Trusmi Cirebon Desa Adat, Kampung Batik, Serta Sekilas Motif Batik Cirebon dan Filosofinya Oleh : Mustaqim Asteja *) “Ajining badan dening busana, ajining diri dening pakarti, ajining bangsa dening budaya, ajining budaya dening agama”. “Kehormatan tubuh karena busana, Kehormatan diri karena budi pekerti, Kehormatan bangsa karena budaya, Kehormatan budaya karena agama”. (Ki Kartani Cirebon) Busana adalah cerminan identitas, watak, dan kondisi sosial ekonomi pemakainya, juga merupakan indikator moral dan budaya suatu bangsa. Bagi mayoritas masyarakat Cirebon yang beragama Islam, busana selain alat pelindung tubuh yang vital (penutup aurat), juga harus bernilai keindahan dan kesopanan. Kain batik adalah salah satu busana tradisional Cirebon yang menjadi komoditas industri seiring dengan meningkatnya ekonomi masyarakat di akhir Abad 19 awal abad 20an. Saat itu Batik Cirebon diproduksi dibeberapa tempat baik dalam kota maupun luar kota Cirebon. Didalam kota Cirebon batik diproduksi di lingkungan keraton Kasepuhan, keraton Kanoman, dan keraton Kacirebonan, Kaprabonan, serta kampung Kanduruan yang mayoritas penduduknya etnis Cina. Sedangkan diluar kota Cirebon terdapat para pengrajin batik seperti di daerah Plumbon, Trusmi, Plered, Kalitengah, dan Battembat. Pengrajin batik juga terdapat di daerah Paoman Indramayu dan Cigugur Kuningan. Kini sentra industri Batik Cirebon yang masih bertahan dipusatkan di desa Trusmi Kabupaten Cirebon, sehingga masyarakat menganggap bahwa Batik Cirebon identik dengan “Batik Trusmi”. Motif batik Cirebon yang populer diantaranya motif “Wadasan” dan “Mega Mendung”. Awalnya inspirasi motif batik berasal dari suasana panorama alam dalam kraton Cirebon. Trusmi - Cirebon, Desa Adat & Desa Batik Sejarah asal muasal nama “Trusmi” hingga kini belum dapat dijelaskan dengan pasti karena dalam tradisi tutur dan tulis masyarakat Cirebon diceritakan dalam berbagai versi, namun demikian masyarakat Trusmi meyakini hingga kini Mbah Buyut Trusmi, Ki Buyut Trusmi, atau Pangeran Walangsungsang Cakrabuana yang popular dengan Gelar “Mbah Kuwu Cerbon” adalah Leluhur mereka. Trusmi adalah nama sebuah desa sekaligus sebuah komplek situs pemakaman Ki Buyut Trusmi yang terdapat disana. Taroorasmie atau Trusmi sebagai sebuah “Sub division Of Cheribon” atau sebuah desa di Cirebon dengan nomor urut 45 telah tercatat dalam arsip wilayah administrasi kolonial Inggris di Cirebon sejak 1815. (ANRI, Cirebon : 39). Jauh sebelumnya sebagai Komplek Situs Makam Mbah Buyut Trusmi tempat ini mempunyai banyak Cerita tutur turun-temurun diantaranya dua versi cerita sebagai berikut : Versi Sejarah Carruban Kawedar dengan judul “Sambetipun Sajarah Trusmi” menggunakan bahasa Cirebon (terjemahan bebas oleh penyusun). “…Diceritakan setelah syiar Islam telah menyebar keseluruh nusantara pulau Jawa, kemudian Walisongo menyatukan tekad bermusyawarah bertempat di Masjid agung Sang Ciptarasa Cirebon. Kebetulan saat itu Sunan Gunung Jati mempunyai putra sir (putra gaib) yang bernama Bung Cikal. Pangeran Cakrabuwana “Ki Kuwu Cerbon Kedua” berniat melepas jabatannya sebagai pemimpin atau “umaro” untuk menekuni agama sebagai pandita atau “ulama” sekaligus “mong-mong” mendidik Bung Cikal putra Sunan Gunung Jati. Pangeran Cakrabuwana membangun padukuhan ke