RIAU memiliki arti penting, terutama bagi etnis-etnis yang bermukim di bagian tengah dan utara Sumatera. Gelegar perkembangan ekonomi bumi Melayu ini sejak dulu, mendorong banyak orang untuk merantau dan pada akhirnya menjadi warga Riau.
Sumber Daya Alam (SDA) di bidang pertambangan dan energi yang melimpah, disusul kemudian oleh pertumbuhan perkebunan kelapa sawit yang begitu dahsyat, membuat Riau membutuhkan banyak tenaga kerja. Tatanan sosial ekonomi bergerak maju. Riau menjadi tujuan utama mendapatkan penghidupan yang lebih layak.
Sejarah perantauan orang Minangkabau (Rang Minang) di Sumatera Barat ke Riau, tercatat sudah berlangsung amat lama. Ketika sarana transportasi masih menggunakan sungai, orang-orang Minang telah banyak yang melakukan mobilisasi ke berbagai kota penting di Riau, sebutlah misalnya Bangkinang, Pekanbaru, Dumai, Air Molek, Tembilahan, hingga mencapai Tanjung Pinang dan Batam sebelum dimekarkan jadi Provinsi Kepulauan Riau.
Beragam cerita, dinamika, dan romantika terpatri dalam perjalanan Rang Minang menuju bumi harapan itu. Kisah perjalanan menggunakan bis-bis ANS, Gagak Hitam, dan Sinar Riau, dari Bukittinggi menuju Pekanbaru sejak berpuluh-puluh tahun silam, sampai kini masih dikisahkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Berbeda dengan etnis lainnya, Rang Minang ke Riau pada umumnya mematrikan diri pada usaha perdagangan, sejak dari kaki lima sampai ke mall dan plaza. Hampir semua lini dagang dimasuki Rang Minang.
Dahulu, ketika sarana transportasi masih terbilang sulit, pada umumnya para pedagang dari Sumatera Barat memilih menetap di kota-kota tujuan perantauan mereka di Riau. Tapi kini, saat jalan raya terbentang mulus menghubungkan kedua provinsi, selain perantau Minang yang sudah menetap bertahun-tahun di Riau, ada pula hal baru, yakni pedagang babelokalias pedagang yang setiap hari bolak-balik antara Sumbar dan Riau.
Wakil Ketua DPRD Provinsi Riau Dr. Sunaryo memperkirakan, sekitar dua hingga lima persen masyarakat Sumbar kini setiap hari bolak-balik antara Sumbar dan Riau. Mereka memperdagangkan hasil-hasil bumi yang amat dibutuhkan warga yang bermukim di Riau, mulai dari beras sampai kepada sayur-mayur dan buah-buahan.
Di sisi lain, Sunaryo memperkirakan, sekitar 35 persen warga Riau merupakan perantau asal Sumbar, baik mereka yang telah bermukim sejak puluhan tahun silam, maupun ‘perantau baru’ yang hampir setiap hari bermigrasi dari Ranah Minang.
Setiap hari, ada ratusan bus, minibus, dan truk berbagai ukuran melintasi jalur nasional Sumbar Riau membawa orang-orang dalam segala bentuk urusan bisnis dan dagang. Mobil-mobil itu berasal dari kawasan perkotaan semisal Padang, Bukittinggi, dan Payakumbuh. Banyak pula di antaranya yang datang dari daerah-daerah pelosok Sumbar semisal Tapan, Sijunjung, Muaralabuh, Pasaman Barat, Pasaman, dan daerah-daerah tepi lainnya.
Itu menjadi pertanda, Riau menjadi amat penting bagi masyarakat Sumbar yang mengakibatkan arus transportasi berlangsung 24 jam.
Membaur
Orang Minang memang dikenal sebagai salah satu etnis tangguh dalam urusan merantau. Spesialis mereka adalah pedagang kelontong dan kuliner. Ada pameo yang menyebut, di mana ada manusia di situ pasti ada orang Minang mendirikan rumah makan, berdagang di kaki lima, dan menjalankan bisnis lainnya.
Di samping saudagar, sebenarnya Rang Minang di perantauan juga menekuni banyak profesi lainnya, terutama yang membutuhkan kemampuan intelektual dan retorika. Ada yang menjadi guru, ustad/dai, diplomat, politisi, dan wartawan. Dalam keseharian, mereka membaur dengan masyarakat setempat, baik penduduk asli maupun warga perantauan yang datang dari daerah lain.
