Sore itu, di antara sedikit rasa mengantuk, saya merasakan sunyi yang lain di tempat itu. Setelah sejak Jum’at malam hingga Ahad malam mengikuti ProFauna Conference 2011 dengan jadwal yang padat, Senin sore itu suasana P-WEC (Petungsewu Wildlife Education Center) yang menjadi tempat acara menjadi lengang. Area yang rimbun dan hijau seluas 5 hektar itu telah ditinggalkan oleh hampir semua peserta konferensi yang berjumlah seratusan orang mulai Ahad malam. Yang tersisa hanya sekitar sepuluh peserta yang masih akan mengikuti kegiatan tambahan yang akan dimulai Senin malam dan Selasa, ditambah dengan pengurus ProFauna dan P-WEC. Sore itu, saya rebahan saja di kamar setelah datang dari kota Malang untuk mengikuti aksi kampanye perlindungan primata bersama suporter ProFauna yang lain. Dari dalam ruangan tempat menginap, bangunan yang terbuat dari kayu yang bersih dan asri, sore itu saya dapat mendengarkan suara burung-burung di sekitar kompleks yang tampak riuh dan riang. Sambil rebahan, dalam pikiran saya berkelebat kegiatan padat dua hari yang baru saja saya ikuti. Dua hari ini saya telah mendapatkan banyak hal baru dalam acara ini. Yang terpenting, saya mendapatkan banyak sekali data dan informasi baru tentang keberadaan, nasib, dan juga masa depan satwa liar serta habitatnya khususnya di Indonesia. Lebih dari itu, data dan informasi tersebut pada giliran berikutnya memperkaya dan memberikan perspektif baru bagi wawasan pengetahuan saya sebelumnya, terutama terkait dengan masalah-masalah lingkungan pada umumnya dan termasuk juga bagi latar minat akademik saya di bidang etika lingkungan atau etika terapan. Sore itu, saat rebahan, secara pribadi saya merasakan suatu momen jeda yang cukup istimewa. Beralih sejenak dari kegiatan kependidikan di sekolah di rumah saya, apa yang saya dapatkan dari konferensi ini selama dua hari penuh mendorong bagi munculnya sejumlah pertanyaan menarik dan mendasar. Di antaranya berupa pertanyaan: apa dan bagaimana yang bisa saya lakukan selanjutnya setelah mendapatkan data, informasi, dan pengetahuan selama konferensi ini? * * * Saya pertama kali mengenal ProFauna pada bulan Juni 2009 ketika diundang PMPTK Depdiknas dan British Council Jakarta yang mengadakan acara Training of Trainer Education for Sustainable Development di Malang. Salah satu sesi kegiatan itu diisi oleh Mas Rosek Nursahid, pendiri ProFauna, yang memaparkan kegiatannya di bidang konservasi satwa liar dan habitatnya. Setelah terputus hampir dua tahun, di awal 2011 secara kebetulan saya mendapatkan informasi tentang ProFauna Conference 2011 yang akan dilaksanakan di bulan Juni 2011. Melihat rancangan materi konferensi, saya tertarik. Ketertarikan saya ini tumbuh terutama karena ketika studi Master Etika Terapan di Belanda dan Norwegia saya sempat mendapat matakuliah Etika Binatang di Utrecht. Karena disyaratkan harus terdaftar sebagai suporter ProFauna, maka di akhir Februari lalu saya langsung mendaftar sebagai suporter. Penantian antara saat mendaftar sebagai suporter dengan pelaksanaan konferensi, antara Februari ke Juni, bagi saya terasa tak lama. Tiba-tiba sudah masuk Juni, dan konferensi akan segera dimulai. Saya agak terlambat tiba di konferensi yang dibuka pada Jum’at petang tanggal 3 Juni 2011 sehingga saya tidak mengikuti sesi pembukaan. Saya tiba di lokasi yang berjarak sekitar 10 km dari kota Malang itu sekitar pukul 21.30 WIB, dan setelah mendaftar ke panitia, saya langsung istirahat. Jadwal konferensi selama dua hari, Sabtu dan Ahad, saya lihat sangat padat. Sabtu pagi hingga siang, dari jam 8 pagi hingga jam 12, kami mendapatkan empat materi, yakni tentang rehabilitasi orangutan, pendidikan konservasi alam, penyelamatan