Kelas sudah sepi saat Novi seret langkah kakinya, melintasi lapangan basket lewat sebelah mushola sekolah menuju ke gerbang depan. Pintu masuk sekolah sudah hampir tertutup menyisakan lebar tak lebih dari setengah meter untuk melintasinya. SMA Lab School ini meski berada di kawasan hunian penduduk namun areal bangunannya cukup luas. Bahkan bila tidak ada aktifitas sekolah, bila kita melintas tidak Nampak kalau tempat tersebutadalah lembaga pendidikan.
Didalam sekolah memang nyaris sepi, namun persis didepan gerbang tampak Dimitri anak kelas Kelas XI-4 dan beberapa anak kelas XI-5 asyik ngobrol di pintu gerbang sekolah.
Tanpa hiraukan mereka, dia melangkah menuju mobilnya yang di parkir di depan kantor Perpustakaan Umum Jakarta Selatan.
Sengaja dia parkir mobilnya agak jauh dari lokasi sekolahnya. Pertimbangannya ya biar kalau pulang lebih cepat, tidak sedikit teman-temanya yang mengunakan mobil pribadi sebagai sarana angkutan ke sekolahnya, sehingga begitu waktu pulang tiba macet total tidak bisa dihindari.
“Novi,..buka dong” kaget, tanpa di sadari Maurel teman satu bangkunya mengetuk kaca disampingnya.
“Ihh,..kamu kok lama sih di kelas, ngapain,..aku dah dari tadi nunggu di sini, aku lihat mobil kamu masih ada jadi gue yakin loe belum cabut..” Maurel langsung nyerocos begitu control window ditekan down.
“Nov, si Carmen kan b’ day hari ini , dia mau rayain en ngundang kita, ya gue tadi ya sempat protes kok mendadak banget, soalnya dia ngrayain di kota Legenda Cibubur, acaranya siang ini ampe ntar malem lah, loe bisa ya, kalau gue ama loe, mama gue pasti ngijinin, makanya gue sekarang mau numpang sekalian ngajak loe ke rumah en ngomong sama mama gue..”
Rona Novi yang putih bersih tidak bisa menyembunyikan gurat kecengkelan, sengaja dia pulang paling akhir dari kelas tadi, karena menghindari ajakan teman-temannya seperti ini. Dan seolah seperti sebuah ritual wajib, setiap hari Sabtu bubaran sekolah semuanya seolah punya mantra yang sama untuk tidak cepat pulang ke rumah.
Selalu ada jadwal acara baik yang telah direncanakan ataupun yang dadakan. Seperti kemarin siang, si Steven rekan Novi di pers sekolah, ngasih undanganke dia karena ada pres kom acara music di Hanamasa, Mahakam, tentu bisa buat bahan liputan bagi Novi yang tagani desk music di majalah sekolah.
Namun buru-buru Novi, minta maaf untuk nolak tidak bisa hadir diacara tersebut. Lantas si Gladys, pagi tadi udah nge-tweet dirinya untuk datang di bedah buku kakak-nya di hall Gramedia, Matraman . Gladys tahu persis kalau Novi ngefans banget sama kakaknya yang penulis kisah-kisah perjalanan itu.
Hampir tidak ada yang tidak menarik, acara-acara yang tersaji bagi dirinya, termasuk ngototnya si Maurel datang ke party-nya si Carmen.
“sorry,..Maurel,..gue ga bisa..”
“Nov, life must go on,..sampai kapan kamubangun tembok disekeliling kamu, menjauh dari kita-kita, wake up..honey, gue sayang ama elo, makanya gue ga rela loe terperosok jauh dengan masalah loe, sorry gue kasih nasihat basi yang hampir tiap hari gue kasih ke loe…”
“gue cabut dulu ya, Rel…” control window dia tekan up, dan VW POLO hijau-pun menjauh menuju arah kebayoran. Maurel melihat itu semua dengan perasaan pahit. Sahabatnya satu bangku, masih berselimut kesedihan. Dan dia masih gagal kembalikan, keceriaan Novi sahabat ter-baiknya. Hari-hari heboh yang sering mereka lakukan bareng terasa suadh sekian abad yang lalu. Novi yang cerdas, supel sialnya lagi cantik bikin sirik teman-teman cewek. Kini pesona itu semakin layu, semoga Tuhan segera kembalikan Novi yang dulu.
***
Dalam mobil meski pandangannya tertuju ke jalan, pikirannya enggan beranjak dari kisah sedih bahkan getir jalan hidupnya. Sebuah penyesalan yang jadi belenggu dirinya, bahkan dia rela jika semua kegembiraan lenyap dari diri-nya. Karena memang setengah jiwa-nya telah pergi.
Sampai kapan kamu bangun tembok sekeliling kamu, suara Maurel masih menempel. Bukan hanya tembok tapi sebuah benteng tanpa pintu , bathin Novi seolah menjawab Tanya Maurel tadi.
