ya mas” katanya pelan sambil tersenyum, dan tangannya dengan sigap mengenakan pakean untuk anaknya yang sedang lelap tidurnya.
“Sepertinya dia masuk angin” kataku pelan sambil menyerahkan baju balita yang cukup basah.
“Mungkin mas…. Tadi dia tiba-tiba batuk dan muntah, untung hanya membasahi bajunya, dan mas hebat membuka bajunya tanpa dia terbangun ” katanya tersenyum sambil merapikan baju anaknya.
Kereta terus melaju menembus dinginnya malam, menyusuri rel melewati batas-batas kota. Waktu terus beranjak, kulirik jarum jam hampir mendekati pukul 2 pagi, dan perlahan mataku diam terpejam menemani mimpi dalam dinginnya malam.
23 Desember 2010
must itjand
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H