"Ah tidak mungkin mana bisa makanan, permainan, tarian atau kebudayaan lokal lainnya menjadi sumber pembelajaran" ungkap Pak Wendhel guru kelas 1 SDK Nataweru di Maumere Kab. Sikka. Saat itu saya memang meminta teman-teman guru termasuk beliau memanfaatkan lingkung sekitar dalam kegiatan pembelajaran yang akan dilakukan.
Komentar senada juga keluar dari Ibu Ani Tumakaka, guru SD GKST di Tentena. "Menggunakan budaya, bagaimana bisa?" celotehnya saat saya mendampingi para guru di Poso-Tentena tahun 2010 lalu. Ia kebingungan mengintegrasikan unsur kebudayaan lokal menjadi pembelajaran tematik tanpa melenceng dari substansi kurikulum nasional.
Cuplikan singkat cerita di atas adalah sebagian kecil kesan awal dari guru-guru yang saya dampingi agar kualitas mengajar mereka meningkat. Tidak seperti pelatihan guru pada umumnya yang berat teori dan menempatkan guru pada posisi pasif, saya memberikan hal berbeda kepada para guru di hampir semua daerah pedalaman di Indonesia. Hal berbeda yang saya maksud adalah mengajak guru untuk 'berani' keluar dari pakem buku paket sebagai satu-satunya sumber ajar anak didik di sekolah.
Secara langsung saya membantu guru untuk merancang model pendidikan kontekstual sesuai karakteristik daerahnya. Rancangan tersebut sangat lengkap karena saya membantu mereka merumuskan konsep dan menulis sendiri modul kegiatan pembelajaran kontekstual sebagai panduan mengajar di dalam maupun luar kelas. Hasilnya banyak buku karya guru dari sekolah daerah pedalaman yang mendapat apresiasi bahkan penghargaan tingkat nasional.
Tidak kurang dari setahun saya mendampingi Pak Wendhel dan para guru di Maumere, datang tim Utusan Khusus Presiden Republik Indonesia untuk MDG's meminta kumpulan modul yang ditulis guru untuk dibawa ke Jakarta. Selang beberapa hari Pendidikan Kontekstual di Maumere keluar sebagai runner up pada ajang Indonesia MDG's Awards tahun 2014. Pak Wendhel dan teman-teman senang bukan kepalang dan berkelakar "modul yang saya tulis ada di meja Presiden".
Penghargaan serupa diraih Ibu Ani Tumakaka setahun sebelumnya. Guru-guru di Poso-Tentena bahkan telah menulis buku guru dan buku siswa lengkap dari kelas 1 sampai kelas 6. Buku ini dipresentasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian merestui penggunaannya sebagai buku resmi pembelajaran sekolah dasar di Poso-Tentena. Hebatnya lagi substansi buku ini sesuai dengan kurikulum 2013 namun telah ditulis guru-guru yang saya dampingi jauh sebelum kemunculannya.
Sudah menjadi rahasia umum bila sejauh ini pola mengajar guru tetaplah kaku meski kurikulum baru lahir lengkap dengan buku pendukungnya. Faktanya kreativitas guru selalu terpenjara sistem administrasi mengajar. Padahal bila berani setiap guru bisa memperkaya dan membumikan kurikulum nasional sesuai konteks daerah masing-masing. Dengan demikian akan lahir pola didik sejati Nusantara yang unik dan beraneka.
Berangkat dari hal inilah saya membantu guru-guru mewujudkan aplikasi 'Pendidikan Berlingkung' sebagai induk kurikulum apapun. Suatu bentuk pendidikan di mana alam fisik, hayati dan nabati, masyarakat, kebudayaan serta kehidupan beragama suatu daerah dioptimalkan sebagai sumber untuk menambah pengetahuan, mengasah keterampilan serta menumbuhkan sikap anak didik.
Teknis berikutnya saya menyediakan seperangkat alat kreatif berupa lembaran modul kegiatan kosong yang harus ditulis oleh guru sendiri. Dengan modul sederhana ini guru mulai berani dan memahami bahwa tidak ada satupun kegiatan pembelajaran memanfaatkan lingkung yang bertentangan dengan kurikulum nasional.
Saya mengatakan kepada para guru 'kata kuncinya laksanakan kegiatan sesering mungkin'. Indikator kegiatan adalah adanya gerak baik jasmani, panca indera, berbahasa dan ruhani. Semakin banyak kegiatan maka semakin banyak pula pengalaman yang diperoleh anak didik. Seiring itu pula pengalaman membentuk karakter yang diharapkan tumbuh dari anak didik. Adapun keterampilan dan pengetahuan otomotis mengikuti.