Mencari Raja
Alkisah, di sebuah negeri yang makmur, di negeri yang aman, padi melimpah ruah, Sang Raja hendak “lengser keprabon”. Hendak turun tahta.
Sang Raja “sudah capek” mengurusi negeri. Sang Raja hendak “istirahat” dan “menyepi” dari hiruk pikuk kerajaan.
Namun hati Sang Raja sedang gundah. Putra Mahkotanya yang hendak disiapkan “tidak cakap” dan “kurang bijak” memimpin negeri. Pernah ketahuan “mencuri” duit kas kerajaan. Sang Raja kemudian menyerahkan kepada “dubalang” untuk dihukum.
Sementara Putra sang Raja sendiri “sedang” bertapa dan menuntut ilmu di kerajaan tetangga. Sedang mematangkan ilmu kanuragan.
Di Istana sendiri khasak khusuk “siapa” yang hendak menggantikan sang Raja. Para Panglima, para dubalang, para punggawa saling mengintai “siapa” yang mendapatkan “titah” hendak memimpin negeri. Mereka “saling memamerkan” ilmu kesaktian. “Saling memamerkan” ilmu kanuragan dan “mengaku” yang paling sakti.
Namun dalam rapat di kerajaan “sang panglima”, sang dubalang, sang punggawa “menyerahkan” satu nama kepada Sang Raja. Hati Sang Raja semakin gundah.
Nama yang disodorkan tidak berkenan dihati Sang Raja. Nama yang disodorkan dapat mengancam “kekuasaan” sang Raja.
Sang Raja tidak berdaya. Sang Raja bimbang. Sang Raja masyul karena “usia” sang Raja tidak bisa dibendung.
Mata mulai sembab karena kurang tidur. Pikiran mulai tidak tenang.
Tapi kerajaan harus tetap berdiri. Kerajaan harus dilanjutkan.