Kenapa "H" dalam Bahasa Indonesia bisa dengan fasih mengucapkannya? Bukan Bakasa Indonesia?! Kenapa Jokowi? Karena doi yang baru saja meramaikan suasana! Kenapa juga angle yang dipilih soal tertawa? Karena konon, gaya dan cara tertawanya itulah yang membuatnya banyak disuka dan dipuja.
Saya tidak ingin membahas soal ini dari sisi semantik, linguistik, kajian antropologi, sosiologi agama atau apapun jenis keilmuannya sehingga menjadi bahasan yang menarik dan tokcer. Tidak juga ingin menilik dari segi "makharijul huruf", qira'ah sab'ah, atau dari sisi tasawwuf dengan mengatakan yang penting hati dan niatnya. Tidak!
Sudah banyak yang membahasnya, dan masing sudah dengan pendapatnya: argumentatif, naratif-deskriptif! Soal salah dan dosa, itu urusan yang menilainya.
Tulisan ini berangkat dari sebuah perenungan yang ujug dan hasil 'cocokologi' random atas pengucapan yang beda pada huruf yang sama. Jadi, maklumi saja jika dalam tulisan ini dipenuhi pertanyaan sederhana.
Tentu saja subjektif. Tapi pada akhirnya, sepaham atau tidak, silahkan saja. Asalkan, tidak perlu ada kata "cebong" atau "kampret" diantara kita. Sungguh tak perlu.
Tanpa membawa sederet kajian keilmuan, seperti yang disebutkan di atas (dengan sederet istilah dan rangkaian pembahasan semi-ribet), barangkali bahasan ini memang kurang menarik, tapi pertanyaan yang tiba muncul dalam benak saya adalah, kenapa Jokowi bisa fasih melafalkan huruf "H" dalam Bahasa Indonesia dan dalam banyak kesempatan, ia lancar dan fasih mengucapkan "Alhamdulillah", bukan "Alkamdulillah"? Kenapa?
Apakah soal logat dan lidah itu akan otomatis "bekerja" ketika berkaitan dengan Bahasa Arab sementara untuk Bahasa lainnya tidak? Adakah sistem "otomatisasi" seperti itu? Lalu, apa yang beda dengan Bahasa Arab bagi lidah orang Jawa atau Madura, misalnya? Saya berbicara dalam konteks "H"nya, tidak pada yang lainnya.
Kalau setiap hari Jokowi biasa melafalkan huruf "h" menjadi "k", tidak masalah. Tapi kenyataannya tidak begitu.
Jokowi itu fasih dan jelas saat mengucapkan "sehari-hari", "seharusnya", "hanya", dan kata yang mengandung "H" lainnya. Ia tak pernah mengucapkan "sekari-kari", "sekarusnya", "kanya". Lalu kenapa ketika mengucapkan "al-fatihah" menjadi "al-fatekah"? Padahal posisi "H"nya sama, dan dalam konteks Bahasa Arab, jelas itu bisa merubah makna, minimal menjadi kabur.
Pernahkah kita mendengar Jokowi ketika tertawa? Pernah. Bunyinya? Hahaha, bukan Kakaka. Jokowi pun ketika berdehem tetap "ehem", bukan "ekem". Iya, kan? Masalahnya, kan, di "H"nya, sebab terjadi inkonsistensi sedemikian rupa. Padahal, dalam banyak kesempatan Jokowi bisa mengucapkan 'alamin, bukan "ngalamin". Betul, gak?
Mestinya dan sekarusnya, eh, seharusnya, saat Jokowi bisa mengucapkan "yang terhormat", ia bisa juga melafalkan "al-fatihah". Saat Jokowi bisa mengatakan "hadirin" dan dalam kesempatan bisa juga melafalkan "alhamdulillah", ia bisa juga mengucapkan "al-fatihah". Lalu kenapa berbeda?