Mohon tunggu...
Ibnu Abdillah
Ibnu Abdillah Mohon Tunggu... Wiraswasta - ... kau tak mampu mempertahankan usiamu, kecuali amal, karya dan tulisanmu!

| pengangguran, yang sesekali nyambi kuli besi tua |

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebelum Pesona Jokowi Pudar, Gibran Perlu Setitik Sinar

8 Oktober 2019   19:59 Diperbarui: 8 Oktober 2019   20:06 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, Jokowi adalah seorang Presiden dan hingga lima tahun ke depan, jika tak ada aral melintang, ia akan tetap menjadi Presiden. Tapi, diakui atau tidak, percaya atau tidak; pesonanya akan terus memudar. 

Setidaknya, dua tahun menjelang Pemilu 2024 nanti, nama-nama yang potensial untuk menjadi penggantinya akan sering diperdengarkan, secara massif diperkenalkan, untuk memenuhi hingar-bingar nasional.

Jokowi, pelan tapi pasti, akan mulai ditinggalkan. Tak lagi menjadi fokus pembicaraan. Tak lagi menjadi pusat pemberitaan. Satu-satunya cara untuk membuatnya tetap bertahan adalah sejauh mana ia ingin dianggap sebagai Presiden yang meninggalkan banyak legacy: soal perbaikan infrastruktur, meningkatnya perekonomian, membaiknya sistem kesehatan dan pendidikan, terselesaikannya masalah-masalah sosial terutama yang berkaitan dengan kasus-kasus HAM, dan lain sebagainya.

Sebagaimana pernyataannya, bahwa ia memimpin tanpa beban seharusnya seperti itu pula ia menyelesaikan tugas dan amanahnya sebagai Presiden. Berakhir tanpa beban dan pantas dikenang! Mampukah? Kita tunggu saja beberapa tahun ke depan.

Setelah tidak lagi menjadi Presiden, Jokowi akan menjadi warga biasa yang tetap istimewa pada titik tertentu karena "kemewahan" yang diberikan oleh negara. Namun seperti kita tahu, sejarah Jokowi adalah sejarah tentang sosok yang "bukan siapa-siapa". 

Ia tak memiliki kerabat dengan tokoh, menteri, jenderal, apalagi Presiden sebelum-sebelumnya. Ia besar dengan caranya sendiri sebagai pengusaha kayu sukses, lalu ditakdirkan untuk menjadi pemimpin.

Setelahnya, Jokowi akan menjadi Tokoh Bangsa, Tokoh Nasional, dan pada perkembangannya barangkali akan menjadi Bapak Bangsa dengan gelar Presiden Ke-7 Republik Indonesia.

Jokowi tidak memiliki partai, maka tak mungkin ia akan menjadi Ketua Umum Partai. Jokowi hanyalah petugas partai di PDI-P, dimana selama Megawati masih sehat, tak ada yang akan menggantikannya. Bahkan ketika Megawati sudah pensiun dari partai sekalipun, misalnya, telah ada yang diproyeksikan untuk menggantikannya: penerus dari trah Soekarno, Puan Maharani atau mungkin Prananda. Mustahil juga ketika seorang mantan Presiden akan menjadi Ketua DPP PDI-P. Gak keren banget, kata anak-anak milenial zaman now.

Jokowi, berbeda dengan Megawati dan SBY, yang meskipun tidak lagi menjabat Presiden, bisa secara otomatis menjadi Ketua Umum partai. Minimal, meski tak lagi menjadi fokus pemberitaan, keduanya tetap menjadi "dewa" di partainya masing-masing dan statement keduanya tetap menarik karena bisa mempengaruhi konstelasi dan eskalasi politik nasional. Apalagi sama-sama partai besar.

Jokowi juga berbeda dengan Almarhum Gus Dur yang pergaulannya sangat luas, tanpa batas dan sekat. Dengan itu, selepas tak menjadi Presiden ia tetap melanjutkan kerja-kerja kemanusiaan. 

Gus Dur bahkan mendapatkan banyak sekali penghargaan dari organisasi-organisasi internasional yang, rasanya, tak akan didapatkan oleh manusia lainnya di Indonesia ini. Kehebatan itu semakin lengkap ketika dikaitkan dengan kebesaran sejarah para pendahulunya: Kiai dan NU.

Mungkin saja Jokowi kembali seperti Almarhum Habibie, menekuni kembali profesi lama. Tapi Habibie memiliki sejarah yang juga sulit ditandingi. Sama seperti Gus Dur, Habibie adalah bagian dari masyarakat dunia, yang diakui kecerdasannya. Ia dengan sendirinya mendapatkan gelar Bapak Bangsa. Ia menciptakan kenangan yang manis dan hebat bagi bangsa ini dan bagi penerusnya. Habibie dan Gus Dur adalah anak nasional yang diterima sebagai manusia internasional.

