Kelompok 6
Ira Sagita Dewi 212121117
Mustikha Larasati 212121133
Refisan Daffa Al Faruq212121136
Muhammad Tsaqif  Hidayat212121139
Abstrak: Jika perkawinan itu tidak didasarkan pada sahnya perkawinan itu sendiri, maka tidak dapat dilakukan perkawinan dengan maksud untuk mewujudkan rumah tangga yang bahagia, tenteram, sakinah, mawaddah wa rahmah. Demikian pula jaminan dan kepastian keluarga yang terbentuk dari perkawinan yang tidak pernah diakui secara sah oleh negara karena tidak pernah tercatat secara administratif justru akan menimbulkan persoalan keluarga. khususnya relevan dengan hak-hak anak dan wanita menikah dengan istri. Hak-hak anak yang berkaitan dengan hukum keluarga, seperti hak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran, akan ditolak sebagai akibat dari perkawinan yang tidak dicatatkan, yang akan mengakibatkan diskriminasi terhadap anak. Demikian pula, perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak negatif terhadap peran perempuan sebagai istri karena negara tidak mengakui, peran perempuan sebagai istri sangat lemah dan mereka tidak mendapatkan jaminan atau perlindungan atas hak-haknya dalam perkawinan.Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menerangkan: "Sebelum tahun 1974, peraturan perkawinan warisan pemerintah kolonial berlaku untuk penduduk Indonesia. Pemerintah kolonial tidak pernah mencoba untuk memaksakan satu undang-undang untuk semua warga negara, malah memilih untuk hanya mengintervensi keluarga hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh tekanan dari luar, seperti dari sebuah gereja di Belanda yang menginginkan aturan khusus bagi semua umat Kristiani di Hindia Belanda. Penjelasan Umum UU No 9 juga memuat kekhususan mengenai pluralisme hukum perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan kedua, sebagai berikut: 1. Hukum yang sama berlaku bagi orang Islam pribumi di Indonesia dan telah dimasukkan ke dalam Hukum Adat, 2. Hukum Adat mengatur penduduk asli Indonesia lainnya, 3. Huwelijks menerapkan Ordonatie Christen Indonesia (StbI. 1933, Nomor 74) kepada umat Kristiani yang merupakan penduduk asli Indonesia, 4. Ketentuan KUH Perdata tetap tidak berubah bagi warga negara Tionghoa Timur asing dan warga negara Indonesia kelahiran Tionghoa, 5. Warga negara Indonesia dan individu keturunan asing Timur lainnya mengikuti hukum adat mereka, 6. Kitab Hukum Perdata berlaku bagi warga negara Indonesia keturunan Eropa dan keturunan Eropa secara keseluruhan. Tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Latar belangkang yang melingkupi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah adanya kemungkinan penyatuan yang sah dan pembentukan kembali yang sah. Upaya penerapan satu hukum nasional yang berlaku bagi semua warga negara disebut penyatuan hukum. Sementara itu, kemungkinan pembentukan kembali yang sah pada hakekatnya dimaksudkan untuk memenuhi keinginan-keinginan pembebasan dari permintaan-permintaan yang ada dan menempatkan pasangan dalam perkawinan pada derajat yang sama, baik dalam hal keistimewaan maupun kewajiban-kewajiban. Dalam buku-buku fikih hampir tidak pernah menyebutkan pencatatan perkawinan, yang sejalan dengan keadaan yang berlaku pada saat fikih itu ditulis. Praktek pemerintah mengatur pencatatan tersebut sesuai dengan epistemologi hukum Islam, yaitu dengan metode istislah atau maslahat. Meskipun baik ayat maupun sunnah tidak mengatur secara formal tentang pendaftaran, namun kandungan manfaat tersebut sesuai dengan perbuatan syara yang menginginkan manfaat bagi orang banyak. Oleh karena itu, Kompendium Hukum Islam menyatakan bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dikeluarkan oleh pencatat nikah.