Pertanyaan itu tidak hanya dari Maurel, semua sahabat teman , mama serta papa-nya pun tidak pernah bosan bertanya hal itu. Dan tidak ada yang dia jawab.
Novi telah ber-ikrar untuk membuang semua kebahagian yang dia punya, melempar seluruh mimpi-mimpinya, memendam seluruh keceriaan yang ada. Ya maut yang merenggut Dalton, adalah kesalahan dirinya. Dan di depan jenasah Dalton, dia telah ikrar kan bahwa jiwa nya turut menemani, sosok yang sangat, sangat dia sayangi.
Bayangan buruk saat kejadian, kembali hadir…
Saat itu hari Sabtu yang terasa sangat istimewa, Dalton berjanji akan jemput dia disekolah jadi Novi berangkat ke sekolah naik taksi.
“Nov, kok ada taksi di depan siapa yang datang”
“Gue, ma yang nelpon”
“kamu mau naik taksi, memang kenapa mobil kamu, ga rusak kan?”
“Ohh, My Polo biar istirahat deh ma,…ntar pulang sekolah Dalton yang jemput” Novi nyebut mobil hijau hadiah ultah dari papa-nya dengan My Polo…
“Ga boleh terlalu sore lho sayang pulangnya, ingat batuk kamu ya sayang, pasti si Dalton jemput kamu pakai motor kan?”
“Ok Maaaa, berangkat duluuu.” Novi lari sambil nguyah roti bakar sarapan paginya. Mama-nya kuatirin kalau Dalton jemput pakai motor, padahal justru dialah yang minta, Dalton jemput pakai Ducati merah-nya. Bagi Novi ada sensasi tersendiri saat angin menampar rambutnya, dan yang pasti dia bisa lebih dekat ke punggung si Dalton,..ahh mama kaya ga pernah muda, bathin Novi, sambilduduk dalam taksi menuju ke sekolah.
Memang hari sabtu bagi murid sekolah dimanapun, terasa adalah hari yang sangat istimewa. Seluruh, penat, beban pelajaran selama satu minggu seakan ditumpahkan seluruhnya di hari sabtu. Hampir ga ada anak sekolah yang langsung pulang di hari sabtu. Begitu-pun Novi, kalau ga nonton di Blitz Grand Indonesia, paling tidak waktu sabtu siang hingga sore dia muter-muter keliling Jakarta, dan biasanya Situ Lembang, Menteng adalah finish etape ter-akhir dari acara muter-muter tersebut.
Setiap Sabtu sore tidak ada sudut Situ Lembang yang kosong dari anak muda, bahkan cari parkir mobil harus muter-muter keliling danau yang asri tersebut paling tidak tiga kali baru ketemu, secuil tempat untuk mobil hijau, VW POLO-nya.
Ducati merah tampak menyolok di depan gerbang, Dalton dengan jaket hijau telah menunggu Novi siang itu. Tanpa basa-basi ke teman-temannya, Novi langsung loncat nempel disadel belakang motor sport – made in Italia itu.
Kegemaran Dalton sungguh sangat berbeda dengan Novi, kalau bagi Novi film, food en fashion adalah “kitab suci”, terasa menjadi “aib” jika ada film baru dan dia tidak nonton premeire-nya.
Sementara Dalton, paling anti jalan-jalan ke mal, bahkan meski tinggalnya di Pondok Indah, ke PIM tidak sampai tiga kali. Dia lebih suka, ke galeri lukisan atau-pun nongkrong di museum. Bahkan Novi meski dari orok tinggal di Jakarta, baru tahu kalau di Jakarta ada 47 museum, ya empat puluh tujuh.
Mungkin dirinya tidak percaya seandainya ke 47 musium itu tidak dia kunjungui bersama Dalton. Awal-nya butuh penyesuaian luar biasa, ngikutin selera Dalton, namun perhatian Dalton pada Novi, dan kecerdasan otak Dalton, membuat seluruh hobby Dalton menjadi hobby-nya.
Tentu hobbi Novi, blanja-blanji di mal tidak surut juga, Maurel, Sarah, Nike adalah satu corp untuk urusan beredar di mal.
Sabtu itu, setelah nongkrong di museum Bank Mandiri depan stasiun Jakarta Kota, Dalton ngajak ke Galeri Nasional di Gambir, kebetulan ada pameran seni instalasi anak-anak Fakultas Seni Rupa –Desain Universitas Udayana –Bali. Dari semua tempat di negeri ini, pulau Dewayta-lah seoalh tanah air ke-dua bagi Dalton, hampir setiap ada pameran di museum Arma-Ubud atau di museum milik Antonio Blanco di Sanur , Dalton tidak pernah absen pada acara pembukaannya.
Jadi tidak heran kalau karib Daltoncukup banyak di Bali, maka saat kita ber-dua masuk pameran di Galeri Nasioanl tersebut, sosok rambut gondrong datang menyambut kami di pintu masuk.
