"Sepertinya memang harus sekarang ini njenengan menutup semuanya, di saat kepadamu jutaan orang sedang sayang-sayangnya..."
Epilog yang sangat epik dari tulisan ngenes Mas Iqbal Aji Daryono. Betul sekali, sepertinya Mas Didi "paham" kapan harus menyudahi semuanya. Mas Didi meninggalkan kita semua justru saat banyak orang sedang sayang-sayangnya, sedang ambyar-ambyarnya. Bagaimana rasanya ditinggalkan pergi, selamanya, oleh orang yang sedang disayangi? Full ambyar. Titik.
Melihat Mas Didi dan mendengarkan lagu-lagunya adalah cara terbaik untuk tidak meratapi kesedihan dan kepedihan, lebih-lebih soal cinta. Kegagalan dan nestapa dalam percintaan tak meski ditangisi sedemikian rupa karena ia bisa dirayakan dengan sebegitu asiknya. Silahkan menangis, tapi sementara. Sisanya, tetaplah menjadi biasa.
Mas Didi selalu berhasil menyatukan energi dan semangat untuk kemudian menertawakan penderitaan. Menyanyi bersama, melupakan segala luka. Sejenak enyahkan itu semua, melalui lirik-lirik menyedihkan soal kegagalan tapi tak ada ratapan. Mas Didi selalu berhasil membuat kita bernyanyi soal "kesedihan" tapi kita tidak merasakannya kecuali semangat untuk kebahagiaan.
Itu pun dengan genre musik yang awalnya dianggap kelas bawah, tapi kemudian menjelma sebuah aliran yang "disegani" di masa kekinian. Dinikmati tidak hanya oleh kelas pengamen, pedagang asongan, penikmat warung kopi, dan lainnya tapi juga digemari oleh generasi milenial, pada akhirnya. Berjoget ria pula.
Sebuah generasi di mana tiap hari tak bisa lepas dari gadget, mereka anak muda yang hidupnya berpindah dari tempat ber-AC yang satu ke tempat ber-AC lainnya (meminjam istilah Mas Iqbal), bahkan dijogeti oleh mereka yang suka nongkrong di cafe atau generasi "fast food" yang gayanya berkelas.
Mereka adalah sobat ambyar (begitu mereka menamakam dirinya), penganut ambyarisme yang setia menikmati dengan khusyuk lirik-lirik lagu yang sedih, meski tak harus berurai air mata. Sehingga tidak aneh ketika ada candaan, bahwa sebenarnya "musuh" dari musik pop itu bukan K-Pop, R&B, dan lainnya tapi adalah musik ambyar karena pengaruh dan penyebarannya yang luar biasa belakangan.
Dalam hal itu, Mas Didi sangat berhasil. Tak ada tandingannya. Ialah Dewa Patah Hati, The Godfather of Broken Heart, Bapak Patah Hati Nasional.
Bagi saya, selain karena bantuan media sosial serta semakin meluasnya generasi-generasi milenial galau yang sedang membutuhkan hiburan dan "pegangan", keberhasilan Mas Didi adalah membuat banyak orang menyukai musik dan lagunya.
Banyak orang menyukai lagu barat, meski tak paham artinya. Begitu juga dengan Mas Didi ini: jutaan orang menikmati lagunya, meski kadang kerap kali tak tahu artinya, karena konsisten dengan bahasa jawa-nya.
Mereka merasa, entah kenapa, lagu-lagu itu "mereka banget", seolah diciptakan untuk mereka dan sedang ngomongin mereka.