Mohon tunggu...
Moh. Musthofa
Moh. Musthofa Mohon Tunggu... Editor - Professional Worker

Cinta Kedamaian

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Paradoks: Lensa Perkotaan dan Pedesaan

31 Januari 2025   11:03 Diperbarui: 31 Januari 2025   11:03 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Ilustrasi Meta AI

Pagi ini, seluruh kota dipenuhi kabar duka. Mantan sekretaris daerah, atau yang akrab dipanggil Pak Sekda, telah meninggal dunia. Penyebabnya masih simpang siur, tetapi berita itu begitu cepat menyebar. Setiap media sosial penuh dengan ucapan belasungkawa. Dari pejabat tinggi, pengusaha, hingga influencer lokal, semua menuliskan cerita-cerita kebaikan almarhum.

"Beliau adalah pemimpin yang luar biasa," tulis seorang anggota DPRD di Facebook.

"Pak Sekda selalu menginspirasi," ujar seorang jurnalis di Twitter.

Di antara kerumunan, Pak Bambang, seorang pengemudi angkot tua, berdiri dengan mata berkaca-kaca. "Beliau orang baik," gumamnya kepada seorang pria di sebelahnya. "Aku masih ingat saat jalan-jalan kota ini penuh lubang, sulit sekali mencari penumpang karena orang lebih memilih naik ojek. Tapi beliau memperbaiki semuanya. Sekarang jalan-jalan mulus, dan kami para sopir angkot bisa mencari nafkah dengan lebih mudah."

Tak jauh dari sana, Ibu Darma, seorang pedagang kaki lima di taman kota, juga mengenang jasanya. "Dulu, kami sering diusir dari trotoar tanpa solusi. Tapi Pak Sekda membuatkan area khusus untuk kami di taman ini. Sekarang, aku bisa berjualan tanpa rasa takut, dan anak-anakku bisa sekolah dengan hasil daganganku."

Di depan balai kota, sebuah layar besar menampilkan video kenangan tentang berbagai proyek yang digagasnya seperti saat perbaikan jalan, pembangunan taman kota, tempat wisata bahari, serta pengadaan fasilitas umum yang lebih baik. Warga menyaksikan dalam diam, mengenang setiap langkah yang telah ia tempuh untuk membuat kota ini lebih nyaman.

Namun, jauh dari hiruk-pikuk kota, di sebuah desa kecil bernama Tanjung Pengabdian, yang terletak di pelosok barat kota, kematian Pak Sekda tidak meninggalkan jejak apa-apa. Tidak ada warga yang berbicara tentang kehilangan atau jasa-jasa beliau. Tidak ada air mata, tidak ada bendera setengah tiang.

Di warung kopi, beberapa pria dengan berbagai profesi, mulai dari nelayan, petani dan pemuda desa tengah asyik bercengkerama seperti biasa. Pak Belo, seorang petani tua, mengisap rokok kreteknya dalam-dalam. "Jadi, Pak Sekda meninggal?" tanyanya tanpa ekspresi.

"Iya, Pak Belo. Ramai di media sosial. Katanya, beliau banyak berjasa," sahut Udin, pemuda desa yang sering ke kota.

Pak Belo tertawa kecil, batuk sebentar, lalu berkata, "Jasa apa? Seumur hidupku, aku tidak pernah melihat jalan desa ini diperbaiki. Kalau hujan, berlumpur. Kalau kemarau, berdebu. Tiap kali pemilihan, janji tinggal janji."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun