Dulu, ketika saya belajar mata kuliah Psikologi Politik, saya diperkenalkan dengan macam-macam teori yang membahas tentang karakter dan tipe pemilih (voters) dalam kontestasi pemilihan seorang pemimpin. Tipe dan karakter itu, sejatinya, berlaku umum tapi karena dalam kerangka Psikologi Politik, maka yang menjadi aksentuasi ketika itu adalah memilih pemimpin dalam konteks politik; entah Pemilu, Pilkada, atau apapun namanya.
Saya tidak akan membahas tipologi pemilih itu satu persatu. Saya lebih tertarik dengan salah satu tipe pemilih yang dikenal dengan "pemilih rasional". Apa pemilih rasional itu? Sederhananya, pemilih rasional adalah pemilih yang menggunakan segenap rasionalitas berpikirnya untuk memilah, menimbang, dan memutuskan siapa yang akan dipilihnya untuk menjadi pemimpin. Pemilih rasional meniscayakan adanya segudang pertimbangan, dari berbagai sisi, untuk dikomparasikan menjadi sebuah keputusan yang objektif. Itulah kenapa pemilih rasional disebut juga dengan pemilih objektif. Kebalikan dari pemilih tipe seperti itu adalah pemilih emosional, atau yang maknanya didekatkan dengan pemilih subjektif.
Adakah pemilih yang seperti itu? Pertanyaan ini sempat saya tanyakan langsung kepada Bpk. Hamdi Muluk, Profesor Psikologi Politik, ketika suatu kali ada acara seminar politik di Fakultas, dan ia menjadi nara sumbernya bersama Mas Gun Gun. "Soal rasional dan objektif ini, kan, relatif, Pak. Saya bisa saja memilih calon A yang menurut orang subjektif, tapi bagi saya itu sangat rasional dan objektif, atau paling tidak inter-subjektif. Ukuran rasionalitas tidak bisa dipaksakan orang lain untuk diyakini secara bersama". Pak Hamdi menjawab dengan beberapa teori, yang mengerucut pada kesimpulan, bahwa itu memang sulit membedakan, tak mudah mencari jawaban. Meski diakuinya, tingkat pendidikan dapat berpengaruh secara signifikan. Tapi kemudian, ia menyitir pendapat beberapa ilmuan yang mengatakan, bahwa sebenarnya pemilih rasional itu semu. Tidak ada.
Pemilih rasional itu mitos. Syarat yang meniscayakan harus mempertimbangkan banyak sisi, kebijakan dalam hal ekonomi, sosial, politik, serta dampaknya secara signifikan terhadap perkembangan, itu semua dianggap terlalu rumit. Terutama jika mempertimbangkan sosok pribadinya dan kedekatan primordial dalam bentuk SARA. Adakah pemilih yang seperti itu? Saat memilih Presiden, kita bahkan membuat simplifikasi alasan "suka aja" untuk menjelaskan rasionalitas yang kita miliki. Tentu, karena yang lebih bermain adalah nilai-nilai subjektivitas yang tertanam sedemikian lama, dari saking lamanya, menjadi ukuran objektivitas pribadi, yang boleh jadi sama atau malah jauh berbeda dengan yang lain.
Keterpilihan Donald Trump sebagai Presiden Amerika ke-45, mengejutkan banyak pihak dan mungkin pemilu yang paling "kontroversial". Banyak pihak yang mengira, Hillary dapat memenangkan kontestasi dalam Pilpres, tapi ternyata hasilnya mengejutkan. Padahal, berbicara rasionalitas, rakyat Amerika jauh lebih rasional jika dibandingkan dengan bangsa kita. Tapi ternyata, bangsa rasional itu lebih memilih calon, yang oleh banyak pihak disebut tidak rasional dan absurd.
Apakah ini tanda munculnya kecenderungan baru dalam memilih?
Sebelumnya, Duterte, Presiden Filipina saat ini, juga mengejutkan banyak pihak atas keterpilihannya menjadi seorang Presiden. Duterte dikenal "sadis", terutama jika berkaitan dengan isu Narkoba. Ia, dalam banyak pernyataanya, bahkan cenderung sarkastis, ceplas-ceplos, dan kasar. Pernyataannya, beberapa kali memicu perselisihan, termasuk keberaniannya terhadap Amerika dan kata-kata kasarnya pada Obama. Tapi rupanya, takdir lebih memihak. Sosok yang secara personal seperti itu, tampaknya tak lagi menjadi hal yang penting.
Setali tiga uang dengan Duterte, Donald Trump mengalami takdir serupa. Sosoknya yang kontroversial; perkataannya sarkastis dan tanpa tedeng aling-aling. Dalam banyak kampanye, bahkan ia mendapatkan banyak kecaman; tentang keinginannya untuk membuat tembok pembatas dan menyingkirkan kaum imigran, termasuk pernyataan diskriminatifnya terhadap kaum muslim. Ia dianggap peleceh agama dan perempuan dengan mulutnya yang jablak. Tapi rupanya, rakyat Amerika lebih memilihnya ketimbang Hillary yang direpresentasikan sebagai sosok yang anggun, hebat, dan lebih beretika.
Agak aneh, memang, tapi itu kenyataan. Seperti ada pertimbangan baru untuk memilih pemimpin yang tidak lagi normatif, tidak pencitraan, dan meyakinkan dengan kerjanya. Tak jadi soal sosok yang ditampilkan kemuka. Apakah ini akan menjadi kecenderungan baru? Mari kita tunggu.
Sedikit agak bergeser ke dalam negeri, isu sendiri. Pilkada DKI Jakarta adalah Pilkada yang paling ditunggu. Hebohnya luar biasa. Panasnya sangat terasa. Sulit menggambarkan bagaimana menariknya Pilkada DKI Jakarta kali ini. Kenapa? Karena semua calon adalah orang-orang hebat dan representasi dari aktor hebat politisi yang ada di balik layar masing-masing.
Salah satu calonnya adalah Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok. Ahok mungkin agak sedikit mempunyai kesamaan dengan Duterte dan Trump secara personal, tampilan luar. Ahok selain tegas juga kasar, ceplas-ceplos, tanpa tedeng aling-aling, dan berani. Pernyataannya, dalam banyak hal sangat sarkastis dan menyakitkan. Ia tidak segan untuk menggunakan bahasa yang agak sadis jika dianggapnya tidak sesuai dan menyalahi aturan. Aksi 4 November kemarin, dengan jumlah demonstran terbesar sepanjang sejarah, adalah satu diantara banyak contoh bagaimana ia dianggap menistakan agama. Sampai sekarang, kasusnya masih berjalan, berkembang semakin liar.