arah baratsekitar tujuh Kilo Meter dari keraton Pakungwati Cirebon, yang kemudian bernama Astana Kramat Trusmi berasal dari sebuah balong kramat yang airnya sangat jernih, dari atas balong hinga dasarnya terlihat kerikil dan pasir yang airnya terus menerus semi “mengalir” sehingga dinamakan “Terussemi” atau “Trusmi”. Versi lain menyebutkan Bung Cikal atau Pangeran Manggarajati yang diasuh oleh Mbah Kuwu Cerbon atau Mbah Buyut Trusmi, sejak kecil telah terlihat kesaktiannya. Salah satu kebiasaan Bung Cikal adalah sering merusak tanaman yang ditanam oleh Mbah Buyut Trusmi, namun yang mengherankan setiap tanaman yang dirusak oleh Bung Cikal segera tumbuh dan bersemi kembali sehingga masyarakat menamakan pedukuhan tersebut Trusmi yang berarti “Terus Bersemi”. Masih ada beberapa versi kisah masyarakat Cirebon mengenai keberadaan Situs makam Mbah Buyut Trusmi, terlepas dari soal kebenaran berbagai kisah tersebut, yang jelas dalam komplek situs makam Mbah Buyut Trusmi masih terdapat berbagai peningalan yang erat kaitannya dengan kisah tersebut diatas misalnya Makam Mbah Buyut Trusmi, Masjid Kuno, Witana, dan kolam atau “Balong Pakulahan” yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat keramat. Untuk melestarikan keberadaan Situs makam keramat Mbah Buyut Trusmi sampai saat ini masyarakat Trusmi masih menjalankan acara tradisi diantaranya “Selawean” atau Muludan Trusmi puncaknya tanggal 25 Rabiul Awwal atau bulan maulid, “Gantos Sirap” waktunya empat tahun sekali, dan tradisi “Memayu” atau “Gantos Welit” setiap setahun sekali. Paramita R. Abduracman berpendapat Trusmi merupakan tempat tinggal (Ki Gedeng) Panembahan Trusmi, kepala serikat mistis Tariqah, para pengrajin, kaum pria Trusmi, mungkin juga Kalitengah dulu merupakan anggota serikat pengrajin, bagian dari salah satu Tariqah Islam yang mengkhususkan dirinya dalam seni lukis, dimana pembuatan batik merupakan salah satu bagiannya yang terkenal akan corak-corak pesanan “Keratonan” yang mencerminkan falsafah dari serikat Tariqah tersebut yang tersembunyi dalam motifnya yang abstrak. (Abduracman, 1982 : 150). Pendapat Abduracman tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Casta, bahwa Trusmi merupakan salah satu pusat kegiatan Tariqah. Di desa ini pernah berdiam tokoh Tariqah Qoddiriah wan Naqsabandiyah yang sangat berpengaruh di pulau Jawa, yaitu Syekh Talhah (masyarakat setempat menyebutnya dengan nama Ki Talko), guru dari Abah Sepuh dan Abah Anom di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Keberadaan Syekh Talhah sebagai guru Tariqah Qoddiriah wan Naqsabandiyah di Cirebon adalah tahun 1878, yakni setelah meninggalnya Syekh Ahmad Khatib Sambas. (Casta, 2008 : 66). Menurut laporan Serah Terima Jabatan Residen Cirebon C.J.A.E.T. Hiljee, tanggal 3 Juni 1930 mengenai perdagangan dan kerajinan di Cirebon dijelaskan terdapat perusahaan batik di Desa Trusmi, Karangtengah (Kalitengah), Plered, dan Desa Battembat yang dikelola oleh orang-orang Cina. Di Plered sejak dulu orang Cina menjadi pengusaha dan pedagang batik, pembatikan dikerjakan secara borongan oleh penduduk pribumi, alat-alat pembatikan mereka sewa. Pengusaha-pengusaha batik di Plered menyediakan kain putih (mori), malam (lilin), dan bahan pewarna sebagai modal. Setelah bahan-bahan tersebut menjadi