UU Ketenagakerjaan seyogianya dibentuk sebagai perwujudan negara memberi perlindungan pada pekerja. Sebab disadari, tanpa adanya negara - melalui peraturan perundang-undangan- yang mengatur hubungan majikan dan bawahan maka niscaya pekerja hanya akan menjadi objek. Menerima seluruh syarat kerja yang diberikan atau miskin kelaparan.
Dengan demikian, peraturan perundang-undangan mengatur hak setiap pekerja untuk mendapatkan kepastian hukum dalam bekerja. Seperti kepastian status kerja, upah, dan jenis pekerjaan.Â
Terkait status kerja, peraturan perundang-undangan telah menegaskan agar setiap perjanjian kerja -khususnya dengan waktu tertentu- disyaratkan melalui perjanjian kerja tertulis. Ketentuan ini termaktub dalam Pasal 57 UU 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang telah diubah melalui UU 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Belaid ini dimaksudkan agar pekerja mendapatkan kepastian status kerja oleh pengusaha. Sebab, jika syarat ini tidak ditegaskan akan berpotensi menimbulkan ketidakpastian ketika pengusaha mempekerjakan pekerja namun tidak disertai perjanjian kerja. Sehingga pekerja bisa saja tidak dapat menuntut hak-hak mereka jika di kemudian hari terjadi pemutusan hubungan kerja.
Peraturan perundang-undangan menegaskan, perjanjian kerja dengan sistem PKWT wajib dilakukan dengan perjanjian kerja tertulis. Sehingga apabila tidak dilakukan secara tertulis maka perjanjian kerja itu dianggap sebagai perjanjian kerja tidak tertentu atau PKWTT atau pekerja tetap.Â
Ketentuan ini juga dipraktikan di pengadilan, khususnya pada putusan nomor perkara 146/Pdt.Sus.PHI/2022/PN.Jkt.Pst antara Gema Trisna Yudha melawan perusahaan PT. Alinea Tek Nusantara. Gema merupakan pekerja pada posisi editor namun selama tiga tahun tidak pernah menandatangani kontrak kerja. Artinya dia bekerja hanya dengan perjanjian kerja lisan.Â
Setelah proses persidangan yang panjang, bukti dan saksi dihadirkan, majelis Hakim PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat akhirnya mengabulkan sebagian dari tuntutan penggugat. Hakim menegaskan hubungan kerjanya adalah PKWTT atau lazimnya disebut, pekerja tetap. Dari pertimbangan tersebut, hakim mumutus sebagai akibat dari PHK, perusahaan wajib membayar tuntutan pesangon dan uang penghargaan masa kerja. Putusan itu dibacakan pada 16 Agustus 2022.
Terdapat tiga alasan hakim mengabulkan gugatan tersebut; pertama, ketentuan Pasal 57 UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan PKWT dilakukan melalui perjanjian tertulis; kedua, Gema merupakan editor pada Alinea.ID yang nyatanya merupakan perusahaan yang bergerak di bidang media massa sehingga posisi jabatan itu merupakan pekerjaan utama; dan ketiga, terdapat fakta pada persidangan, masa kerja penggugat diawali masa percobaan. Diketahui bahwa ketentuan perundang-undangan, masa percobaan hanya dibolehkan pada pekerjaan yang bersifat sementara atau PKWT.
"...oleh karenanya, majelis hakim berpendapat bahwa karena jenis pekerjaan penggugat merupakan pekerjaan yang bersifat tetap dan penggugat belum pernah menandatangani perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), serta Penggugat juga hubungan kerjanya diawali dengan masa percobaan, maka perjanjian kerja antara penggugat dengan tergugat merupakan perjanjian kerja waktu tidak tertentu / pekerja tetap,"Â pertimbangan majelis Hakim pada perkara 146/Pdt.Sus.PHI/2022/PN.Jkt.Pst.
Dari sini ditegaskan bahwa untuk pekerjaan PKWT wajib dilakukan melalui perjanjian kerja tertulis, sebab konsekuensi jika tidak demikian, maka pekerja dianggap berstatus tetap.Â
Karena pekerja merupakan pekerja tetap maka atas terjadinya Pemutusan hubungan itu, perusahaan diwajibkan untuk membayar kompensasi; uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak.Â