Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

"Ngono, yo, Ngono, tapi Ojo Ngono", Pak Presiden dan Pak Dewan!

3 Desember 2019   16:36 Diperbarui: 4 Desember 2019   08:17 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ungkapan "Ngono, yo, ngono. Tapi ojo ngono!", kalau diterjemahkan secara tekstual kira-kira seperti ini, "begitu, ya, begitu. Tapi jangan begitu!". Sebuah ungkapan yang secara semantik tak terlalu sulit untuk memahaminya. 

Kurang lebih bisa dimaknai sebagai bentuk kekesalan, kekecewaan, karena perilaku yang dianggap biasa pada awalnya, berubah menjadi berlebihan dan tidak wajar. Semakna dengan, "iya, sih. Tapi gak gitu juga kali!".

Misalnya, saat sedang kondangan, ada hidangan prasmanan. Untuk dimakan para tamu, tentu saja. Rumus prasmanan adalah kebebasan, artinya silahkan dimakan sekenyangnya, diambil sesukanya. 

Asal mau dan tidak malu. Tapi, ya, harus lihat-lihat juga. Ada aturan tak tertulis soal "kepantasan". Betul bebas, tapi malu juga dilihat jika piring kita isinya menggunung dengan nasi dan lauk, krupuk, kuah sayur. Penuh, seluruh. Kan, tak apa-apa juga. "Iya, sih. Tapi gak gitu juga kali!" alias "Ngono, yo, ngono. Tapi ojo ngono!".

Sejak dilantik sebagai Presiden, apa kerja substantif Presiden hingga sampai saat ini selain kunjungan dan komentar-komentar simpel, seperti eselon IV akan diganti dengan AI, misalnya? Betul, Jokowi sudah pernah bekerja selama 5 tahun yang lalu dan tak penting juga untuk menyusun dan mengejar target 100 hari kerja: sebuah budaya yang entah darimana asal mulanya.

Jokowi tinggal melanjutkan kerjanya, memenuhi janji lama yang belum dipenuhinya lalu mengerjakan janji baru yang diucapkannya kemarin.

Praktis, sebulan lebih pasca pelantikannya, Jokowi lebih fokus dalam menyusun pasukan yang akan membantunya, sekaligus pasukan pembantu para pembantunya. 

Beberapa posisi sudah ada yang menduduki, sebagian yang lain sepertinya tinggal menunggu waktu untuk plotting. Dimulai dari penentuan dan pelantikan para Menteri dan pejabat-pejabat setingkat Menteri, lalu para Wakil Menteri (Wamen), dan dilanjutkan dengan stafsus yang mayoritas milenial.

Tak berhenti di situ, partai-partai pendukung Jokowi-Maruf yang belum mendapatkan "jatah" seperti PBB, PKPI, dan Hanura sudah menyetorkan nama guna diperbantukan di Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Sudah terkonfirmasi melalui Moeldoko. 

Banyak yang melihatnya sebagai bagian dari "proyek" bagi-bagi kue untuk para pendukung pada Pilpres kemarin. Jika pun yang bersangkutan tak bisa, maka untuk menjaga hubungan baik, Jokowi memberikan posisi bagi anak-anaknya sebagaimana Diaz, Angela, dan Putri Tanjung. Analisa lengkapnya bisa dibaca disini.

Publik melihatnya sangat tampak sebagai bagi-bagi kekuasaan. Demokrasi menjadi semacam koalisi begi-bagi kursi. Melekat secara otomatis dalam pikiran dan benak rakyat bagaimana pun itu dijelaskan dan dirasionalisasi. "Ngono, yo, ngono. Tapi ojo ngono, Pak Presiden".

Begitu juga dengan para pembantunya yang duduk di Menteri. Sampai sejauh ini belum ada hal luar biasa yang dilakukan. Sebagian besar juga sedang menyusun para pembantunya. 