kain batik yang telah jadi, pembatik pribumi itu menjualnya kepada pengusaha menurut harga pasaran dikurangi modal dan sewa peralatan, sisanya adalah merupakan hak pembatik pribumi sebagai “Upah” membatik. (ANRI, 1976 : CLIV, 254). [caption id="attachment_282538" align="aligncenter" width="400" caption="Mande Mastaka Keraton Kanoman Cirebon 1935, salah satu inspirasi motif Wadasan dan Mega Mendung pada Kain Batik Cirebonan (Sumber: KITLV NL)."][/caption] Motif Wadasan dan Megamendung Motif batik “Wadasan” dan “Mega Mendung” merupakan motif batik Cirebon yang sangat populer saat ini bahkan menjadi ikon “Batik Cirebonan” yang dikenal hingga mancanegara. Motif tersebut baru muncul secara bebas dalam pasaran perbatikan Cirebon dimulai pada era tahun 1970an. Sebelumnya motif Wadasan dan Megamendung adalah motif batik Keraton Cirebon yang bersifat “Sakral”. Sepanjang penelian penulis berdasarkan foto-foto lama pakaian para bangsawan Keraton Cirebon di era tahun 1930-1940an tidak diketemukan kedua motif batik tersebut dipakai oleh para bangsawan Keraton Cirebon saat itu. Motif batik “Wadasan” berasal dari kata Wadas masyarakat Cirebon memaknainya “Tanah yang sangat keras” atau “Batu Cadas”. Inspirasi motif Wadasan didapat dari panorama alam Cirebon sebagai negeri pesisir yang banyak dijumpai “Batu Cadas” atau “Batu Karang” di pantai yang tegar menahan gempuran ombak lautan. Motif Wadasan selalu digunakan untuk motif hias batik “Keratonan” Cirebon. Motif ini selain sebagai hiasan pembantu juga digunakan pula sebagai pokok hiasan. Motif batik yang menggunakan pokok hiasan Wadasan adalah motif “Rajeg Wesi”, “Wadas Grompol”, dan “Panji Sumirang”. Motif batik “Mega Mendung” merupakan visualisasi dari bentuk “Mega” atau “Awan”, motif ini merupakan pengaruh kebudayaan Cina yang merambah ke Cirebon, salah satu buktinya terdapat pada lukisan-lukisan awan pada piring Cina yang menempel pada tembok bangunan Situs Makam Sunan Gunung Jati. Bentuk awan diolah sedemikian rupa oleh para seniman dengan gaya tersendiri dengan bentuk awan yang berlapis-lapis dengan warna merayang hingga tegas. Lapisan- lapisan warna tersebut bila dikaji lebih lanjut sarat dengan nilai-nilai filosofi keagamaan. Bagi masyarakat Cirebon yang mayoritas beragama Islam “Motif Wadasan” memiliki filosofi bahwa dasar agama, keimanan seseorang atau “Akidah” harus “Kokoh” seperti batu cadas, kuat dan tidak goyah dan selalu istiqomah dalam menghadapi godaan maupun rintangan. Kokohnya keimanan tersebut seraya mengharap turunya keberkahan, dan naungan dari dzat “Yang Maha Kuasa” yang disimbolkan dengan “Mega Mendung”. Mega Mendung juga merupakan simbol akan datangnya pertolongan dan rezeki berupa “Hujan” yang akan menyuburkan tanaman dan binatang ternak serta memberikan rezeki pada para petani. Lapisan-lapisan warna tegas pada motif “Mega Mendung” menyimbolkan pula tingkatan-tingkatan keimanan dan ketaqwaan seorang muslim, serta lapisan-lapisan kehidupan di jagat raya atau alam semesta. Wallahu ‘alam bissawab. SELAMAT HARI BATIK NASIONAL! *) Mustaqim Asteja Koordinator Komunitas Pusaka Cirebon “ K E N D I P E R T U L A ” Komplek Gedung Negara Karesidenan Cirebon Jl. Siliwangi NO. 14 Kota Cirebon 45121 EMAIL: kendipertula@yahoo.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H