Akhir-akhir ini kita dikejutkan tulisan di Kompasiana yang memuat tulisan “Anggito Abimanyu Menjiplak Artikel Orang (Opininya di Kompas 10 Feb. 2014)?. Dengan telanjang (ciri khas tulisan di Kompasiana), sang penulis memaparkan tulisan Anggito Abimanyu yang disalin (copas) dari tulisan Opini Hatbonar Sinaga yng berjudul “Menggagas Asuransi Bencana”.
Bukan sekedar “disadur', tapi “ditelan mentah-mentah”, perkalimat, lengkap tanda baca (titik koma) tulisan Hatbonar Sinaga dan kemudian menjadi dan diakui sebagai tulisan Anggito Abimanyu.
Tulisan yang kemudian dikupas di Media sosial “Kompasiana' menyambar dan gegar menggelinding seperti air bah. Media massa cetak sekelas Kompas kena getahnya. Kompas dianggap bertanggungjawab memuat tulisan “plagiat” dan itu cukup memalukan.
Dahsyat gema itu melebihi suara meletusnya Gunung Sinabung, ataupun Gunung Kelud. Bahkan lebih heboh dari “tertangkapnya Ketua MK”. Sungguh. Dunia tulis menulis kemudian menjadi heboh.
Bayangkan. Sekaliber Anggito Abimanyu yang mempunyai sederet gelar akademis yang lengkap, mempunyai track record di Pemerintahan yang cemerlang harus berurusan dengan dunia yang kemudian “menghujatnya'.
Tulisan di Kompasiana kemudian “menghantam” media sekelas Kompas, sekaliber Anggito Abimanyu dan kampus sekondang UGM. Semuanya “disikat' oleh tulisan di kompasiana.
Luar Biasa. Bayangkan. Tulisan di kompasiana, tulisan di dunia maya menggetarkan dunia nyata. Kompas, Anggito Abimanyu dan UGM.
Terlepas kemudian Anggito Abimanyu mengundurkan diri dari UGM, Kompas dan UGM tetap kena getahnya. Kompas hingga kini masih menunggu penjelasan resmi dari Anggito Abimanyu dan UGM tetap “memproses' tudingan plagiat dari Anggito Abimanyu.
Begitulah kekuatan dahsyat dari media sosial. Media alternatif setelah “kejemuan” membaca media konvensional yang “tulisan” sudah disunting oleh editor, media alternatif merupakan “senjata” yang mematikan. Senjata yang siap menerkam siapa saja yang bertindak tidak jujur dari pengamatan publik.
Seorang Anggito Abimanyu “mungkin” kurang menghitung kekuatan media sosial. Seharusnya Anggito Abimanyu harus belajar dari kekuatan Fesbukker yang “melindungi” KPK ketika kriminalisasi Bibit Chandra. Kekuatan Fesbukerslah yang kemudian “memaksa” istana mengeluarkan dekrit untuk menyelamatkan KPK, membuat kasus Bibit Chandra kemudian harus “dihentikan” oleh Kejaksaan Agung.
Atau lihatlah bagaimana kekuatan jaringan media sosial yang “memantau” kasus Prita Mulyasari dan kemudian membangun gerakan “seribu koin” sehingga dukungan dari publik mengalir. “konon” duit seribu yang dikumpulkan sudah mencapai 6 ton yang apabila dikalkulasikan mencapai “satu milyar' dan masuk kedalam “Guinness Books of Record”. Bahkan bank yang menerima duit Prita harus “menyediakan waktu selama 2 hari untuk menghitungnya”.