Ada yang aneh dengan tranding topic twitter beberapa waktu lalu ketika kata Kontool dan Memex sempat menjadi topik pembicaraan yang hangat di kalangan warganet. Sebagian mungkin biasa-biasa saja. Akun-akun saling bertiwikrama, sahut-sahutan. Seperti dirayakan penuh suka cita. Kemudian muncul juga beberapa kata lain yang kalau dipadankan dengan kata dalam Bahasa Indonesia juga terdengar jorok seperti Tempix, Itil, Entod, SemPac, dan lain sebagainya.
Saya kemudian berpikir, untuk apa itu dijadikan tranding topic? Sepenting itukah jika hanya untuk memberikan pengetahuan, bahwa sesuatu yang "tabu" dan "jorok" disini justru biasa-biasa saja disana. Kalau pun iya, lalu untuk apa? Untuk memberikan pengetahuan baru, bahwa Bahasa dan kata itu adalah kemanasukaan (arbitrer) yang tak harus menjelaskan asal-usul katanya sebab yang penting sama-sama dipahami?
Entahlah. Mungkin para penghuni negeri +62 ini sedang ingin lucu-lucuan saja: sesuatu yang bisa dilakukan saat ruang audio-visual dipenuhi hal yang menjenuhkan, membosankan, sekaligus mengerikan. Soal Papua; soal pemindahan ibu kota; soal polarisasi yang isinya itu-itu saja. Barangkali perlu menciptakan topik yang "lebih segar" untuk dibuat bercandaan di tengah sumuknya pemberitaan.
Saya tak paham, tapi yang jelas, di tengah gemburan dunia digital yang sedemikian terbuka dimana Medsos dapat diakses siapa saja, kata yang dianggap jorok itu sangatlah tidak patut kalau dirayakan sebab kita tak terbiasa hidup di sebuah dunia dimana segala sesuatu dibiarkan berjalan begitu saja, tanpa aturan sosial dan moral. Bangsa ini, mau diajak ke-barat seperti apapun, ia tetaplah di timur: tempat moral dan akhlak menjadi pijakan utama.
Apakah berkata dan ikut merayakan seperti itu termasuk amoral dan tak berakhlak? Bukan seperti itu juga pemaknaannya. Kita bisa berdebat panjang soal ini, dan tidak jatuh pada polarisasi pandangan yang hitam-putih belaka. Soal teks, konteks, meta-teks, dan lain sebagainya. Tapi, kata itu menjadi tidak layak dan tidak patut saat secara gempita dirayakan di depan umum.
Itu, kan, biasa saja. Kamu saja yang pikirannya jorok. Jumud sekali pikiranmu, Bro. Boleh saja berpandangan seperti itu, tapi mau ditanyakan kepada siapa pun, kata Kontool dan Memex dalam asosiasi pikiran sebagian orang Indonesia tetaplah jorok. Saat ditampilkan di muka umum, ia tetap akan menjadi aneh dan tabu.
Coba saja tuliskan kata-kata itu di baju, lalu bawalah jalan-jalan. Saat sendiri, bolehlah tak ada risih. Bagaimana jika kata-kata itu diterikkan di depan banyak orang? Apa kira-kira reaksi para penonton dan pemirsa?
Ini soal patut dan tidak saja; soal diterima atau ditolak sebagai sesuatu yang biasa. Seperti ada standard ganda, bahwa saat kata jorok hanya sebuah teks dianggap tidak apa-apa tapi ketika berupa gambar reaksinya pasti berbeda. Mestinya, kan, reaksinya sama! Masalahnya, sesuatu yang dibiasakan dan dilakukan bersama-sama, pada akhirnya akan membuat itu diterima.
Kita bisa memahami saat kata-kata jorok itu hanyalah sebuah nama di luar sana yang secara kebetulan memiliki makna yang jauh berbeda. Mereka juga tak bermaksud untuk "menjorokkan" karena kita percaya, bahwa setiap kata dan istilah memiliki sejarah, filosofinya, bahkan ketidak-berasalan masing-masing. Jangankan beda negara, beda suku dalam negara yang sama pun hal semacam itu bisa terjadi.
Bagi orang Madura, kontol adalah gembok. Sementara bagi orang Jawa, ia adalah alat kelamin laki-laki. Sementara di luar sana, Kontool adalah nama sebuah aplikasi/perusahaan. Biasa saja, sebenarnya. Bahkan ada sebuah desa di Kecamatan Proppo, Pamekasan, Madura yang bernama Toket. Ya, Desa Toket  (e dibaca seperti seret, pilek). Menjadi agak tidak biasa ketika ia diramaikan dan dirayakan sedemikian di uang publik, apalagi sampai dibikin tranding topic di twitter.
Lalu bagaimana dengan Tokai, Pocky, dan Pejoy yang sudah merambah dunia keseharian kita? Itu dia masalahnya, Bagas, Bambang, dan Malih.