Mohon tunggu...
Widi Utami
Widi Utami Mohon Tunggu... Freelancer - Blogger. Home Based Education dan Bahasa Ekspresi Enthusiast.

Deaf Blogger | Sahabat Tuli Salatiga | CEO & Founder Rumah Pelangi | Full Time Mother at Home |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Setara untuk Semesta, Sebuah Refleksi Pendidikan Penyandang Deaf

29 Mei 2016   21:20 Diperbarui: 29 Mei 2016   22:32 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Isyarat untuk Pesan Menu di Kedai Lebah, picture credit: Kedai Lebah

“Pembangunan tidak akan tercapai dalam Kondisi bisu yang langgeng atau dengan suara semu.”

-Paulo Freire-

Delapan belas tahun belajar di sekolah umum, ternyata membuat terlena dalam masalah sendiri sebagai penyandang deaf yang belajar di tengah orang-orang dengan pendengaran normal. Melupakan tentang teman-teman penyandang deaf di luar sana yang sekolah di Sekolah Luar Biasa.

Perkenalkan, saya Widi Utami. Penyandang deaf tipe hard of hearing dengan ambang batas pendengaran pada telinga kanan 75 dB dan telinga kiri 87.5 dB yang disekolahkan oleh orang tua di sekolah umum. Menghadapi ujian yang sama, dengan cara yang indah berlimpah kasih sayang guru-guru di sekolah. Hingga keterpaksaan berbaur dengan orang-orang berpendengaran normal mendidik saya untuk ‘membaca’ gerakan bibir sesiapapun yang saya jumpai.

Tahun 2010 merupakan tahun dimana pertanyaan, “benarkah keputusan untuk sekolah di sekolah umum?” menggedor-gedor. Tahun dimana puncak dari kegelisahan selama menikmati sekolah di sekolah umum karena harus menghadapi Ujian Nasional dengan listening section. Jika pada jenjang sebelumnya saya mendapatkan dispensasi terkait seluruh hal yang berbau pendengaran, tahun 2010 saat berada di jenjang terakhir SMA, saya harus menghadapi ujian listening tanpa pengecualian. Sebuah titik balik yang membuat psikis down dan pesimis dalam waktu yang lumayan lama. Meski dinyatakan lulus saat UN, saya baru memulai jenjang kuliah pada tahun 2011 dengan membawa pertanyaan, kenapa diskriminatif masih sangat terasa?

Tahun 2013, semesta mempertemukan saya dengan Sahabat Tuli Salatiga. Mencubit kesadaran, betapa selama ini saya terlalu abai dengan teman-teman deaf. Menyadarkan betapa beruntungnya saya bisa menikmati bangku sekolah di sekolah umum, sebab sekolah di Sekolah Luar Biasa ternyata masih minim inovasi.

SLB yang Mengutamakan Oral

Sembari belajar bahasa isyarat bersama Sahabat Tuli Salatiga, kami saling bertukar pengalaman tentang sekolah masing-masing. Salah seorang sahabat menuturkan jika ketika belajar di sekolah, sekolah lebih mengutamakan bahasa oral daripada bahasa isyarat yang lebih mereka pahami. Obrolan dengan guru-guru di SLB pun membuktikan jika beliau memang mengutamakan bahasa oral saat pelajaran berlangsung agar murid deaf mampu berbaur dengan kalangan normal.

Namun, hal ini ternyata membawa efek negatif bagi murid deaf karena mereka merasa tertekan, sehingga pelajaran yang mereka serap hanya sedikit. Adhi Kusuma Bharoto, salah seorang penyandang deaf berprestasi yang berdomisili di Jogjakarta,  mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa pengajaran di SLB Tuli sama sekali belum berubah sejak didirikan oleh Belanda di Bandung pada tahun 1930 yang mengutamakan oral dalam kegiatan belajar mengajarnya. Adhi juga menyampaikan bahwa sistem pengajaran oral menjadi salah satu penyebab kemampuan baca-tulis penyandang deaf tergolong rendah. 

Pendidikan Inklusif yang Belum Maksimal

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun