Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Calon Pemimpin yang Alergi Panggung

10 Desember 2016   11:34 Diperbarui: 10 Desember 2016   16:39 2886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: erabaru.net

Bagi kita, agak aneh ketika melihat calon pemimpin telah beberapa kali mangkir ketika diberikan "panggung megah" untuk menyampaikan visi-misinya secara lebih gamblang, gratis, dan disaksikan oleh banyak orang. Sekali alpa, bisa dimaklumi karena mungkin sibuk dengan kampanye, tapi kalau berkali-kali, dan mungkin untuk “kali-kali” selanjutnya, tentu kita boleh penasaran dan bertanya-tanya. Kita bertanya, ada apa? Kenapa?

Padahal, calon pemimpin itu adalah representasi dari muda dan hebat, berprestasi pula. Ia pintar dan cerdas, menyelesaikan pendidikan di beberapa perguruan tinggi hebat dengan nilai luar biasa, di luar negeri pula. Kita lalu bertanya sebagaimana pertanyaan di luaran sana, tentu dalam hati saja, apakah di almamaternya yang hebat itu, ia tidak diajarkan berdebat atau berdiskusi? Atau hanya diajari cara berpidato, mengesankan agar hebat, meski menggunakan teleprompter, tak ubahnya presenter. Atau mungkin saja, ia penganut “tekstualisme”.

Apa ini berkaitan dengan kehadirannya pada salah satu acara, sebelumnya, yang banyak mengecewakan para penonton karena sangat terlihat ketidak-siapan dan gugupnya? Cara menjawabnya yang tak sehebat pidatonya. Itu mungkin blunder yang paling berkesan. Sehingga orang-orang di sekitarnya menyarankan untuk tidak tampil terbuka, karena “modal” belum ada. Bisa saja begitu. Ia kapok, lalu alergi. Secara psikologis, itu bisa terjadi, paling tidak ada teori tentang traumatism yang bias menjelaskannya. Meski mungkin jika mengaitkannya dengan amfisbitophobia, yaitu fobia atau ketakutan untuk berdebat. Saya rasa tak seekstrim itu.

Sebagai penonton, kita berhak untuk heran. Itu sangat wajar. Karena calon pemimpin itu yang dinilai ide dan gagasannya, bukan wajah dan citranya. Apakah negeri ini, kembali, hanya peduli pada wajah dan pencitraan? Kita tidak tahu. Ditengah eneg dengan politik pencitraan, ia malah kembali mempraktikkan cara-cara seperti itu, bedanya, ia tampil dengan lebih gagah menunjukkan kemudaan dan kebaruannya.

Mungkin ia lebih suka blusukan, menyapa warga, datang lalu bersalaman, tebar-tebar senyum menawan, kasih sepatah dua patah kata tentang janji bantuan sosial yang laku di pasaran, lalu pulang. Atau ia lebih suka melompat dari panggung, dengan para penangkap yang dipersiapkan. Kita mungkin jadi berpikir, kalau semuanya dipersiapkan, bahkan dengan para "robot" untuk ngubek-ngubek citra di dunia maya, lalu untuk apa? Satu yang menjadi keahlian barunya, ia lebih suka prihatin, sedih, dan mengelus dada ketika ada orang menyerangnya. Strategi menjadi korban ini, mengingatkan kita pada pola pencitraan mantan pemimpin nasional, yang luar biasa manisnya.

Padahal, suka atau tidak, akan tiba saatnya di mana ia akan didebat secara lebih resmi oleh KPUD yang pasti ditayangkan di salah satu stasiun televisi. Oh, mungkin debat nanti lebih resmi. Kecil kemungkinan akan “liar” seperti kalau ia menghadiri undangan debat terbuka yang diadakan oleh "swasta". Baiklah, tapi sejatinya dipersiapkan seperti apapun itu akan menjadi beban psikologis yang hebat, karena tidak belajar dari yang "kecil-kecil" sebelumnya. Apalagi, siapapun tak bisa memprediksi dan mengontrol jalannya debat. Bisa saja, ia bisa tampil hebat disitu, atau sebaliknya, justru disitulah ia mengalami “penghakiman” massa yang selama ini terpendam.

Bagi kita, calon pemimpin itu tak perlu alergi dengan debat, atau acara lain yang sepanggung dengan calon lain, dan "dihajar" habis oleh pertanyaan. Tapi anehnya, ini dilakukan oleh calon, yang dalam beberapa survey terakhir mengungguli pasangan lainnya, yang secara jantan menghadiri setiap undangan untuk "berkelahi" ide dan gagagasan, atau paling tidak perwakilan timnya.

Kita mungkin merasa aneh. Sungguh aneh. Tapi akhirnya kita harus sadar satu hal, bahwa "satu orang dibelakangnya" memang hebat. Meraup simpati dengan cara halus. Kelas nasional saja bisa dijinakkan, apalagi cuma sekelas gubernuran, misalnya. Lebih-lebih sekelas menjadi ketua partai.

Hanya saja, pilihan itu kadang tidak lebih rasional daripada emosi. Meski calon pemimpin itu begitu, pemilih di bawah yang suka dengan sesuatu yang emosional, terutama ibu-ibu dan lainnya yang belajar emosi dari sinetron, tak akan bergeming. Gimana lagi kalau sudah “pilihan hati”. “Duh, gantengnya”. “Anaknya Anu, ya?”. “Program bagus, mau kasih bantuan dan modal”. Bla, bla, bla. Apakah kita percaya dengan pemilih rasional, yang diyakini semu? Tak tahulah. Tapi kita harus meyakini, setiap daerah selalu punya cara sendiri untuk melahirkan pemimpinnya. Dan cara-cara yang begitu, biasanya akan menemukan “ajalnya” karena akhirnya rakyat tahu. Atau justru akan tetap laku?

Menarik kita tunggu. Di panggung-panggung yang sengaja disiapkan untuk beradu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun