Mungkin saja Jokowi kembali seperti Almarhum Habibie, menekuni kembali profesi lama. Tapi Habibie memiliki sejarah yang juga sulit ditandingi. Sama seperti Gus Dur, Habibie adalah bagian dari masyarakat dunia, yang diakui kecerdasannya. Ia dengan sendirinya mendapatkan gelar Bapak Bangsa. Ia menciptakan kenangan yang manis dan hebat bagi bangsa ini dan bagi penerusnya. Habibie dan Gus Dur adalah anak nasional yang diterima sebagai manusia internasional.
Tulisan ini tidak untuk membandingkan antar Presiden karena bagaimanapun, mereka adalah manusia-manusia pilihan yang memiliki takdir untuk berbuat lebih bagi bangsa dan negara. Mereka tetaplah anak-anak bangsa hebat dan luar biasa.Â
Tulisan ini hanya ingin menjelaskan --sekaligus meyakinkan para pemujanya yang berlebihan itu--, bahwa pesona Jokowi akan tampak lebih pudar, pada waktunya. Pudar bukan berarti ketiadaan, ia hanya berkurang. Seperti cahaya bersinar yang berubah menjadi pendar.
Dalam konteks inilah kemudian banyak orang berpikir, bahwa munculnya nama Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, dalam pentas politik adalah bagian dari upaya Jokowi untuk membagikan "sinar" kepada Gibran, yang tak mungkin diberikan Jokowi ketika pesonanya mulai pudar dan berubah menjadi pendar.
Banyak pihak merasa kaget, tapi Gibran secara resmi telah bermetamorfosa dari seorang pebisnis muda yang sukses menjadi seorang politisi muda dengan keputusannya untuk menjadi bagian dari Partai PDI-P: partai yang telah mengantarkan karir politik Bapaknya ke tahap yang sangat gemilang.
Banyak orang merasa heran karena sosok Gibran yang tak banyak bicara itu kemudian muncul dan dikaitkan dengan kontestasi Pilkada --bahkan sudah pasang baliho juga-- ketika usia dan kematangan berpolitiknya masih belum teruji. Terlebih, munculnya Gibran dalam dunia politik dianggap sebagai upaya untuk melanjutkan "Dinasti Jokowi", terutama dalam konteks politik lokal Solo.
Mungkin tak sepenuhnya benar segala dugaan-dugaan itu, tapi tak bisa juga disalahkan mengingat saat ini Jokowi masih menjabat sebagai Presiden dan lima tahun ke depan akan tetap menjadi Presiden.Â
Posisinya sebagai Presiden tak bisa dinafikan begitu saja, sebab itu adalah kemewahan yang tak semua orang punya, sebagaimana kita tak bisa menafikan, bahwa keputusan Gibran tak mungkin lepas dari pengaruh, pertimbangan, atau mungkin hasil diskusi dengan Jokowi.
Sah-sah saja kita mengapresiasi, bahwa Gibran atau pun Kaesang tak tampak mempergunakan kuasa Bapaknya (bagi yang percaya), tapi posisinya sebagai putra Presiden menjadi modal otomatis yang tak bisa dikesampingkan.Â
Kita salut ketika Markobar dan segala jenis bisnis yang dimiliki oleh Gibran sukses, tapi kenyataan itu sulit dipisahkan dari kenyataan lainnya, bahwa Gibran adalah putra dari seorang Presiden.
Maka, setelah ini, Gibran pun tak akan dibiarkan berjalan sendiri oleh Jokowi, terutama dalam dunia politik praktis yang masih baru dijalaninya. Dunia politik bukan dunia kalkulasi sebagaimana dalam bisnis.Â