Mohon tunggu...
Mustika Perwita
Mustika Perwita Mohon Tunggu... Mahasiswa - welcome and enjoy!

hi, saya adalah mahasiswi yang sudah lulus d3 dan melanjutkan studi s1.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Tentang Sosoknya

18 Juni 2018   21:23 Diperbarui: 21 Juni 2018   09:26 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Hampir 7 bulan lebih lamanya saya mengenal sosoknya. Sosok yang saya anggap sebagai benalu. Sosok yang menjadi wabah penyakit untuk saya. Sosok yang seharusnya saya lewati.  Sebenarnya, saya mengangagumi sekaligus mencoba membencinya. Saya pernah menangis karenanya. 

Lalu, saya pernah berada dalam ingatannya. Kemudian, saya pernah masuk ke dalam saluran napasnya beberapa detik. Dan akhirnya, saya perlahan menyadari, bahwa saya jatuh. Entah berapa juta rasa dalam hati ini yang enggan saya katakan. Karena saya tidak tahu dan tidak ingin tahu. Biarkan rasa ini terus menumpuk dalam hati lalu menjadi sesak. Sampai akhirnya, saya merindu. Lalu merengek kepadanya dan mengatakan bahwa saya sangat haus akan sosoknya.

Dia, senja didalam imajinasi saya. Dia bagaikan inspirasi yang masuk melewati celah jendela rumah saya. Merangkap menjadi kebaikan dan keburukan bagi saya. Dua hal yang sekaligus sangat bertentangan.

Dia, hadir dalam hidup saya. Menuai rasa yang sebenarnya tidak bisa saya jelaskan. Membagi jiwa yang tidak pernah saya bayangkan. Menyayat hati yang tidak pernah saya duga. Melukai nafsu yang tidak bisa saya tolak. Menusuk luka yang tidak bisa saya hindari.

Dia, yang selalu saya tunggu dalam tenang dan terkadang datang dalam kekacauan. Dia, yang pernah berceloteh tentang kerasnya dunia ini. Dia, yang selalu mengajari saya banyak hal secara tidak sengaja. Dia, yang pernah saya maki. Dia, yang tahu betapa buruknya saya.

Hubungan kami masih diam ditempat. Berjalan ke depan dan berjalan menuju arah yang sedikit berkelok. Beberapa kerikil pun terinjak oleh kaki yang mungil. Halusnya kulit menyentuh tanah dan mata itu yang selalu menjadi alasan saya menetap. Bahkan, senyumnya pun selalu menjadi hadiah bagi saya. Ketika bibirnya membentuk bulan sabit, matanya pun mengecil bagai malaikat yang suci. Bibirnya yang merah selalu teringat dalam otak.

Kami, hanyalah manusia yang penuh dengan dosa. Mencoba untuk mencari cara agar semua rasa ini tersampaikan. Mencoba menahan rindu yang tak terbalaskan. Mencoba bersabar ketika kami tidak bisa bersentuh. Mencoba menerima ketika lama kelamaan, semuanya menjadi sirna dan perlahan menarik hati ini.

Saya tidak pernah menghitung seberapa banyak dia membuat saya tersenyum atau sebaliknya. Yang saya tahu, bahwa saya harus bergegas untuk berlari sekencang-kencengnya. Merelakan satu persatu ingatan yang pernah singgah dalam otak ini. Mengistirahatkan hati yang selalu terbebani oleh rindu yang teramat. Namun, hati saya menolak itu. Sebenarnya, saya lelah. Saya terus ingin berjuang dalam kediaman ini. Membiarkan semuanya masuk lewat ingatan. Kemudian termakan oleh waktu.

Teruntuk dia, saya hanya berharap agar terus dalam lindungan Tuhan. Terima kasih sudah pernah menjadi bagian yang paling saya butuhkan. Terima kasih akan kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan. Terima kasih atas hal yang pernah terjadi dalam hidup saya. Terima kasih telah mengajarkan sesuatu yang sampai sekarang saya ingat. Terima kasih untuk kesekian kalinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun