Sampai kapan pun, korupsi tetap akan menjadi pembahasan yang menarik dan unik. Menarik karena selalu menjadi pembahasan yang hangat, bahkan saat isu kelaparan dan kemiskinan harusnya menjadi prioritas atau suara minor rakyat pelosok yang berteriak untuk bisa menikmati pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Unik karena semakin dibicarakan, justru semakin bertambah parah. Berita yang diblow-up sedemikian rupa, tak mampu membuat jera. Setiap orang mengutuk, tapi korupsi menemukan caranya sendiri untuk tak pernah takluk.
Dalam kajian Psikologi, ada teori Psikoanalisis _ tokohnya bernama Sigmund Freud_, yang membagi struktur kepribadian manusia menjadi id(alam bawah sadar yang berisi kesenangan dan keinginan yang harus terpenuhi dan terpuaskan), ego(alam sadar, realitas, dan berfungsi sebagai eksekutor),dan super ego(nilai-nilai, aturan, norma, hukum, dan moral). Freud percaya bahwa semua perilaku manusia yang dimunculkan adalah manifestasi dari alam bawah sadar mereka atau unconsciousness mind. Karena dalam alam bawah sadar yang mempunyai kuasa penuh adalah id,maka dalam pandangannya, manusia adalah makhluk yang jelek dan “bermasalah” karena setiap saat selalu terjadi perang antara ketiga struktur itu, dan tak kunjung selesai. Kemenangan yang satu terhadap yang lain, tetap sebuah masalah.
Psikoanalis percaya, bahwa masalah yang muncul terjadi karena kecemasan (anxiety)yang disebabkan oleh terjadi diskrepansi antara ekspektasi yang muncul dengan realita yang dihadapi. Jika dicontohkan pada perilaku korupsi, maka perilaku korupsi muncul karena alam bawah sadar menginginkan kesenangan terhadap sesuatu yang lebih (motif ekonomi misalnya), sementara kesenangan tersebut tidak akan didapat jika menggunakan cara-cara yang diperkenankan. Jika perilaku koruptif itu muncul, itu artinya ego sebagai eksekutor dan super egosebagai piranti penghalang terkalahkan oleh id.Jika idterkalahkan, tetaplah menjadi masalah, yang pada gilirannya justru bisa membuat seseorang mengalami gangguan. Hampir tidak ada kebahagiaan dan kesejahteraan hidup dalam teori ini. Freud bahkan pernah berkata, “life is not easy”.
Teori ini tentu saja tak lepas dari kritik, meski pada saat yang bersamaan masih banyak digunakan hingga saat ini dengan klaim “tidak ilmiah”nya.
Yang ingin penulis katakan, bahwa upaya memberantas korupsi harus dimulai dari diri sendiri. Kepentingan diri, tidak boleh mengalahkan kepentingan umum. Kemaslahatan tidak boleh tergadaikan oleh keinginan memperkaya diri dengan perilaku koruptif. Egodan super egoharuslah lebih kuat dalam memproteksi keinginan liar dan jahat yang ada dalam id. Untuk itulah kesadaran diri terhadap peran, fungsi, dan kepentingan merupakan sebuah keniscayaan. Karena yang baik dan benar, tidak pernah menjadi kategori atau gejala gangguan jiwa. Justru yang ada adalah kepuasan diri karena telah mengalahkan nafsu, musuh sejati umat manusia. Ini persoalan yang pertama.
Kemudian, kita harus memberikan apresiasi terhadap keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus korupsi di negeri ini. Perilaku koruptif yang melibatkan para pejabat dan merongrong kekayaan negara triliunan rupiah, mulai dituntaskan dan banyak penjahat sudah menempati “kamar” mereka masing-masing di sel. Tentu saja masih terlalu banyak PR bagi KPK, karena ratusan atau mungkin ribuan kasus masih berada dalam waiting list. Persoalan klasik terkait penanganan kasus di KPK perlu dituntaskan, sehingga tidak terkesan tebang pilih. Sejauh ini, memang harus diakui kalau KPK tetap akan menjadi institusi yang mempunyai tingkat kepercayaan paling tinggi dari masyarakat.
Namun, yang perlu disadari adalah, korupsi tidak hanya terpusat di pemerintahan dengan jumlah uang milyaran rupiah. Korupsi sudah menjadi budaya di negeri ini. Terutama pasca runtuhnya masa orde baru. Jika dulu korupsi dilakukan secara “terpusat”, maka saat ini korupsi semakin meluas dan seperti menemukan momentum kebangkitannya. Ia menjalar, bahkan menyentuh kaum grass root. Uang pembangunan desa, BLT, dan raskin yang tidak direalisasikan. Dana pembangunan sekolah (lembaga pendidikan) dan BOS yang tidak dimanfaatkan dengan benar, bahkan di desa-desa banyak ditemukan sekolah fiktif dan komersial demi mendapatkan dana bantuan, serta ribuan kasus koruptif kecil lain yang jika itu dikumpulkan, mungkin nilai kerugiannya menyamai kasus milyaran yang biasanya ramai di media. Ini persoalan kedua.
Artinya apa? Saat ini, siapapun mempunyai potensi untuk melakukan korupsi, baik yang tinggal di Kota dengan kehidupan majunya maupun kehidupan kampung dengan kehidupan sunyinya. Sehingga, “sentuhan” KPK menjadi keniscayaan agar penuntasan kasus korupsi bisa berjalan dari bawah hingga ke atas.
Akhirnya, permasalahan korupsi merupakan masalah akut yang merongrong bangsa ini. Mengurangi perilaku koruptif dan menyelesaikannya merupakan sebuah keniscayaan yang tidak hanya menjadi tanggung jawab KPK saja, tapi semua pihak mempunyai andil untuk melakukannya. Secara institusional, KPK harus lebih aktif untuk melakukan gerakan-gerakan yang membuat ruang gerak pelaku korupsi menjadi semakin sempit dan pengap. Sehingga, dalam konteks ini pemberdayaan dan “ekspansi” KPK sampai ke daerah pelosok menjadi pilihan karena korupsi sekecil apapun tetaplah cikal bakal dari permulaan kehancuran bangsa. Di sisi yang lain, proteksi dan kesadaran diri perlu dibangun oleh masing-masing individu untuk menjauhi perilaku koruptif. Dengan “kerjasama” yang manis ini, penulis yakin korupsi akan menemukan ajalnya, meski secara perlahan tapi pasti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H