Prabowo mendapatkan porsi pemberitaan yang lumayan tinggi, setelah itu ada Erick Tohir yang disorot dan itupun karena "dikatrol" atas masuknya BTP sebagai Komisaris Utama Pertamina. Muncul juga nama-nama seperti Chandra Hamzah, Jonan, lalu Susi. Belum tahu bagaimana cerita akhirnya.

Mahfud MD tampil dengan komentarnya soal radikalisme sebagaimana Fachrul Razi, Menteri Agama, yang juga membicarakan hal yang sama. Nadiem seperti mendapatkan panggung ketika berhasil "mencuri" melalui konsepnya tentang pendidikan kekinian. Pendidikan yang membebaskan. Selebihnya, masih standar. Menteri-menteri lama juga belum menunjukkan kerja yang sangar.

Tak jauh berbeda dengan eksekutif, begitu juga dengan legislatif yang tampak tak terlalu gaduh. Sebuah pertanda dari keberhasilan "penyatuan" yang menyeluruh. Contoh terbaik dari proses demokrasi yang "teduh". 

Dari saking padu dan menyatunya, sampai ada Pak Dewan yang Terhormat yang memblow-up keinginan masyarakat tentang masa jabatan Presiden tiga periode. Katanya, memang dari keinginan masyarakat. Lengkap pula dengan poster dan spanduknya. Syungguhhh?

Ini bukan main-main, lho. Kalau eksekutif dan legislatif sudah berangkulan dan berpelukan, apa saja bisa terjadi. Disahkannya revisi UU KPK dan beberapa UU lain yang cukup membingungkan adalah bukti nyata, bahwa tak ada yang tak bisa jika semua lembaga dari trias politika bersatu padu. 

Maka, benar-benar tak asik situasinya. Semacam kembali ke zaman purba apalagi ada isu soal kembali dipilihnya Presiden oleh MPR dan Kepala Daerah oleh DPRD. Bisa jadi, nih, barang.

Maka, tidak aneh ketika sejak beberapa waktu lalu, banyak pihak yang mengindikasikan adanya oposisi jalanan ketika ruang kritik dimanipulasi oleh para pemangku kepentingan dalam pemerintahan. 

Keadaan serupa ketika dulu, SBY dianggap "mengkhianati" rakyat dan digelari sebagai pemain sinetron terbaik peraih piala citra ketika ada polemik soal pemilu dari DPR yang akhirnya ide itu cancelled. Kalau barang itu jadi, Jokowi cs juga perlu diperlakukan dengan cara yang sama.

Tapi Jokowi telah memastikan, bahwa hal itu tidak akan terjadi. Jelas Jokowi katakan, hembusan isu itu adalah cara untuk "menampar mukanya", ingin cari muka, atau untuk menjerumuskannya. 

Jokowi mengatakan tidak untuk masa jabatan Presiden sekaligus Pilpres dan Pilkada oleh DPR. Untuk kesekian kalinya, kita perlu mencatatnya. Cukup catat saja, sebagai pengingat.

Sudahlah, lebih baik Pak Jokowi menggenjot kembali mesin-mesin pembangunan yang sempat istirahat atau sudah diganti "spare part" yang baru. 

Kalau dirasa masih ada yang perlu dirubah dan diganti, atau memerlukan "peralatan" baru selesaikan saja. Mungkin saja masih ada pelantikan-pelantikan lagi setelah ini, selesaikan saja. Termauk para menteri.

Begitu juga dengan para Anggota Dewan yang Terhormat, lanjutkan saja kerja dan target yang ingin dicapai. Ada berapa prolegnas dan berapa undang-undang yang harus diselesaikan. 

Tak perlulah menciptakan isu yang berpotensi menciptakan gelombang besar. Kalau cuma percikan-percikan riak, tak apa lah. Agar Senayan tak sepi-sepi amet.

Ngono, yo, ngono. Tapi ojo ngono, Pak Presiden dan Pak Dewan.

Salam
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun