Dentuman bom seakan menjadi pesta bagi rakyat Palestina. Namun, pesta kali ini berbeda dengan pesta biasanya. Iya, pesta kesengsaraan akibat kejamnya ulah manusia. Tragedi kemanusiaan semakin hari semakin miris dirasakan. Di semua sudut hanya ada rasa khawatir dan rasa was-was. Hidup semakin berat, namun rasanya seperti tak ada penyelesaian.
"Dikabarkan angka korban di Gaza terus bertambah. Dari data terbaru Kementerian Kesehatan Gaza, 10.568 orang tewas karena serangan Israel sementara 4.324 luka-luka." ya kabar-kabar seperti itulah yang terus membumbung tinggi membuat kami seakan tak memiliki harapan apapun.
"Bagaimana kelanjutan pencarian korban pagi ini?" tanyaku kepada tim relawan jalur Gaza.
Aku adalah Jandrieella biasa dipanggil dengan Ella. Dokter dari Indonesia yang ditugaskan untuk membantu pasien Gaza. Dengan sigap aku menerima tugas tersebut. Sudah hampir setahun aku berada di sini, walaupun aku tau, nyawaku sendiri yang akan menjadi taruhannya.
Kali ini, Gaza benar-benar kacau. Bom ada di mana-mana. Tempat berlindung kami rasanya sudah habis. Kami sudah tak punya tempat berteduh yang aman. Udara sebagai tempat penghidupan pun sudah dipenuhi oleh asap, bau busuk dari rudal yang membuat sesak nafas. Saat beribadah pun kami harus tetap dalam keadaan waspada. Bahkan, rumah sakit yang seharusnya bisa menjadi tempat perlindungan, kini sudah mulai terancam. Sebegitunya kamu tidak membiarkan kami hidup?
"Korban terus bertambah hingga saat ini. Sebagian besar korban yang tewas adalah anak-anak dan para wanita. Sepertinya memang target mereka saat ini adalah anak-anak dan para wanita. Selain harus mencarikan tempat berlindung, prioritas kita juga harus tertuju kepada anak-anak dan para wanita. Karena mereka yang menjadi target merupakan pihak terlemah daripada yang lainnya." arahan dari ketua kami melalui monitor masing-masing.
Nyawaku rasanya ikut melayang mendengar kabar Tersebut. Begitu kejamnya mereka. Bom terus berjatuhan tiada henti. Membinasakan kami tanpa pilih kasih. Nafasku seakan hilang saat mendengar rudal terus berjatuhan bak hujan meteor. Namun ini rudal bukan meteor. Rudal yang tak pandang bulu akan terjun di kawasan mana pun. Rudal yang siap menghabisi nyawa kami. Suaranya melengking membuat siapapun yang berada di sana teriak histeris tanpa henti. Dan pada akhirnya, teriakan itu berubah menjadi tangis yang memilukan. Sebagai seorang dokter aku harus terus kuat. Aku tak boleh terlena dengan keadaan tersebut. Aku harus bisa menyelamatkan mereka yang butuh bantuanku.
"Cepat suntikan bius, kita jahit kepalanya sekarang juga sebelum semakin banyak darah yang keluar!" kataku yang seakan keluar setiap waktu. Suara-suara jeritan, membuat hatiku semakin mengecil. Membuat langkahku gontai tak karuan.
Nyatanya, aku tak sekuat apa yang ada dibayangkanku. Dan aku mulai ragu dengan keberadaanku di Gaza. Aku mulai ragu dengan kemampuanku sendiri. Di hari yang gelap aku selalu sendiri. Ruang kubus tempatku beristirahat, sama sekali tak memberiku kenyamanan. Bangunan-bangunan itu, kini rata dengan tananh. Tak ada warna di sini. Semuanya mengabu. Di setiap langkah dan pandangku selalu ada rasa takut yang menyelimuti. Tak bisa kupungkiri bahwa aku ingin kembali ke tanah air saat itu juga.
"Aku ingin kembali ke Indonesia, Zaara!" ucapku kepada salah seorang teman dekatku di Palestina.
"Apa kamu takut?" tanyanya dan aku pun mengangguk sembari menangis.
"Waktu kamu menerima tugas ini, pertama kali hal apa yang kamu pikirkan?" Zaara kembali bertanya kepadaku.
"Aku ingin menyelamatkan dan membantu mereka yang membutuhkan aku." jawabku yang masih saja diiringi tangis.
"Jika memang iya, apakah kamu tega meninggalkan kami dalam kondisi kacau seperti ini, Ela?" Zaara lagi-lagi meluncurkan sebuah kalimat yang membuatku berpikir dalam.
"Rasa takut, rasa was-was, kami semua juga merasakan hal tersebut, Ela. Itu sudah sangatlah wajar. Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Jika memang sudah benar-benar tenang, mari kita berpegangan tangan dan kembali terjun untuk menyelamatkan mereka. Ini waktu yang tepat untuk kita seorang dokter melakukan jihad fisabilillah. Serahkan semuanya kepada Tuhan, Ela. Semuanya, apa yang kita jalani saat ini sudahlah kehendak-Nya. Ini memang sudah menjadi tugas dan kewajiban kita. Ya sudah aku tinggal keluar dulu. Jangan lupa makan. Aku tunggu kamu di depan." Zaara adalah teman terdekatku yang selalu bisa membuatku tenang di keadaan yang tidak kondusif.
Zaara tak pernah gagal membuatku yakin akan hidup yang sudah berada pada porsinya masing-masing. Benar yang dikatakan oleh Zaara. Semuanya memang sudah ada garisnya. Setiap manusia memang sudah mempunyai garis masing-masing. Meski rasa takutku masih tetap bersemayam dalam diri, tapi aku akan tetap teguh membantu mereka. Harapanku tetap sama, "Tolong Biarkan Kami Hidup!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H