Mohon tunggu...
Mustam Arif
Mustam Arif Mohon Tunggu... lainnya -

Mustam Arif, rakyat biasa dan penikmat media, tinggal di Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Geliat Makassar Kota WiFi

19 Mei 2010   06:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:07 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Warung kopi dan fasilitas jaringan internet nirkabel gratis, menjadi salah satu icon Makassar saat ini. Karena itu, bila ke ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ini, tidak perlu repot memikirkan akses internet. Hampir semua sudut kota yang berpebduduk sekitar 2,5 juta jiwa ini terjejali warung kopi (wrkop) menyediakan jaringan wireless fidelity (WiFi).

Tidak usah bertanya soal waktu. Sebab layanan warkop dan WiFi gratis tersedia 24 jam. Jenuh di tempat yang satu, bisa pindah ke tempat lain.

Mulai dari pusat kota, jalan-jalan protokol, jalan-jalan kecil, sampai lorong-lorong, mall atau sarana perbelanjaan, kompleks-kompleks perumahan, kita temukan warkop berfasilitas WiFi. Dari bangunan ruko, rumah tinggal, halaman-halaman. Di kompleks perumahan sebagian warga mengalihfungsi garasi mobil menjadi warkop ber-WiFi, meskipun hanya beberapa meja. Fasilitas ini juga tersedia di hotel-hotel, sarana umum, dan kampus-kampus.

Bagi yang tidak punya fasilitas laptop (notebook) juga tidak perlu khawatir. Sebab di kota yang kerap diklaim sebagai ‘’pintu gerbang’’ Indonesia timur ini juga tersebar warung internet (warnet) di mana-mana. Tidak mau kalah dengan warkop-WiFi, warnet-warnet yang tampaknya lebih banyak dari warkop, juga memformulasi pelayanan bukan hanya sarana internet, melainkan juga menyediakan aneka minuman dan panganan yang berformat kafe.

Tak heran, bila kita menyusuri kota yang beberapa tahun terakhir cukup pesat pembangunan fisik ini, mata kita tersuguhi silih berganti papan nama warung kopi dengan WiFi dan warnet-warnet. Nama-nama sarana rehat ini bermacam-macam, mulai dari bahasa lokal, bahasa Indonesia, bahasa asing, nama pemilik, sampai berbagai akronim dan pelesetan yang tidak semata-mata mengemban makna, tetapi sekadar unik.

Perkembangan warkop-WiFi di Makassar cukup pesat sekitar tiga tahun terakhir, seiring berkembangnya sarana internet berbasis wireless di Makassar. Pada awalnya beberapa warkop menerapkan pelayanan WiFi tidak gratis. Pengunjung warkop dikenakan charge yang include dengan makanan dan minuman dengan hitungan jam. Ada juga yang menggunakan sistem voucher seharga Rp 5.000 per jam.

Namun, pola ini hanya bertahan beberapa saat setelah mulai pesatnya pertumbuhan warkop-WiFi. Satu per satu warkop mulai membebaskan layanan WiFi. Berjubellah pengunjung setiap saat. Dalam waktu yang tidak lama, warkop yang menyediakan WiFi berbayar, beralih menjadi gratis.

Kini, tidak ada warkop di Makassar yang tidak menyediakan fasilitas WiFi gratis. Sebab pengunjung tidak akan memilih warkop tidak ber-WiFi.

Kecuali warkop-warkop yang sudah legendaries, dimiliki warga keturunan Tionghoadi antaranya sejak tahun 1935. Sebut saja Warkop Hai Hong, Warkop Kheng Hai, Warkop Fat Heng, atau Warkop Phoenam. Phoenam telah berkembang menjadi waralaba yang tersebar di Makassar, Parepare, dan juga Jakarta. Pengunjung yang datang ke warkop-warkop ini adalah para pelanggan fanatik, karena racikan khas kopi yang telah puluhan tahun terkenal. Karena itu, meskipun tidak menggunakan fasilitas internet, toh tidak pernah sepi pengunjung.

Gaya Hidup dan Ajang Komunikasi

‘’Banjir’’ WiFi di Makassar setidaknya berpengaruh pada gaya hidup sebagian warga kota ini terutama kalangan muda, di antaranya profesional muda, mahasiswa, pagawai negeri, dan karyawan swasta. Pagi hari, warkop-warkop masih sepi. Namun, mulai siang, sarana rileks ini perlahan-lahan dipadati sampai dini hari. Di antara pengunjung bahkan‘menginap’ dari warkop ke warkop.

Kondisi ini membuat aktivitas menjiniing laptop ke warkop menjadi rutinitas hidup sebagian warga Makassar. Sebab tidak perlu punya isi kantong tebal untuk mengakses internet. Cukup Rp 6.000 hingga Rp 10.000 untuk segelas kopi, sambil menyerumput minuman klasik ini, sudah bisa mengakses internet tanpa batas waktu. ‘’Sampe poge mi’’ istilah Makassar yang atinya sampai sepuas-puasnya.

‘’Ledakan’’ WiFi juga mengubah kecenderungan komunikasi antar-warga dari komunikasi verbal (konvensional face to face) ke komunikasi firtual. Pola ini didorong dengan demam jejaring sosial Facebook. Antarpribadi dan komunitas kerap berkomunikasi lewat Facebook, dan sebagian besar menggunakan jasa warkop-WiFi.

Warkop-WiFi kemudian tidak sekadar menjadi sarana pelepas penat, tetapi juga menjadi ‘’kantor-kantor’’ bagi sebagian komunitas di antaranya para jurnalis dan aktivis LSM, atau ‘’kampus’’ alternatif bagi mahasiswa. Sebab di warkop-WiFi-lah, ide-ide bisa dicetuskan, pekerjaan dan tugas-tugas kuliah bisa diselesaikan.

Namun, dampak negatifnya juga ada. Seiring deman judi online bernama Pocker yang menjadi layanan bawaan Facebook, membuat warkop-warkop WiFi di Makassar laksana kasino mini. Jika larut malam, meja-meja warkop yang dipenuhi pengunjung ddngan laptop kerap hening, karena masing-masing berkonsentrasi mengendalikan permainan di atas meja dunia maya itu, ditemami gelas-gelas kopi dan puntung rokok membumbung di asbak.

Pengunjung yang tidak mampu mengendalikan diri, bisa larut semalam suntuk di meja warkop demi Pocker.Bagi yang tidak beraktivitas siang, tak ada masalah, karena bisa mengubah siangnya menjadi malam. Tetapi, bagi pekerja siang hari, kinerja para penggila Pocker bisa anjlok. Seorang rekan yang direktur LSM sering mengeluh. Siang hari sebagian stafnya bobo siang di kursi, atau mereka terkantuk-kantuk saat rapat, lantaran menghabiskan malam dengan menggeluti Pocker di warkop.

Warkop, WiFi, dan Facebook berkontribusi pada dinamika Kota Makassar saat ini. Pertanyaannya, apakah kemudahan akses internet ini akan berdampak pada pencerdasan masyarakat Makassar ke depan? Waktu yang akan menjawabnya. (mustam arif)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun