Mohon tunggu...
Must Itjand
Must Itjand Mohon Tunggu... -

civil servants yang mencoba menggores pena

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sby - Jkt Malam II

21 Januari 2011   00:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:20 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

....lanjutan  Sby - Jkt Malam .........

Kereta malam itu terus melaju, gesekan roda berdecit memecah kesunyian malam di antara persawahan dan perbukitan jalur pantura, waktu perlahan melewati pukul 2 malam diselimuti hawa dingin dengan iringan kabut tipis, rintik hujan mulai membasahi jendela gerbong kereta excutive tertua Surabaya – Jakarta ini, entah kenapa mata ini sedikit terbuka disaat aku akan terlelap dari rasa lelah, agak tersentak saat aku melirik kepada wanita sebelah dengan anak balitanya, “Kenapa wajahnya sedikit pucat ?” dalam hati aku berguman. Walau sedikit setengah sadar antara rasa kantuk yang tak tertahankan aku mencoba melihat ke arah yang lain. Suasana sangat sunyi, entah kenapa gesekan suara roda nyaris tidak terdengar, namun terlihat di jendela bayangan pepohonan dan persawahan melaju dengan kencang. “Aneh..” gumanku .

Aku masih diam, tubuhku terasa kaku tak bisa digerakkan, aku mencoba melihat penumpang lain, “Astaga….!!, Kenapa semua terlelap dalam wajah sedikit pucat ?”. jantung ini mulai berdegub lebih kencang, dan tiba-tiba aku teringat akan cerita gerbong hantu antara Surabaya-Jakarta. Entah cerita itu ada atau tiada, namun cerita itu sering menjadi buah bibir penumpang bila menghabiskan perjalanan malam di restorasi kereta.

Diceritakan, katanya, dahulu ada sebuah gerbong kereta malam yang terjungkal saat kereta melaju di sebuah tikungan persawahan, kala itu gerbong itu terlepas dari jalurnya dan terjungkal memporakporandakan sebuah gubuk kecil. Tidak ada yang selamat termasuk seorang wanita dengan anak balitanya yang tinggal digubuk kecil itu, katanya, saat kejadian banyak darah berceceran, tubuh-tubuh terkoyak terhimpit serpihan-serpihan baja kereta, dan yang sangat mengenaskan adalah ditemukan seorang wanita muda dengan balitanya tergencet roda kereta , wanita itu adalah penghuni gubuk di persawahan itu, dia sebatang kara , katanya, dia dicampakkan oleh penduduk desa karena tidak diketahui siapa ayah sang balita.

Gerbong hantu itu, katanya, melaju dengan kencang tanpa suara , dan wanita muda dalam gubuk itu juga sering terlihat di gerbong itu. Katanya lagi, bila penumpangnya beruntung dia akan sampai ditujuan dalam waktu sekejap, namun banyak cerita yang mengatakan penumpang yang ikut gerbong itu tidak pernah sampai di tujuan.

Aku masih diam mengingat cerita itu, dalam hati “Tak mungkin…., ini gerbong yang diceritakan itu, aku naik dengan tiket yang telah diperiksa oleh konduktur kereta dan sempat bercakap dengannya, dan aku juga berbicara dengan seorang wanita muda di sebelahku dengan nyata, bahkan aku merasakan kulit halus balitanya”. Dalam hati aku masih tidak mempercayai cerita itu dan berguman untuk yang kesekian kalinya “Ah tidak mungkin…”.

Lamat-lamat kulihat pak kondektur yang memeriksa tiketku saat kereta berangkat berdiri membelakangiku dengan jarak 1 kursi tepat di depanku, sepertinya dia sedang memeriksa tiket penumpang yang duduk disana, cuman kenapa dia hanya diam tidak melakukan apa-apa ? batinku mulai gelisah melihatnya. Kereta sepertinya masih bergerak walau bunyi roda nyaris tidak terdengar, udara dingin malam masih terasa menyengat kulit ini walau telah dibalut jaket dan selimut tebal, tak seberapa lama , aku melihat seorang nenek beranjak dari duduknya sepertinya dia akan kebelakang menuju toilet gerbong , dia berjalan pelan , namun pikirku “ada yang aneh…., sepertinya nenek itu walau sedikit bongkok, tetapi jalannya tanpa berpegangan pada gagang-gagang kursi kereta, seperti penumpang pada umumnya, dia berjalan pelan nyaris seperti melayang, dan …..hah !!, dia., dia menembus pak kondektur yang berdiri membelakangiku. Tak mungkin …tak mungkin ini kereta itu…, kereta hantu yang diceritakan itu..”. gumanku dalam hati, jantungpun makin berdegup kencang, bulu kudukku mulai berdiri merinding, hawa dingin makin terasa dingin.

Mataku masih terasa berat untuk membelalak, aku mencoba bertanya pada pak konduktur itu, namun mulutku sepertinya terkunci, dengan sekuat tenaga aku mencoba memanggilnya, namun tak terucap sepatah katapun. Aku hanya bisa diam. Tak kusangka, sepertinya pak kondektur itu seperti tahu apa yang berkecamuk dalam pikiranku, dengan suara pelan dia berujar “ Kenapa pak ?, Ingat cerita gerbong hantu ya…?” katanya sambil membalikkan badan…, dan “Ah !!…tak mungkin !!…, “ kataku dengan nafas mulai tersengal-sengal, “Wajah kondektur itu…, wajah itu.., tampa mata, mata hidung dan tanpa mulut…” nafasku makin tersengal…, “gerbong ini..gerbong ini….” Gumanku, dan badanku seperti terguncang-guncang.

“Mas-mas…, bangun mas..” suara pelan mengagetkanku, dan terasa sebuah tangan halus nan lembut mengoyang-goyang pundakku.

“Hah..enggak, enggak apa-apa “ kataku sambil mencoba membetulkan posisi dudukku .

“Mimpi buruk ya..? ‘kata wanita disebelahku dengan senyum lembutnya.

“Eee…, sepertinya iya “ kataku pelan.

“Masih jauh ini mas, masih pukul 2.30 malam, baru melewati alas (*hutan) Roban (*daerah Kendal - Pekalongan), sepertinya sebentar lagi masuk kota Pekalongan“ katanya sambil menyibak rambut hitamnya, seolah-olah ingin memperlihatkan putih bersih kulit lehernya. Dan aku hanya tersenyum mendengarnya.

“Mas…tolong titip dan gendong anakku ya?, …aku mau ke belakang sebentar “ kata wanita itu dengan manja.

“Ok..” kataku sambil mencoba mengangkat anaknnya pelan agar tidak terjaga dari tidur lelapnya. Saat anak itu dalam dekapanku, “Sepertinya ada yang aneh” gumanku, “Kenapa anak ini begitu dingin dan sangat dingin, …hah!!….wajahnya !!…, wajahnya sangat pucat, tanpa mata, tanpa hidung dan tanpa mulut…!!”

Kereta terasa terus melaju kencang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun