Dalam berbagai level kehidupan, pendidikan memainkan peran yang sangat strategis. Pendidikan memberi banyak peluang untuk meningkatkan mutu kehidupan. Dengan pendidikan yang baik, potensi kemanusiaan yang begitu kaya pada diri seseorang dapat terus dikembangkan. Pada tingkat sosial, pendidikan dapat mengantarkan seseorang pada pencapaian dan strata sosial yang lebih baik. Secara akumulatif, pendidikan dapat membuat suatu masyarakat lebih beradab. Dengan demikian, pendidikan, dalam pengertian yang luas, berperan sangat penting dalam proses transformasi individu dan masyarakat.
Dengan menyadari nilai strategis pendidikan tersebut, dalam konteks kehidupan bermasyarakat dan bernegara, muncul pertanyaan awal: siapakah yang memiliki kewajiban untuk membiayai pendidikan? Negara, masyarakat, atau kedua-duanya?
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1) menyebutkan bahwa “setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (3) menyebutkan bahwa “pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”. Pasal ini dapat dilihat sebagai landasan normatif yang mewajibkan negara untuk memenuhi hak setiap warga negara agar bisa mendapatkan pendidikan.
Kewajiban negara untuk menyediakan dan memenuhi hak warga negara atas pendidikan dibangun di atas asumsi yang terkait erat dengan bagaimana kehidupan bermasyarakat terbentuk. Dalam teori kontrak sosial, dijelaskan bahwa masyarakat politis terbentuk berkat adanya kontrak atau konsensus nasional. Ada kesepakatan bersama tentang nilai-nilai yang menjadi landasan kehidupan bermasyarakat dan tujuan yang dihendak diraih. Kesepakatan ini juga terkait dengan sarana, proses, dan prosuder pelaksanaannya (Sugiharto & Rachmat W., 2000: 46-47). Dalam konteks Indonesia, hal ini tergambar dalam Pembukaan UUD 1945 dan UUD 1945.
Jadi, untuk memenuhi amanat “mencerdaskan kehidupan bangsa”, yang kemudian diturunkan ke dalam pasal 31 UUD 1945, negara, di antaranya, berkewajiban untuk membiayai pendidikan. Perlu dicatat di sini bahwa pembiayaan adalah salah satu bagian dari pengelolaan. Artinya, terkait pendidikan, negara secara umum berkewajiban menyelenggarakan pengelolaan pendidikan (termasuk dalam hal pembiayaan) untuk dapat memenuhi hak setiap warga negara. Ini adalah premis pertama yang dapat dirumuskan dalam diskusi kita ini.
Sampai di sini, jika disepakati bahwa pada tingkat tertentu negara memiliki kewajiban untuk membiayai pendidikan, muncul pertanyaan lainnya: bagaimana dan di manakah posisi masyarakat? Apakah masyarakat juga punya kewajiban untuk berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan? Pertanyaan ini juga mengimplikasikan pertanyaan lain: jika kewajiban negara untuk membiayai pendidikan tidak bersifat penuh, mengapa pada tingkat tertentu partisipasi publik dalam pembiayaan pendidikan itu tetap harus ada dan diperlukan?
Di balik uraian dan pertanyaan terakhir ini, problem etis yang mungkin muncul dapat ditelusuri dengan mempertanyakan: adakah dampak/problem etis yang dapat muncul ketika negara dalam batas tertentu memiliki kewajiban dan wewenang untuk membiayai dan mengelola pendidikan? Adakah dampak/problem etis ketika publik tidak berpartisipasi pada pembiayaan pendidikan?
Problem etis ini pada dasarnya adalah persoalan lanjutan dari diskusi soal legitimasi etis penggunaan dan batas wewenang kekuasaan negara. Apakah “negara memiliki hak untuk mencampuri segala urusan masyarakat, untuk menentukan segala-galanya?” (Magnis-Suseno, 1994: 177).
Aspek normatif dan problem etis yang muncul dari masalah pembiayaan pendidikan ini akan berusaha didiskusikan dalam tulisan ini. Diskusi akan juga banyak terfokus pada problem umum pendidikan di Indonesia, yang baik secara langsung atau tidak dipandang terkait erat dengan asumsi kewajiban dan wewenang negara untuk mengelola pendidikan.
Kewajiban Negara
Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina dan ketua Gerakan Indonesia Mengajar menyatakan bahwa dalam hal pemberantasan buta huruf, Indonesia memiliki prestasi yang cukup membanggakan. Saat republik ini berdiri, angka buta huruf mencapai 95 persen (di sumber yang lain Anies menyebut 80 persen). Dan sekarang, angka itu turun menjadi 8 persen (Baswedan, 2010). Bahkan, menurut Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Departemen Pendidikan Nasional, Hamid Muhammad, total jumlah warga buta aksara 9,7 juta atau 5,97 persen dari jumlah penduduk Indonesia (Kompas, 28/04/2009).