"Tidak suka dengan sikap, pernyataan, kinerja, masa lalunya, atau apapun yang melekat pada Wiranto itu adalah HAKMU. Tak ada yang melarang! Tapi saat kamu tertawa, bahagia, mengada-ada dengan mengatakan sandiwara padahal belum jelas informasinya, bahkan mendoakan yang tidak baik terhadapnya (atau orang lain yang berbeda denganmu sementara ia mendapatkan ancaman, kesedihan, dan musibah), mungkin ada hal-hal yang perlu kamu periksakan dengan segera, jangan-jangan baru saja terpapar radiasi psikologis seorang Joker" - Mustafa Afif
Sejak kemarin, jagat dunia nyata dan dunia maya dihebohkan dengan penusukan yang dialami oleh Wiranto di alun-alun Menes, Pandeglang, Banten. Bahkan sampai sekarang, masih hangat diperbincangkan. Bukan saja karena Wiranto yang menduduki salah satu struktur terpenting dalam negara ini tapi juga pelakunya yang ditengarai terlibat dalam jaringan terorisme Internasional.
Tentu saja gempar. Banyak orang mempetanyakan, bahkan meragukan. Framing pemberitaan kemudian menjadi demikian tidak asik karena kembali terpolakan pada persoalan klasik. Itu-itu saja, dan begitu-begitu saja suaranya. Soal polarisasi yang tak akan pernah selesai, dan pada titik tertentu semakin mencurigakan banyak pihak, bahwa mungkin saja memang ada kelompok yang "mengompori", termasuk kemungkinan social tribalism.
Pasca kejadian, hingar bingar pemberitaan memenuhi ruang audio-visual kita. Satu sisi kita disadarkan akan pentingnya keamanan, terutama bagi para pejabat-pejabat negara. Ada persoalan intelijen yang perlu dipertanyakan, padahal mereka sudah memetakan jaringan terorisme dan radikalisme sedemikian rupa.
Selain itu, pengawalan yang lengah, tak waspada, dan keteledoran menjadi salah satu poin analisa. Bagaimana mungkin seorang Wiranto, Menko Polhukam, yang seharusnya mendapatkan pengamanan ketat justru bisa dengan mudah ditembus. Bagaimana kalau senjata yang digunakan bukan kunai, tapi bom atau tembak, misalnya. Selesai urusan. Jadi itu barang!
Tentu saja kenekatan jarak dekat yang dilakukan oleh pelaku tak luput dari pantauan. Entah apa yang memantik kekalapan Syahrizal Alamsyah alias Abu Rara serta istrinya, Fitri, bisa bertindak senekat itu. Jelas keduanya ingin membunuh, tak peduli lagi setelahnya mereka akan dihukum mati atau apapun yang penting tujuannya tercapai. Mau dibunuh di tempat sekalipun, mereka pasrah. Â
Usaha keduanya untuk menciptakan teror dan ketakutan telah berhasil. Bahkan, pada titik tertentu cukup berhasil ketika mampu melukai Wiranto. Kalau benar mereka adalah bagian dari jaringan terorisme, tentu usaha mereka tak sia-sia. Minimal, menciptakan ketakutan bagi pejabat lainnya. "Pak Wiranto saja yang tugasnya mengamankan negara, tidak aman. Apalagi dengan yang lainnya!". Begitu kira-kira.
Sampai saat ini masih tetap hingar, melahirkan tafsir yang bermacam-macam. Perang antara simpati dan emosi tak dielakkan. Tiba-tiba saja, banyak orang menjadi detektif dan ahli forensik, yang sedemikian asik mengeluarkan analisa-analisa, tentu berdasarkan informasi yang diterima. Tak mesti benar, yang penting sesuai dengan "selera".
Dari beberapa media mainstream, yang memuat keterangan beberapa pihak dan bisa diverifikasi, Wiranto mengalami dua luka tusuk, termasuk keterangan dari Dokter yang menangani pasca peristiwa. Setelah dipindahkan ke RSPAD, Wiranto dioperasi karena terdapat luka pada ususnya. Informasi ini diperkuat dengan statement Mahfud MD, yang menjenguknya.
Banyak yang mengungkapkan rasa sedih, simpati, dan dukungan pada Wiranto. Mereka beramai-ramai mengutuk perilaku sadis terhadap pejabat negara sekaligus mengutuk perilaku teror yang dilakukan oleh para pelaku. Di twitter, Wiranto menjadi trending topic.
Namun, menjadi semakin runyam ketika ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan, bahwa penusukan itu adalah bagian dari sandiwara, drama, sinetron, dan akal-akalan. Tak hanya kalangan masyarakat bawah yang memercayainya, bahkan sekelas Hanum Rais juga ikut menyuarakan hal yang sama, bahkan ada analisa tujuannya. Sebagai penulis, mungkin daya imajinasinya yang sangat kuat menuntunnya menemukan potongan puzzle yang tak terlihat orang sakti sekalipun.