Dari pecakapan penulis dengan warga Riau di beberapa kota/kabupaten, semisal Pekanbaru, Duri, Dumai, dan Rengat, banyak di antara mereka yang mengaku punya pertalian darah dengan kabupaten/kota di Ranah Minang. Mereka sudah membaur dengan penduduk asli dan warga lainnya, sehingga identitas Minang mereka tidak lagi terlalu kentara, kecuali ketika ada perhelatan khusus semisal pernikahan, syukuran, dan halal bil halal usai lebaran.
Pola pembauran masyarakat Minang di perantauan menganut filosofis: dima bumi dipijak, di situ langik dijunjuang(dimana bumi dipijak, di situ langit dijujung), menjadi rujukan tentang betapa Rang Minang perantauan lebur dengan bumi rantaunya, termasuk di Bumi Melayu bernama Riau yang dari ke hari terus memainkan peranan pentingnya di bidang perekonomian Indonesia bagian barat.
Kota Pekanbaru dan Dumai, sesungguhnya bisa menjadi rujukan penting, bila kita berbicara soal peran strategis yang dimainkan warga kota yang memiliki pertalian darah keturunan dengan Sumbar. Di kedua kota itu, ditemukan sejumlah warga asal Minang yang generasinya sudah mencapai tiga keturunan.
Kendati pun sudah demikian lebur dengan masyarakat Riau, namun cinta mereka terhadap Ranah Minang tentu tak bisa hapus begitu saja. Kalau menurut data Sunaryo ada dua hingga lima persen warga Sumbar setiap hari bolak-balik Sumbar-Riau untuk berdagang, maka penulis memprediksi, sekitar dua hingga lima persen pula warga Riau setiap akhir pekan berkunjung ke Sumbar, terutama Bukittinggi, Padang Panjang, Pariaman, Padang, dan Painan sebagai wisatawan.
Sekitar 80 persen dari wisatawan Riau ke Sumbar itu, diyakini memiliki pertalian darah dengan Ranah Minang, kendati pun ada di antara mereka yang sudah tak lagi memiliki sanak famili dan rumah gadang di negeri asalnya.
Wisata dan pendidikan
Riau memang memiliki peranan penting dan strategis bagi Rang Minang. Di tengah kuatnya magnet Riau menarik Rang Minang untuk merantau ke sini, magnet Minang juga tak kalah kuat menarik warga Riau untuk berkunjung ke Ranah Minang, terutama pada sektor pariwisata dan pendidikan. Dalam dua hal ini, warga Riau yang datang ke Ranah Minang untuk membelanjakan uang mereka.
Hingga pertengahan 1990-an, ada ribuan anak asal Riau yang bersekolah di Bukittinggi, Padang Panjang dan Padang, terutama pada pesantren-pesantren besar dan bersejarah, maka kini jumlahnya mulai berkurang. Kendati demikian, kita masih menemukan banyak anak-anak asal Riau yang menekuni pendidikan di Perguruan Diniyyah Puteri atau Pesantren Nurul Ikhlas Padang Panjang.
Magnet Sumbar bagi warga Riau kini sudah beralih ke sektor pariwisata. Hal itu pun diakui salah seorang pejabat di lingkup Pemprov Sumbar, Nasir Ahmad, saat bersilaturahim dengan warga kota Dumai yang berasal dari Sumbar beberapa pekan lalu. “Sumbar kini menjadikan pariwisata sebagai unggulan dengan titik pacu ada di Padang dan Painan. Setiap akhir pekan, ada seribuan warga Riau yang berwisata ke Sumbar,” katanya.
Mencermati fakta-fakta tersebut di atas, sungguh, Riau bagi Rang Minang memiliki peranan penting untuk kehidupan. Orang Riau adalah sumber penghidupan bagi banyak Rang Minang. Kalau tidak Rang Minang yang datang sendiri ke Riau, maka pastilah orang-orang Riau yang datang ke Ranah Minang untuk membelanjakan uang mereka.
Oleh karena itu, fenomena ini mestilah disikapi dengan bijak oleh pemerintah di kedua provinsi bertetangga, baik pemerintah provinsi, maupun kota dan kabupaten.(Musriadi Musanif, wartawan, nulis tinggal di Padang Panjang, Sumbar)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H