Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi Partai Islam?

19 April 2014   21:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:28 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Akhir-akhir ini kita disodori berita berkumpulnya partai-partai Islam (PKB, PAN, PKS dan PPP). Berita ini sekaligus konfirmasi partai-partai Islam yang hendak mengusung calon Presiden sendiri untuk menandingi kepopuleran Jokowi (diusung PDI-P) dan Prabowo (diusung oleh Partai Gerindra).

Pentingnya mengusung koalisi partai Islam selain memang suara yang diraih oleh partai-partai Islam cukup menjanjikan (PKB 9,30%, PAN 7,50%, PPP 6,70% dan PKS 6,90%. Hasil penghitungan suara cepat/Quick count. Data resmi dari KPU diperkirakan tidak jauh berbeda).

Dengan menghitung kekuatan yang bisa diraup sekitar 30 %, memang suara partai Islam diharapkan dapat menyodorkan nama-nama alternative baru diluar Jokowi dan Prabowo.

Tanpa mengurangi semangat untuk mengusung calon sendiri, berbagai peristiwa-peristiwa sebelumnya harus dapat dibaca untuk menangkap suara pemilih. Tanpa melihat catatan sebelumnya, koalisi yang hendak dibangun akan terjadi di lapisan elite. Tidak menyentuh di lapisan bawah.

Untuk menjawab bagaimana persepsi public didalam melihat peta politik (swing vote), berbagai rumusan dari lembaga-lembaga survey dapat menjawab.

Pertama. Dalam kurun sejak tahun 1999, swing vote masih menempatkan partai nasional sebagai pilihan utama. Berbagai lembaga riset sudah menunjukkan. Berkuasanya PDI-P tahun 1999, Partai Golkar 2004 dan Partai Demokrat tahun 2009 menjawabnya.

Bahkan tahun 2009, hanya PKS yang mendominasi suara partai Islam.

Belum lagi pada pemilu-pemilu sebelumnya. Di tahun 1955, justru PNI yang berkuasa dan menang telak di DPR. Kita tidak menghitung Pemilu pada masa orde baru yang sulit menggambarkan kekuatan politik yang riil.

Dengan demikian, maka melihatperjalanan pemilu di Indonesia, maka Pemenang pemiu ditentukan partai yang berkarakter nasionalis.

Kedua. Kemenangan Gusdur menjadi Presiden tahun 1999 (mewakili NU), Amien Rais sebagai ketua MPR (mewakili Muhammadiyah) dan Akbar Tanjung sebagai Ketua DPR-Ri (mewakili kekuatan HMI) merupakan masa emas dari Partai-partai islam. Namun apa daya. Amien Rais justru “sebagai” tokoh melengserkan Gusdur tahun 2001 masih diingat public sebagai peristiwa yang justru memberikan pelajaran. Sesama partai Islam belum bisa mewujudkan demokrasi yang teladan. Bahkan dianggap sebagai “pertengkaran” politik di internal partai islam sendiri.

Ingatan itu tidak mudah lupa. Walaupun Amien Rais sudah banyak memberikan klarifikasi terhadap peristiwa itu, namun public tidka mudah melupakannya.

Para ahli justru menegaskan, momentum terbaik ini gagal digunakan dan sinergis sehingga tidak dapat memanfaatkan momentum terbaik.

Ketiga. Tidak ada tokoh yang dihormati dan sebagai pemersatu partai Islam. Yang ada tokoh di kalangan tertentu. Misalnya Kiai Sahal Mahfudh di kalangan NU atau Kiai Azhar Basyir di kalangan Muhammadiyah.

Masing-masing tokoh mempunyai pengaruh yang cukup kuat di masing-masing kalangan. Namun tidak bisa menjadi tokoh nasional yang menjadi panutan bersama secara nasional.

Berbeda dengan di Iran. Kita mengenal Ayatullah Ruhullah Imam Khomeini yang menjadi panutan di Iran.

Keempat. Belum bersatunya Partai-partai Islam. Belum kompaknya suara PKB dan PAN dapat dilihat dari berbagai pemilu. Terlepas posisi PAN dan PKB yang berada di struktur pemerintahan, namun kejadian melengserkan Gusdur tidak mudah diterima di lapisan bawah kaum nahdiyin.

Apakah mudah Muhaimin Iskandar sebagai “nahkoda” PKB untuk meyakinkan kaum nahdiyyin untuk berkoalisi dengan partai-partai islam lain ?. Terlalu sederhana meminta peran Cak imin yang masih hijau di kalangan nahdiyiin untuk mengerjakan tugas itu.

Belum lagi di faksi NU sendiri yang melihat posisi PKB dalam putaran politik banyak dipengaruhi berbagai tokoh-tokoh diluar structural partai itu sendiri.

Kelima. Sekedargambaran. Apabila telah terbangunnya koalisi, apakah nama yang disodori mampu mengimbangi kepopuleran Jokowi dan Prabowo ? Apakah masih bisa dikejar waktunya untuk mengejar ketertinggalan ?

Rasanya terlalu naïf dalam kurun waktu dalam hitungan 3 bulan ke depan ?. Tapi entahlah. Politik di Indonesia selalu menimbulkan kejutan demi kejuatan yang sering sulit diprediksi. Kita tunggu bagaimana perkembangan selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun