Karakteristik masyarakat Surabaya memiliki budaya yang khas. Budaya yang bersikap terbuka, terus terang dan egaliter. Interaksi masyarakat Surabaya tidak bersekat sehingga tidak segan untuk saling menyapa atau menanyakan kabar tanpa membedakan status sosial, usia, maupun hubungan keakraban. Orang yang lebih muda tidak harus menyapa terlebih dahulu orang yang lebih tua karena budaya saling sapa dalam masyarakat Surabaya lebih tertuju pada siapa yang tahu atau melihat terlebih dahulu.
Keadaan yang demikian membuat hubungan antar masyarakat menjadi lebih akrab dan terbuka. Ketika masyarakat Surabaya tidak setuju dengan apa yang dikehendakinya mereka akan menyatakan penolakannya dengan lugas dan berterus terang. Demikian pula ketika diminta untuk mengungkapkan pendapatnya tentang sesuatu hal, masyarakat Surabaya akan menyatakan sebenarnya dan apa adanya.
Karakteristik budaya masyarakat Surabaya yang egaliter, terbuka, dan terus terang tersebut mempengaruhi bahasa yang digunakan, sehingga “basa Suroboyoan” dianggap sebagai bahasa yang lugas, spontan, berkarakter, dan berkesan kasar apabila dibandingkan dengan bahasa Jawa standar yaitu bahasa Jawa yang digunakan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Karisidenan Surakarta. Hal ini sesuai dengan pernyataan Yunani Prawiranegara (2004).
Sebagai daerah pesisir, “basa Suroboyoan” mewarisi budaya dan bahasa pesisiran sebagai bahasa transisi dari bahasa Jawa Majapahitan ke bahasa Jawa Baru Jawa Tengahan. Oleh karena itu, ada kesan “basa Suroboyoan” kasar dan kurang mengindahkan bahasa Jawa standar. “Basa Suroboyoan” yang egaliter terkesan begitu jenaka, sehingga membuat suasana kemraket ‘akrab’, grapyak ‘ramah’, dan semanak ‘menyenangkan’. Sementara itu, Kisyani (2014) menyatakan bahwa “basa Suroboyoan” adalah bahasa yang lugas, spontan, dan berkarakter.
Bebicara tentang “Boso Suroboyoan” pasti telinga kita akan terngiang kata Jancuk. Kata ini sangat popular di Surabaya tidak mengenal kasta, jenis kelamin dan profesi. Kata Jancuk dalam sebuah interaksi sosial dan obrolan selalu terlantun cukup eksis, ibarat sayuran Jancuk itu adalah garam. Jika tidak ada kata Jancuk maka akan ada rasa yang tertinggal dalam interaksi tersebut. Sebenarnya banyak sekali “boso Suroboyoan” selain kata Jancuk yang menjadi identitas Arek Suroboyo, seperti Gaplek dan Gathel. Pada kesempatan kali ini kita akan share tentang Jancuk dan Gathel.
Kata Jancuk itu berasal dari dua kata dasar yaitu ‘Jan’ (Jange) dan ‘cuk’ (encuk). ‘Jange’ memiliki arti ‘akan’ sedangkan ‘encuk’ sendiri memiliki arti sanggama, diperkosa atau melakukan hubungan sex. Sehingga Jancuk secara epitemologis dapat diartikan ‘akan melakukan hubungan sex’. Kata ini di beberapa daerah dilarang karena mangandung nilai yang kurang etis, sangat kasar dan berkonotasi negatif. Ada banyak varian kata jancok, seperti jancok, dancuk, dancok, damput, dampot, diancuk, diamput, diampot, diancok, mbokne ancuk. jambu, jancik, hancurit, hancik, hancuk, hancok.
Kata Gathel sendiri memiliki makna yaitu kotoran pada kelamin laki-laki maupun perempuan. Dalam bahasa biologis disebut sebagai ‘smegma’ yaitu sekresi alami sel kulit dan minyak yang berkumpul di bawah kulup pada laki-laki dan perempuan. Kata ini memang di beberapa daerah belum familier, tetapi untuk daerah Surabaya dan sekitarnya kata ini juga tidak pernah lepas dari berbagai interaksi sosial yang ada.
Lantas mengapa Jancuk dan Gathel menjadi sebuah budaya pada Arek Suroboyo? Padahal budaya itu harus memiliki nilai yang etis, nilai luhur dan beradab. Apakah ini dapat disebut dengan sebuah budaya?
Mari kita menyimak penuturan Geoffrey Neil Leech ahli Linguistic asal Inggris. Leech mengatakan Fungsi bahasa (1974) ada lima macam, yaitu (1) fungsi informasional, digunakan untuk mengungkapkan makna konseptual, (2) fungsi ekspresif, digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur, (3) fungsi direktif, digunakan untuk memengaruhi perilaku seseorang, (4) fungsi estetik, digunakan untuk menghasilkan karya sastra, terutama dalam puisi, dan (5) fungsi fatis digunakan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terjaga.
Merujuk pada Leech, jika kita menarik kata Jancuk dan Gathel sebagai fungsi informasional maka akan muncul sebuah makna konseptual secara epistemologis bersifat negative dan dirasa kurang pantas dan kurang etis jika dikatakan sebagai budaya. Tetapi Jika kita merujuk pada fungsi kedua dan keempat akan menemukan nilai etis dalam kata Jancuk dan Gathel. Pada Fungsi kedua, Bahasa berfungsi sebagai ekspresi yang digunakan penutur dalam mengungkapkan perasaan dan sikap sehingga akan tergantung pada kontekstual bukan lagi konseptual.
Misalnya pada percakapan seorang pemuda yang sudah lama tidak jumpa dengan sahabatnya, saat pertama kali bertemu mereka mengatakan :