satwa di tengah letusan Gunung Merapi, dan investigasi perdagangan satwa liar di Jakarta. Yang menarik, jadwal yang padat ini berlangsung secara efektif. Materi yang disampaikan dapat dipaparkan secara ringkas, padat, kaya informasi, dan tetap interaktif. Ini pelajaran pertama yang saya dapatkan di konferensi ini: mengelola waktu secara efektif dalam sebuah acara seperti konferensi ini penting. Tentu saja ini mengandaikan kemampuan narasumber dan juga peserta untuk mendukung efektivitas jadwal yang sudah dirancang. Narasumber mempersiapkan alur materi dengan baik, dan peserta mencerna serta memberi respons dengan fokus, tepat dan baik pula. Materi konferensi yang lain tak jauh berbeda seperti yang di Sabtu pagi hingga siang. Ada tentang pelestarian burung nuri dan kakatua (burung paruh bengkok) di Maluku, juga tentang pelestarian penyu di Pantai Kuta. Ada pula materi yang bersifat wawasan, seperti tentang Islam dan perlindungan satwa, yang menghadirkan K.H. M. Azizi Chasbulloh, salah satu pengurus LBM NU Jawa Timur. Ada juga materi yang bersifat praktis-strategis: strategi kampanye perlindungan satwa liar dan hutan yang disampaikan oleh Mas Rosek, dan pengenalan membuat film tentang alam yang disampaikan oleh Joe Yaggi. Di antara bermacam materi dalam konferensi ini, saya sangat tertarik dengan paparan yang menuturkan pengalaman para suporter ProFauna di lapangan yang bergiat di bidang penyelamatan satwa. Rentang wilayahnya pun cukup beragam, mulai dari penyelamatan satwa dalam bencana letusan Gunung Merapi, hingga kegiatan yang mengandung unsur investigasi seperti tentang perdagangan satwa di Jakarta dan juga pelestarian burung paruh bengkok di Maluku. Tema-tema paparan yang saya sebut terakhir ini nuansanya cukup berbeda dengan paparan tentang rehabilitasi orangutan yang disampaikan oleh Ian Singleton, meskipun sama-sama bertolak dari pengalaman di lapangan. Ian, yang selama presentasi fasih sekali berbahasa Indonesia hingga banyak menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa percakapan terkini, memang secara profesional bekerja sebagai direktur konservasi di PanEco Foundation—sebuah lembaga berbasis di Swiss yang fokus di isu satwa liar. Sedang para suporter ProFauna yang terlibat dalam kegiatan lapangan penyelamatan satwa liar di Jakarta, Maluku, dan yang lainnya, sehari-hari sebenarnya bekerja di bermacam bidang. Keprihatinan dan semangat merekalah yang menyatukan sehingga mereka bisa bergandeng tangan dalam sebuah proyek kampanye penyelamatan satwa. Memang, di antara beberapa suporter ProFauna ada yang memiliki bekal keahlian dan keilmuan tertentu yang cukup memadai dan kemudian dibaktikan untuk semangat dan kepedulian mereka. Di antara suporter, cukup banyak yang berlatar keilmuan biologi, kedokteran hewan, dan juga kehutanan. Namun demikian, kesediaan mereka untuk meluangkan waktu, tenaga, dan bahkan biaya untuk melakukan sesuatu demi pelestarian satwa liar dan habitatnya menunjukkan bahwa mereka adalah sosok yang penuh semangat dan pengabdian. Bertemu dan berkumpul dengan sejumlah orang-orang seperti ini telah menyulut optimisme dan semangat saya sendiri. Di tengah berbagai persoalan bangsa yang beraneka rupa dan cukup pelik, masih ada sekian orang yang penuh semangat dan dedikasi, berbuat sesuatu untuk masa depan yang lebih baik. Sampai di sini saya jadi teringat kutipan menarik yang dilontarkan Margaret Mead (1901-1978), seorang antropolog Amerika, yang menyatakan: “Never depend upon institutions or government to solve any problem. All social movements are founded by, guided by, motivated and seen through by the passion of individuals.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H