Tragedi kematian Afif Maulana, anak laki-laki berusia 13 tahun viral beberapa pekan terakhir. Ada dugaan dia tewas usai mengalami penyiksaan. Jenasanya ditemukan di bawah Jembatan Kuranji, Kecamatan Kuranji, Kota Padang, Sumatera Barat pada 9 Juni lalu.Â
Warganet heboh bukan semata-mata karena alasan kematian yang janggal. Tapi bagaimana cara kepolisian merespon kecurigaan warga. Sebagai pihak yang mestinya mengungkap kasus secara transparan, akuntabel dan profesional, justru terkesan lebih peduli pada citra kelembagaan.
Lalu muncul istilah "trial by the press" yang dialamatkan pada media dan narasumbernya. Menurut Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Barat Inspektur Jenderal Suharyanto, orang yang mem-viralkan kasus kematian Afif sudah melakukan trial by the press karena memberikan testimoni kepada pers sebelum ada bukti -mungkin hasil penyelidikan atau penyidikan- yang cukup dan menyudutkan institusi kepolisian.
Informasi-informasi publik itu menjadi bahan bagi media-media untuk mengulik penyebab kematian Afif. Kemudian dianggap sebagai peradilan oleh pers karena mengungkap kronologi kematian yang berbeda dengan klaim kepolisian. Kata pihak berwajib, Afif tewas karena terjatuh dari jembatan atau melompat. Tapi media kebanyakan juga memberitakan versi yang lain.
Apa itu trial by the press?
Trial by the press secara umum merujuk pada proses di mana media massa menyoroti suatu kasus atau peristiwa tertentu sering kali menciptakan opini publik dan membentuk praduga bersalah atau sebaliknya terhadap orang atau pihak tertentu mendahului vonis hakim. Mungkin salah satu contohnya ketika proses persidangan kasus kopi sianida pada 2016 lalu. Semua tahapan jalannya persidangan disiarkan secara lansung dan sedikit banyak memengaruhi pendapat umum yang mempersepsikan kesalahan pada Jessica, bahkan sebelum putusan dijatuhkan.
Ketika jurnalis atau sarjana hukum di Amerika Serikat menggunakan istilah trial by the press biasanya digunakan dalam konteks publisitas sebelum persidangan, dan hak kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh amandemen pertama konstitusi mereka berseberangan hak fair trail pada amandeman keenam. Sehingga setiap jalannnya peradilan akan selalu mendapat ruang yang cukup untuk peliputan, sampai ada kondisi yang cukup penting dan relevan barulah hakim akan melarang. Bahkan jika dirasa suatu pemberitaan dapat mempengaruhi keputusan para juri, maka hakim biasanya meminta agar para juri tidak mengonsumsi publikasi berita selama proses persidangan.
Di Indonesia sendiri istilah trial by the press terkadang digunakan dalam berbagai sudut pandang lain, erat kaitannya dengan kultur budaya masyarakat yang menentang keras gosip, fitnah, dan bentuk pencemaran nama baik lainnya. Warisan otoriterianisme juga memberi pengaruh.
Kemerdekaan Pers dalam Pengungkapan Kasus
Dalam kasus kematian Afif, media memiliki peran yang sangat penting untuk mencari kebenaran yang terkunci di balik tembok gedung aparat. Publik membutuhkan lilin kecil yang bisa memberi sedikit penerangan untuk berjalan di tengah gulita proses penegakan hukum. Apalagi ada dugaan Afif tewas tidak wajar. Dianiaya belasan orang dewasa, aparat pula.
Ihwal pemberitaan kasus kematian Afif yang diduga akibat penganiayaan merupakan tugas pers. Sebab jurnalis dan media harus menyajikan data dan perspektif yang lurus dari berbagai sumber, meski terkadang berbeda dari klaim otoritas. Fakta-fakta yang diuraikan dalam pemberitaan diperlukan untuk mengawasi kinerja kepolisian agar tetap profesional dan menjamin terwujudnya keadilan.