Tata letak kota nampaknya merupakan suatu hal yang menarik untuk dibahas secara historis. Pernahkah terlintas pada pikiran kalian, bagaimana kota-kota (terutama di Indonesia) yang ada sekarang merupakan suatu produk dari masa lampau. “Produk” tersebut kemudian terus berkembang hingga hasilnya adalah kota atau daerah yang kita tempati sekarang. Mayoritas kota di Indonesia merupakan hasil dari kolonialisme bangsa Eropa di Indonesia. Kota-kota tersebut didesain sedemikian rupa untuk mengikuti keinginan para pendatang dari Eropa. Keinginan tersebut umumnya bertujuan untuk kenyamanan dan kepentingan pemerintah Hindia Belanda, atau untuk segregasi. Ya, intinya segregasi itu bertujuan demi kenyamanan “si pendatang” juga. Eksklusifitas, itu lah kata kuncinya. Orang Eropa baik secara kiasan maupun harfiah, jelas tidak ingin berada setingkat dengan ras lain di Hindia Belanda. Lantas, bagaimana secara rinci korelasi antara tata letak kota atau perkampungan dengan segregasi yang dibuat oleh orang-orang Eropa?
Tata letak kota di Indonesia pada masa tradisional tentu saja berbeda dengan tata letak pada masa kolonial. Umumnya, pada masa tradisional bentuk kota terbagi menjadi dua; kota pesisir dan kota pedalaman. Kota pesisir biasanya merupakan pusat perdagangan dari suatu kerajaan. Kemudian, kota pedalaman umumnya merupakan pusat dari kerajaan itu sendiri. Ketika bangsa Eropa datang, tata letak ini tentu saja mengalami perubahan. Para pendatang membuat suasana atau bentuk kota di Indonesia sesuai dengan yang ada di Eropa, seperti Batavia yang dibuat layaknya seperti kota Amsterdam (Sujiyati: 2015). Bangsa Eropa juga seringkali membagi daerah-daerah di dalam kota menjadi beberapa bagian, sesuai dengan ras atau etnis yang ada di kota tersebut. Namun, segregasi ini sudah ada sebelum abad ke-19 atau ketika Belanda turun tangan langsung dalam menangani daerah jajahannya.
Hal ini dapat kita lihat pada kota Palembang. Kota Palembang yang menjadi daerah perdagangan memungkinkan terjadinya kedatangan berbagai macam suku bangsa ataupun ras dari berbagai daerah. Hal ini menyebabkan adanya percampuran budaya atau terbangunnya pemukiman-pemukiman dari suatu etnis. Kondisi lingkungan kota Palembang yang didominasi oleh sungai membuatnya terbagi ke dalam dua “ruang” yaitu, ruang daratan dan ruang air. Kerajaan Palembang melarang etnis-etnis asing seperti Tionghoa, Arab, dan Eropa untuk bermukim di daerah yang disebut ruang daratan. Ruang daratan hanya diperuntukkan etnis yang disebut etnis pribumi atau etnis lain yang dianggap memberikan keuntungan bagi kerajaan. Etnis asing hanya diperbolehkan untuk tinggal di daerah ruang air, yang membuat para penghuninya menggunakan bangunan di atas rakit sebagai tempat singgah maupun tempat lain seperti pertokoan.
Pada masa kolonial, etnis-etnis asing semakin eksis keberadaannya. Munculnya kawasan Pecinan, Kampung Arab, dan Kampung Eropa (Belanda, Little Netherland) menjadi bukti dari kehadiran etnis asing dan kontribusinya terhadap berbagai unsur di Kota Palembang. Tata letak kota menjadi satu dari unsur-unsur tersebut yang sekiranya mempengaruhi. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, di mana pada masa kerajaan di Palembang para etnis asing cenderung tinggal di daerah pesisir (ruang air), membuat hal tersebut menjadi kelebihan dibandingkan pribumi yang di daratan. Mengapa demikian? Hal ini berhubungan dengan daerah pesisir yang dipenuhi oleh etnis asing menjadi tempat terjadinya interaksi perdagangan dan kebudayaan. Sehingga, daerah ini terlihat lebih makmur dibandingkan daerah pedalaman (ruang daratan) yang mayoritas ditempati oleh etnis pribumi yang cenderung dianggap sebagai masyarakat barbar dan terlihat kurang makmur karena meskipun mereka menjadi tempat asal mula berbagai komoditas perdagangan di daerah pesisir, pada kenyataannya terdapat ketimpangan harga di sana (meskipun dikemudian hari mulai bermunculan orang-orang kaya baru di daerah pedalaman).
