Menelisik tentang islamisasi Banten atau masuknya ajaran Islam di Banten, terdapat dua pandangan bagaimana Islam mulai di terima dan menyebar di tanah debus, yaitu melalui jalur damai, dimana raja Kerajaan Sunda luluh setelah mempelajari ajaran islam dan melalui jalur kekerasan. Menurut tradisi dalam beberbagai babad di barat pulau jawa, di ceritakan bahwa setelah dikuasainya Pelabuan Sunda-Pakuan (Cirebon). Ulama dari Walisongo yang bergelar Sunan Gunung Jati yang saat itu menjadi sultan dari Kesultanan Cirebon, meminta anaknya Maulana Hasanuddin (Pangeran Sabagkingking) untuk mempertahankan pelabuhan tersebut dan menyiarkan ajaran Islam di Banten.
Menjadi gerbang pertama di ujung barat pulau Jawa, membuat Banten memiliki daya tarik-nya tersendiri. Lokasinya yang strategis dan merupakan kota yang terbuka berhasil dimanfaatkan oleh Sunan Gunung Jati melalui putranya Maulana Hasanuddin dengan mendirikan Kesultanan Banten pada tahun 1552. Selama 18 tahun kepemimpinan Sultan Maulanan Hasanuddin (1552-1570), beliau telah meletakkan pondasi Islam di tanah debus dengan mendirikan masjid dan pesantren tradisional hingga mengirim ulama ke berbagai daerah yang telah dikuasai sebagai upaya menyebarluaskan islam. Pada puncak perkembangannya, Kesultanan Banten menjadi salah satu dari pusat penyebaran dan pendidikan Islam. Salah satu pesantren besarnya adalah bangunan yang sekarang termasuk dalam kompleks Masjid Agung Banten.
Meski sering mengirimkan para ulama untuk menyebarkan islam ke berbagai daerah yang telah di kuasai, tak jarang  Kesultanan Banten juga mengundang guru-guru agama dari Aceh, Arab, dan daerah lainnya. Salah satu yang terbesarnya adalah seorang ulama besar dari Makassar yaitu Syekh Yusuf Al-Makasari dengan gelarnya Syekh Yusuf Taju Khalwati atau Tuanta Salamaka, yang kemudian menjadi mufti agung sekaligus guru dan menantu dari Sultan Agung Tirtayasa.
Dalam kesultanan Banten, antara politik dan agama memiliki kaitan yang erat. Politik yang menghasilkan kekuasaaan dan agama yang mengikat dengan kebudayaan lokal di Banten, menjadikan keduanya saling menguatkan bukan bersaing satu sama lain. Dengan demikian, para sultan mendapatkan legitimasi kuat dalam sosial masyarakat Banten. Hal ini terlihat dari penyimbolan letak Keraton Surosowan yang berdampingan dengan Masjid Agung Banten, dimana Keraton meruapakan simbol keagamaan yang bersifat duniawi dan Masjid disombolkan sebagai keakhiratan (ukhrawi). Gelar sultan dan penamaan "Maulana" sendiri menguatkan posisi seorang pemimpin dalam Kesultanan Banten. Penamaan Maulana di berikan kepada seseorang yang telah mencapat tahapan wali dan Gelar sultan yang disematkan oleh para ulama di Mekkah kepada para penguasa Banten sebagai pengakuan secara sah kareana kepemimpinan sosok tersebut.
Dalam penyebaran ajaran Islam di Banten, para sultan melakukannya dengan damai. Hal ini terlihat dari tidak adanya upaya merusak budaya setempat, termasuk memaksakan ajaran agama kepada masyarakat-nya. Hingga saat ini kita masih bisa melihat adanya berbagai peninggalan kuno seperti adanya Vihara Avalokitesvara di sekitar Masjid Agung Banten hingga perkampungan pecinan yang masih dihuni hingga sekarang. Tindakan diatas menyisaratkan bahwa para sultan terasa amat toleran dengan agama dan budaya masyarakat sekitar, sehingga menciptakan masyarakat yang harmonis dan dinamis. Melihat dari desain arsitektur masjid Banten pun dapat dilihat bahwa adanya akulturasi dari peninggalan masa lalu (Hindu-Buddha, Cina) dengan ajaran Islam dan kemudian Eropa hinggi kini sudah menjadi satu budaya, yaitu budaya Banten.
Selain peran sultan yang kental dalam penyebaran agama Islam di tanah debus, dakwah yang tepat sasaran dan dapat diterima oleh masyarakat juga tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama. Sebagai ruh (spirit, asa) dalam penyeberan ajaran islam, mereka berjasa dalam penyebaran agama Islam dengan pendekatan sufistik. Terdapat banyak  tokoh-tokoh ulama yang menyebarkan dakwah melalui pendekatan tasawuf sufistik di Banten seperti Syekh Yusuf Al-Makasari, Syekh Abdul Karim Tanara dan Syekh Asnawi Caringin. Pendekatan sufistik membuat proses masuknya ajaran Islam di Banten begitu elastis, luwes dan halus dalam penyampaian ajaran Islam kepada masyarakat yang heterogen kebudayaanya.
Berkat jasa para ulama dan sultan tersebut, sampai saat ini Banten masih dianggap sebagai pusat Islam hingga saat ini, dan penduduknya masih memegang teguh ajaran agama tersebut. Menurut penelitian Snouk Hurgronye, masyarakat Banten sebenarnya merupakan masyarakat yang paling taat menjalankan ajaran agamanya dibandingkan masyarakat dan daerah lain.Demikian salah satu kesan orientalis Belanda Snouk Hurgronye.
Referensi
Assulthoni, F. (2021). Menelisik Eksistensi Hukum Islam Pada Masa Kerajaan Banten. Jurnal Kajian Hukum dan Sosial, 1-13.