Soal keringat, mungkin saja memang pantas mendapatkan jatah karena perjuangan yang berdarah-darah lalu merasa paling berhak untuk mendapatkan posisi tertentu. Tapi apa yang dilakukan itu sebenarnya akan mengganggu Jokowi, karena sebagai Presiden ia memiliki hak prerogatif sekaligus hitung-hitungan yang pasti matang.
Sementara itu, dalam konteks internal, kader-kader NU yang menyuarakan itu juga tak bisa sepenuhnya disalahkan sebab mereka juga punya alasan. Suara itu muncul, barangkali disebabkan karena sosoknya yang tidak tepat dan kurang ideal. Fachrul Razi, yang mau dipandang dari segimanapun, tetaplah mantan militer.
Lalu apa urgensinya Jokowi meletakkan Fachrul Razi di Kemenag? Untuk melawan radikalisme dan ideologi transnasional? Jangan-jangan nanti penyelesaiannya akan salah kaprah sebab persoalan keagamaan bukanlah persoalan mudah.
Mereka yang menolak keputusan Jokowi itu, mungkin saja akan biasa-biasa saja meski bukan NU, asal gak jauh-jauh amet dan punya track record yang nyambung dikit. Tapi sosok Fachrul Razi, benar-benar di luar dugaan. Kita pun mungkin berpikir demikian. Menaruh Zainut Tauhid menjadi Wamen Menag pun hanya dikesankan sebagai upaya meredam situasi, dan tak membuat yang menolak puas.
Jokowi, entah melalui pertimbangan seperti apa telah berani memaksa menteri di Kemenag dan Kemendikbud keluar dari "pakem". Risikonya? Akan gaduh dan dianggap sebagai pengkhianatan atas kesepakatan tak tertulis yang mestinya dijadikan pertimbangan oleh siapapun Presiden dan apapun partainya. Padahal, Menag yang lahir dari dunia militer juga bukan yang pertama kali. Sebelumnya ada Alamsyah dan Tarmizi Taher, yang fenomenal itu.
Begitulah ketika kekuasaan berupa jatah, yang diturunkan secara turun temurun sehingga menjadi "pakem". Kemenag dan Kemendikbud adalah contoh nyata, bagaimana "pakem" itu masih dianggap sakral dan perkasa. Pada perkembangannya kita juga melihat, bahwa dalam beberapa tahun terakhir Kemendes dan Kemenaker adalah "jatah" PKB, seperti bermetamorfosa menjadi "pakem".
Apalagi Kementerian yang sudah memiliki "pakem" atau berproses untuk diberlakukan sebuah "pakem"?
Salam
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H