Model pertama pembagian ini, antara daerah pedalaman dan daerah pesisir menjadi awal dari eksklusifitas dan segregasi di Kota Palembang. Meski pada awalnya ketimpangannya tidak terlalu terlihat, karena penguasanya merupakan seorang pribumi. Ketika runtuhnya kerajaan di Palembang dan masuknya etnis Eropa dengan VOC-nya semuanya mulai terlihat. Ketimpangan mulai terjadi antara etnis pribumi dengan etnis asing. Tidak terlepas hanya pada hak di sektor perekonomian saja, melainkan merembet hingga permasalahan mengenai rumah layak huni dan ketersedian air bersih di sana. Karena tampuk kepemimpinan sudah dipegang oleh VOC, mulailah banyak keuntungan yang dirasakan oleh etnis-etnis asing terutama etnis Eropa di Palembang.
Jika dilihat dengan seksama, permasalahan eksklusifitas dan segregasi di Kota Palembang pada masa itu hanya berkutat pada etnis pribumi dan etnis-etnis asing. Namun seiring berjalannya waktu, permasalahan tersebut juga terjadi di antara etnis asing yang berada di sana. Sebagai contoh kasus, Masyarakat Arab yang mayoritas merupakan kalangan Habaib (keturunan Nabi Muhammad SAW), sehingga sangat dihormati dalam sistem sosial di masyarakat Palembang. Meski begitu, mereka tetap membuka kesempatan bagi masyarakat dari etnis lain (mayoritas merupakan etnis pribumi) untuk menikah dengan kalangan mereka namun, tetap berpegang pada ketentuan di mana hanya para lelaki saja yang diperbolehkan untuk menikah dengan kalangan diluar mereka agar nasabnya tidak terputus. Setelah kerajaan runtuh dan berkuasanya VOC di Kota Palembang, kesempatan ini mulai tertutup sehingga mengukuhkan sikap eksklusifitas mereka di tengah masyarakat Palembang.
Sebagai gambaran lainnya, di Palembang konflik rasial bisa dimulai dari hal-hal kecil seperti memarkirkan kendaraan di depan sebuah toko. Dalam suatu kasus di zaman kolonial, seorang pribumi memarkirkan kendaraannya di depan sebuah toko milik orang Tionghoa dengan alasan agar memudahkan penumpangnya, padahal tindakan tersebut malah menghambat proses bongkar muat barang untuk keperluan dagang. Ketika mendapat teguran, orang pribumi tersebut malah lebih agresif hingga mengancam pemilik toko.
Kombinasi sikap eksklusifitas dan adanya pengkotak-kotakan kawasan berdasarkan etnis masyarakat tertentu menjadi bukti segregasi yang terjadi di Kota Palembang. Perkampungan yang eksklusif memiliki kecenderungan di mana hanya etnisnya saja yang berhak tinggal di kampung tersebut, sehingga jarang sekali melihat etnis lain di tiap-tiap perkampungannya. Gambaran di atas juga berusaha menggambarkan bahwa kurangnya perhatian dari pemerintah kolonial Belanda dalam tata kota untuk membuat fasilitas-fasilitas untuk memenuhi hak-hak yang seharusnya diberikan pada masyarakat Palembang, terlepas dari latar belakang etnis mereka.
Referensi:
Eni Heldayani. Muhammad Idris, S. (2017). Proses Terbentuknya Pemukiman Etnis di Kota Palembang. JPG (Jurnal Pendidikan Geografi), 1-15.