Abstract: If the marriage is not based on the validity of the marriage itself, then the marriage cannot be carried out with the intention of creating a happy, peaceful, sakinah, mawaddah wa rahmah household. Likewise guarantees and certainty for families formed from marriages that have never been legally recognized by the state because they have never been administratively recorded will in fact cause family problems. particularly relevant to the rights of children and women married to wives. Children's rights related to family law, such as the right to social services, education, and birth registration, will be denied as a result of unregistered marriages, which will result in discrimination against children. Likewise, unregistered marriages have a negative impact on the role of women as wives because the state does not recognize them, the role of women as wives is very weak and they do not get guarantees or protection for their rights in marriage. Before the enactment of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage , Adriaan Bedner and Stijn van Huis explain: "Before 1974, the marriage regulations inherited from the colonial government applied to Indonesian residents. The colonial government never tried to impose one law for all citizens, instead choosing to only intervene in family matters that had to be carried out by pressure from outside, such as from a church in the Netherlands who wanted special rules for all Christians in the Dutch East Indies.The General Elucidation of Law No. 9 also contains specifics regarding the pluralism of marriage law No.1 of 1974 concerning second marriages, as follows: 1 The same law applies to Muslims natives in Indonesia and has been included in Customary Law, 2. Customary Law regulates other native Indonesians, 3. Huwelijks implements Ordonatie Christen Indonesia (StbI. 1933, Number 74) to Christians who are native Indonesians, 4. Provisions of the Civil Code remain unchanged for foreign East Chinese citizens and Chinese-born Indonesian citizens, 5. Citizens the Indonesian state and other individuals of Eastern foreign descent follow their customary law. 6. The Civil Code applies to Indonesian citizens of European descent and European descent as a whole. Government Regulation No.1 is promulgated by the executor. concerning the implementation of Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. Apart from Presidential Instruction No. 1 of 1991 concerning Compilation of Islamic Law. The background surrounding Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is the possibility of legal union and legal re-establishment. Efforts to apply one national law that applies to all citizens of the country are called legal unification. Meanwhile, the possibility of legal re-establishment is essentially intended to fulfill the desires of liberation from existing demands and place partners in marriage at the same level, both in terms of privileges and obligations. Fiqh books almost never mention the registration of marriages, which is in line with the conditions prevailing at the time the fiqh was written. The government's practice of regulating such records is in accordance with the epistemology of Islamic law, namely the istislah or maslahat method. Even though neither the verses nor the sunnah formally stipulate registration, the content of these benefits is in accordance with the actions of the Shari'ah who want benefits for the people. Therefore, the Compendium of Islamic Law states that marriage can only be proven by a marriage certificate issued by a marriage registrar.
Pendahuluan
Sesuai dalam hukum Perkawinan Islam, menikah merupakan ibadad penting untuk mengikuti anjuran Allah. Ikatan suci menentukan pengaturan hidup dua individu yang berbagi banyak perbedaan. Jika perkawinan itu tidak didasarkan pada sahnya perkawinan itu sendiri, maka tidak dapat dilakukan perkawinan dengan maksud demi menjadikan rumah tangga yang bahagia, tenteram, sakinah, dan mawaddah wa rahmah. Maka jaminan dan kepastian keluarga yang terbentuk dari perkawinan yang tidak pernah diakui secara sah oleh negara karena tidak pernah tercatat secara administratif justru akan menimbulkan persoalan keluarga. khususnya relevan terhadap hak anak juga wanita menikah dengan istri. Hak-hak anak berkaitan dengan hukum keluarga, seperti hak atas pelayanan sosial, pendidikan, dan pencatatan kelahiran, akan ditolak karena dampak dari perkawinan tidak tercatat, akan mengakibatkan diskriminasi terhadap anak. Demikian pula, perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak negatif terhadap peran perempuan sebagai istri karena negara tidak mengakui, peran perempuan sebagai istri sangat lemah dan mereka tidak mendapatkan jaminan atau perlindungan atas hak-haknya dalam perkawinan.
Pembahasan
Sejarah Pencatatan Perkawinan Sebelum Disahkan Undang-Undang Perkawinan
Ketika belum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, Adriaan Bedner dan Stijn van Huis menerangkan: "Jauh dari tahun 1974, peraturan perkawinan warisan pemerintah kolonial berlaku untuk penduduk Indonesia. Pemerintah kolonial tidak pernah mencoba untuk memaksakan satu undang-undang untuk semua warga negara, malah memilih untuk hanya mengintervensi keluarga hal-hal yang terpaksa dilakukan oleh tekanan dari luar, seperti dari sebuah gereja di Belanda yang menginginkan aturan khusus bagi semua umat Kristiani di Hindia Belanda. Penjelasan Umum UU No 9 juga memuat kekhususan mengenai pluralisme hukum perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan kedua, sebagai berikut:
Hukum yang sama berlaku bagi orang Islam pribumi di Indonesia dan telah dimasukkan ke dalam Hukum Adat,
Hukum Adat mengatur penduduk asli Indonesia lainnya,