“hey, timpal kenken kabare” Dalton menyapa dalam bahasa Bali pada sosok seniman wannabe tersebut.
“Nov, kenalin ini Jonas ketua ganknya seniman muda Bali,setiap kesana gue tinggal di tempat dia” sang seniman yang dikenalin Dalton tampak senyum ke Novi.
Oh ini, sang idola Dalton, entahlah sudah berapa episode cerita Dalton ke Novi tentang sosok Jonas, kalau tidak salah ingat Jonas yang punya nama lengkap Jonas Sestakresna ini, sebenarnya bukan lulusan sekolah seni, seingat Novi Antropologi Universitas Udayana, namun karena darah seni mengalir padanya, Ayahnya seorang guru Besar jebolan luar negeri di bidang seni pada Universitas Negeri di kota Malang.
Sepulang dari Galeri Nasional, Dalton rencana ngajak makan di daerah Salemab dalam, ada warung masakan Jawa dengan interior bamboo, namun karena bagi Novi sudah nge-kor pada Dalton, dia pinggin gentian Dalton yang nurutin dia, dia pinggin ke Situ Lembang, Menteng.
Dalton memang tidak pernah nolak ajakn Novi, hanya dia sempat ngasih pertimbangan.
“Apa ga rame di sana Nov, ..ga bisa ngobrol nyaman ga papa , ntar?”
Setealh Novi mengganguk, dari Gambir terus ke timur, lewati kolong kereta belok kiri menuju Gondangdia, melintasi sebelah Menara MNC, menuju jalan Teuku Umar.
Taman tertua di Jakarta dengan danau buatannya ini seperti biasanya di hari sabtu sore, seolah di kuasai kamu muda-mudi. Tidak seperti biasanya, Novi kesulitan parkir, kali ini cukup mudah menempatkan motor Dalton, di sela-sela mobil para pengunjung.
Novi langsung melenggang masuk ke taman, namun persis ditannga turun. Tangan iseng mencolek persis dibawah pinggangnya.
“Hey, loe sengaja ya, norak tahu” tampak dua anak yang ngi-sengin Novi tadi lari ke kelompok mereka yang tampak berkerumun di pinggir taman.
“Ada apa , Nov..?’ dari belakang Dalton mendekat kea rah Novi.
Sambil nunjuk tangan ke arah gerombolan, Novi cerita kalau dirinya dicolek, salah satu dari mereka.
Dalton memeluk bahu Novi, sambil mengajak menjauh menuju ke tepi danau.
“Sudah , Nov..dasar anak-anak rese”
“Hah,..cewek loe di kerjain kamu ga marah, Ton…sudah kata loe?...sudah apanya”
“bukan Nov, bukan gue terima perlakuan mereka ke kamu,cuman..…”
“gue, ga butuh loe bantu, gue masih sanggup kok hadapin mereka, loe lupa-ya gue ban hitam Ton” suara Novi meninggi
“Novi, loe kok ngomong gitu sih…gue..”
“aah…”Novi ngibaskan tangan Dalton yang berada dipundaknya, berjalan cepat di jalur trekking pinggir danau. Dia cukup kesal sikap Dalton, yang tidak membela dia. Jangan kan cowok-cowok krempeng segerombolan tadi, dia bisa ngasih pelajaran.
Novi berjalan lebih cepat karean kesal-nya pada Dalton belum sirna, dan dia yakin sekian detik berikutnya pasti tangan Dalton akan memeluk pundaknya lagi.
Namun pikiran Novi tiba-tiba dihentikan oleh suara gaduh orang-orang , berteriak-teriak. Secara reflek dia nenggok kebelakang. Ternyata..
Dalton tampak duel tidak seimbang dengan kelompok rese yang colek dirinya lagi, Novi langsung lari untuk narik Dalton, tepat kurang 10 meter, Novi menjerit..”Dalttoooooonnnn..”
Saat itulah, sebuah pot bunga taman, dari cor semen di angkat dua orang dan dihantamkan pada belakang kepala Dalton.
Dalton tersungkur dengan kepala belakang, merembes darah segar cukup banyak.
Dalton koma selama empat hari, dan tidak sedetikpun Novi beranjak dari sebelah Dalton, yang sedang berjuang dengan maut. Selama empat hari, novi ditikam penyesalan, Ya Tuhan,…sembuhkan lah Dalton, gantikan diri ku saja yang terbujur dalam kondisi seperti ini.
Dia tahu, semburan kata-kata gue ga butuh loe bantu,…membuat Dalton balik kanan menyerang gerombolan yang ngisengin dirinya, dia pingin buktiin ke Novi, bahwa perkataan Novi salah,….dia rela serahkan seluruh hidupnya untuk melindungi Novi.
Persis hari ke lima, Dalton pergi untuk selamanya,…dan bagi Novi dia kan temani Dalton, memang bukan fisiknya namun dia ber-ikrar jiwa nya turut pergi bersama DALTON….
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H