Tulisan ini tidak untuk membandingkan antar Presiden karena bagaimanapun, mereka adalah manusia-manusia pilihan yang memiliki takdir untuk berbuat lebih bagi bangsa dan negara. Mereka tetaplah anak-anak bangsa hebat dan luar biasa. 

Tulisan ini hanya ingin menjelaskan --sekaligus meyakinkan para pemujanya yang berlebihan itu--, bahwa pesona Jokowi akan tampak lebih pudar, pada waktunya. Pudar bukan berarti ketiadaan, ia hanya berkurang. Seperti cahaya bersinar yang berubah menjadi pendar.

Dalam konteks inilah kemudian banyak orang berpikir, bahwa munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, dalam pentas politik adalah bagian dari upaya Jokowi untuk membagikan "sinar" kepada Gibran, yang tak mungkin diberikan Jokowi ketika pesonanya mulai pudar dan berubah menjadi pendar.

Banyak pihak merasa kaget, tapi Gibran secara resmi telah bermetamorfosa dari seorang pebisnis muda yang sukses menjadi seorang politisi muda dengan keputusannya untuk menjadi bagian dari Partai PDI-P: partai yang telah mengantarkan karir politik Bapaknya ke tahap yang sangat gemilang.

Banyak orang merasa heran karena sosok Gibran yang tak banyak bicara itu kemudian muncul dan dikaitkan dengan kontestasi Pilkada --bahkan sudah pasang baliho juga-- ketika usia dan kematangan berpolitiknya masih belum teruji. Terlebih, munculnya Gibran dalam dunia politik dianggap sebagai upaya untuk melanjutkan "Dinasti Jokowi", terutama dalam konteks politik lokal Solo.

Mungkin tak sepenuhnya benar segala dugaan-dugaan itu, tapi tak bisa juga disalahkan mengingat saat ini Jokowi masih menjabat sebagai Presiden dan lima tahun ke depan akan tetap menjadi Presiden. 

Posisinya sebagai Presiden tak bisa dinafikan begitu saja, sebab itu adalah kemewahan yang tak semua orang punya, sebagaimana kita tak bisa menafikan, bahwa keputusan Gibran tak mungkin lepas dari pengaruh, pertimbangan, atau mungkin hasil diskusi dengan Jokowi.

Sah-sah saja kita mengapresiasi, bahwa Gibran atau pun Kaesang tak tampak mempergunakan kuasa Bapaknya (bagi yang percaya), tapi posisinya sebagai putra Presiden menjadi modal otomatis yang tak bisa dikesampingkan. 

Kita salut ketika Markobar dan segala jenis bisnis yang dimiliki oleh Gibran sukses, tapi kenyataan itu sulit dipisahkan dari kenyataan lainnya, bahwa Gibran adalah putra dari seorang Presiden.

Maka, setelah ini, Gibran pun tak akan dibiarkan berjalan sendiri oleh Jokowi, terutama dalam dunia politik praktis yang masih baru dijalaninya. Dunia politik bukan dunia kalkulasi sebagaimana dalam bisnis. 

Dalam konteks inilah, pandangan banyak orang tentang keraguan terhadap sosok Gibran yang belum matang serta kemungkinan untuk melanjutkan politik dinasti tak bisa disalahkan begitu saja karena Jokowi adalah Presiden Indonesia yang saat ini sedang berkuasa.

Berbeda dengan Megawati, yang memperkenalkan politik praktis kepada Puan Maharani jauh setelah dirinya tak lagi menjadi Presiden. Berbeda pula dengan SBY, yang "memaksa" AHY untuk terlibat dalam politik praktis justru ketika ia tak lagi menjabat sebagai Presiden.

Banyak pihak yang kemudian menganggap munculnya Gibran sebagai aji mumpung karena menganggap tak ada "kemendasakan" yang mengharuskan, terutama ketika melihat dari segi momentum, kematangan, dan pengalaman politik seorang Gibran. Cenderung agak dipaksakan. Maka, kemunculan Gibran, yang dikaitkan dengan Pilkada Solo --termasuk juga Bobby, menantu Jokowi, yang berniat maju di Pilwakot Medan-- bertolak belakang dengan citra Jokowi yang selama ini dianggap sebagai Presiden yang "menjauhkan" keluarganya dari dunia politik praktis.

Lalu, ada apa?

Maka, meski tak seutuhnya salah, mungkin ada benarnya sebuah analisa yang mengatakan, bahwa Jokowi sedang mempersiapkan penerusnya. Jokowi sedang berupaya memberikan "sinar" kepada Gibran, yang tak mungkin diberikan Jokowi ketika pesonanya mulai pudar dan berubah menjadi pendar. Meski bukan ia yang menikmatinya kelak, tapi ia akan bahagia ketika takdir sejarahnya dilanjutkan oleh keluarganya. Sebuah kewajaran, sebagaimana Megawati dan SBY juga sedang melakukannya.

Salam,

Mustafa Afif
Kuli Besi Tua

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun