Prinsip kotak-kotak yang diusung Jokowi dulu (bersama Ahok), sangat laku di pasaran karena berhasil menjadi representasi keaneka-ragaman dan kebhinnekaan yang harus dirangkul oleh pemerintah. Kotak-kotak versi Jokowi, tampil adem karena berisikan konstruksi berpikir yang dilandaskan pada pluralisme, tapi tetap dalam satu wadah, dan membuatnya tampak lebih indah, enak digunakan dan tetap anggun dikenakan secara simbolis, melalui baju misalnya.
Buktinya, pasca keterpilihan Jokowi-Ahok menjadi gubernur, baju kotak-kotak yang menjadi simbol “pergerakannya” begitu laris manis di pasaran.Baju kotak-kotak tidak hanya menjadi identitas dukungan, menjadi simbol yang membanggakan, karena disitulah letak keaneka-ragaman yang tetap nyaman dalam satu kesatuan dalam bentuk sebuah baju. Inilah kotak-kotak versi Jokowi, dan ternyata tetap laku “dijual” ketika dirinya mencalonkan Presiden. Bahkan, calon-calon dari PDIP yang lain, ketularan untuk menjadikan baju kotak-kotak sebagai uniform pada pemilihan-pemilihan umum lainnya.
Lalu, bagaimana kotak-kotak versi Ahok yang sampai saat ini tetap digunakan sebagai simbol dan identitas dukungan?
Ternyata, keberadaan kotak-kotak yang dulunya mengandung semangat pluralitas kini berganti menjadi kotak-kotak asli, tanpa interpretasi majas alias terkotak-kotakkan. Kotak-kotak yang ada sekarang benar-benar menjadi kotak-kotak yang saling menegasikan satu sama lain. Pluralitas yang ada, justeru semakin meruncing menjadi saling menegasikan satu sama lain. Keberagaman yang menjadi semangat, lenyap seketika ketika “terkotori” oleh pihak-pihak tertentu yang secara “sadis” menciptakan sekat dan batas.
Sayangnya, Ahok tidak bisa mempertahankan kotak-kotak yang menjadi ciri khasnya dulu, tapi justru secara radikal mereduksi makna kotak-kotak yang plural menjadi sekat-sekat dan batasan.
Kotak-kotak itu semakin terasa mengotak-kotakkan ketika Ahok, yang memang berseberangan dengan kelompok tertentu semakin memperuncing “permusuhannya”, bukan memosisikan diri sebagai pimpinan yang harus merangkul. Bahkan ada klaim radikal dan “kelompok perusak” yang muncul kemudian. Kenyataan itu semakin diperparah dengan sarkasme Ahok ketika menistakan agama (dan sekarang menjadi terdakwa untuk kasus itu). Ahok berhasil mengotak-kotakkan masyarakat Jakarta menjadi kelompok yang semakin menegasikan satu sama lain.
Perbedaan itu keniscayaan, tapi tak perlu ada negasi satu sama lain. Sayangnya, pilihan yang terakhir inilah yang terjadi sekarang. Pro-kontra itu biasa, tak perlu resah. Sayangnya, yang terjadi sekarang seperti “penistaan” satu sama lain. Kotak-kotak menjadi “momok” baru, yang jika tetap dipelihara akan menjadi ancaman serius kehidupan berbangsa dan bernegara ini, khususnya dalam konteks Jakarta.
Sehingga tidak Aneh ketika Anies Baswedan, sebagai calon gubernur penantang petahana datang dengan tawaran baru, bahwa Jakarta tak bisa lagi dikotak-kotakkan, karena kotak-kotak yang ada berubah menjadi representasi dari kuatnya batas dan sekat yang menghalangi. Sekat itu berupa terjadinya ketimpangan-ketimpangan, yang ternyata banyak ditemukan di balik Jakarta, yang katanya mengalami “kemajuan pembangunan” melalui foto-foto indah terpajang. Artinya, Jakarta tak bisa lagi terkotak-kotakkan seperti kotak-kotak yang ada sekarang.
Maksudnya, ada perbedaan yang cukup signifikan antara kotak-kotak yang dulu menjadi ciri khas Jokowi-Ahok dengan kotak-kotak yang sekarang. Perbedaan yang sangat jauh, sehingga kita sendiri pun mulai berpikir untuk kembali mengotak-kotakkan Jakarta lagi. Kalau dulu, mungkin iya, melalui representasi adem Jokowi, tapi sekarang, kotak-kotak menjadi kasar dan arogan karena benar-benar berhasil mengotak-kotakkan warga Jakarta menjadi bagian yang saling menegasikan.
Bahkan, kalau dulu, orang Islam secara keseluruhan tidak merasa “risih” ketika menggunakan baju kotak-kotak khas Jokowi, tapi sekarang, banyak orang Islam yang “alergi” dengan baju itu karena “nilai” pada baju itu sudah mengalami perubahan. Terus terang, ini bukan hanya persoalan agama, karena meskipun Ahok adalah seorang muslim, banyak yang tidak suka karena ia seringkali melecehkan warga Jakarta, UU, dan Lembaga Negara. Itulah alasan kenapa meski ia memiliki tingkat kepuasan tinggi pada kerja, banyak warga yang menginginkan gubernur baru untuk Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H