Dalam konteks inilah, pandangan banyak orang tentang keraguan terhadap sosok Gibran yang belum matang serta kemungkinan untuk melanjutkan politik dinasti tak bisa disalahkan begitu saja karena Jokowi adalah Presiden Indonesia yang saat ini sedang berkuasa.
Berbeda dengan Megawati, yang memperkenalkan politik praktis kepada Puan Maharani jauh setelah dirinya tak lagi menjadi Presiden. Berbeda pula dengan SBY, yang "memaksa" AHY untuk terlibat dalam politik praktis justru ketika ia tak lagi menjabat sebagai Presiden.
Banyak pihak yang kemudian menganggap munculnya Gibran sebagai aji mumpung karena menganggap tak ada "kemendasakan" yang mengharuskan, terutama ketika melihat dari segi momentum, kematangan, dan pengalaman politik seorang Gibran. Cenderung agak dipaksakan. Maka, kemunculan Gibran, yang dikaitkan dengan Pilkada Solo --termasuk juga Bobby, menantu Jokowi, yang berniat maju di Pilwakot Medan-- bertolak belakang dengan citra Jokowi yang selama ini dianggap sebagai Presiden yang "menjauhkan" keluarganya dari dunia politik praktis.
Lalu, ada apa?
Maka, meski tak seutuhnya salah, mungkin ada benarnya sebuah analisa yang mengatakan, bahwa Jokowi sedang mempersiapkan penerusnya. Jokowi sedang berupaya memberikan "sinar" kepada Gibran, yang tak mungkin diberikan Jokowi ketika pesonanya mulai pudar dan berubah menjadi pendar. Meski bukan ia yang menikmatinya kelak, tapi ia akan bahagia ketika takdir sejarahnya dilanjutkan oleh keluarganya. Sebuah kewajaran, sebagaimana Megawati dan SBY juga sedang melakukannya.
Salam,
Mustafa Afif
Kuli Besi Tua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H