Musri Nauli
Beberapa waktu yang lalu, seorang istri artis terkenal meninggal dunia. Mobil Toyoa Avanza dengan nomor polisi B 1811 UPU yang dikemudikan artis Saiful Jamil (SJ) mengalami kecelakaan di KM 19 Tol Cipularang dan menabrak median jalan. Saat itu mobil yang dikemudikan SJ bersama istrinya Virginia serta penumpang lainnya melaju menuju arah Jakarta. Istri SJ kemudian meninggal dunia.
Peristiwa menyedihkan ini memaksa kita harus bertanya-tanya terhadap keamanan di Jalan Raya.
Terlepas dari hasil penyidikan yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, melihat berbagai pemberitaan di media massa, menimbulkan implikasi serius dalam hukum.
Pengakuan SJ yang menyatakan kecelakaan yang merenggut nyawa istrinya itu disebabkan angin kencang. Saat kejadian, ia mengaku mobil yang dikendarainya seperti didorong angin hingga akhirnya terguling. Saat itu SJ merasa mobilnya seolah didorong angin kencang dan mengakibatkan setir yang dikemudikannya berbelok arah. "Tapi waktu mau saya benerin (posisi setirnya), malah enggak bisa. Tiba-tiba kayak blong, enggak bisa dikendalikan, sampai akhirnya mobil terguling," jelasnya. SJ juga mengatakan kalau kecelakaan yang merengut nyawa isterinya itu merupakan murni kecelakaan tunggal dan bukan tabrakan
Dari pemberitaan dan diskusi di berbagai jejaring sosial, diskusi yang paling hangat menceritakan tentang kendaraan yang digunakan, Tol Purbaleunyi KM 96 + 800 dan kelebihan kapasitas penumpang. Pembahasan mengenai kendaraan Avanza yang digunakan SJ Avanza yang tidak mempunyai spesifikasi pengereman yang baik dibandingkan dengan kendaraan sejenisnya seperti Terios atau Rush. Begitu juga jumlah penumpang yang melebihi kapasitas. Sedangkan Tol Purbaleunyi KM 96 + 800 dimana Kondisi jalanan di sekitar Kilometer itu sedikit menurun dan berbelok yang rawan terjadi kecelakaan (pernyataan Kapolres Purwakarta AKBP Bachtiar Ujung. detikcom, 3/9/2011). Sedangkan mengenai kapasitas penumpang 5 orang kemudian diisi 7 orang menimbulkan persoalan yang serius.
Data-data yang dipaparkan di berbagai media massa dapat memberikan petunjuk awal terhadap kecelakaan dan dilihat kesalahan dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan.
KESENGAJAAN (dolus) DAN KELALAIAN (culpa).
Untuk melihat apakah seseorang dapat dipertanggungjawabkan dimuka persidangan, maka harus ditentukan apakah pelaku tindak pidana melakukan kesalahan dengan sengaja (dolus) atau kelalaian/ Kealpaan (culpa).
Dalam lapangan hukum pidana, unsur kesengajaan atau yang disebut dengan opzet merupakan salah satu unsur yang terpenting. Dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan ini, maka apabila didalam suatu rumusan tindak pidana terdapat perbuatan dengan sengaja atau biasa disebut dengan opzettelijk, maka unsur dengan sengaja ini menguasai atau meliputi semua unsur lain yang ditempatkan dibelakangnya dan harus dibuktikan.
Sengaja berarti juga adanya kehendak yang disadari yang ditujukan untuk melakukan kejahatan tertentu. Maka berkaitan dengan pembuktian bahwa perbuatan yang dilakukannya itu dilakukan dengan sengaja, terkandung pengertian menghendaki dan mengetahui atau biasa disebut dengan willens en wetens. Yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja itu haruslah memenuhi rumusan willens atau haruslah menghendaki apa yang ia perbuat dan memenuhi unsur wettens atau haruslah mengetahui akibat dari apa yang ia perbuat.
Disini dikaitkan dengan teori kehendak yang dirumuskan oleh Von Hippel maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksudkan dengan sengaja adalah kehendak membuat suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan suatu akibat dari perbuatan itu atau akibat dari perbuatannya itu yang menjadi maksud dari dilakukannya perbuatan itu.
Jika unsur kehendak atau menghendaki dan mengetahui dalam kaitannya dengan unsur kesengajaan tidak dapat dibuktikan dengan jelas secara materiil -karena memang maksud dan kehendak seseorang itu sulit untuk dibuktikan secara materiil- maka pembuktian adanya unsur kesengajaan dalam pelaku melakukan tindakan melanggar hukum sehingga perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepada si pelaku seringkali hanya dikaitkan dengan keadaan serta tindakan si pelaku pada waktu ia melakukan perbuatan melanggar hukum yang dituduhkan kepadanya tersebut.
Menggunakan pendekatan teori yang dimaksud, maka harus dilihat, apakah SJ yang sudah merasakan ada “ketidakberesan” kendaraan yang digunakan sudah dapat “memperkirakan” bahaya yang terjadi. Dengan menggunakan teori “kesengajaan”, maka SJ harus dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Baik karena kesengajaan “mengetahui” akan terjadi “bahaya” maupun kesengajaan akan “diketahui” terjadinya bahaya menggunakan kendaraan yang dimaksudkan.
Selain itu juga menggunakan kendaraan yang melebihi kapasitas penumpang dapat memenuhi teori kesengajaan “patut diketahui” terjadinya bahaya. Belum lagi menggunakan kendaraan yang dipacu diatas rata-rata dengan kapasitas melebihi penumpang yang dengan dapat diketahui, terbukti, adanya unsur “kesengajaan” yang “patut diketahui” menimbulkan bahaya oleh SJ. Dengan menggunakan pendekatan ini, maka sudah jelas dan mudah pembuktian bagi kepolisian akan membuktikannya.
Dengan demikian, meninggalnya istri SJ dilihat dari teori “kesengajaan”, SJ dapat dipersalahkan dan dipertanggungjawabkan dimuka hukum.
Tentu saja, kita tidak bisa menggunakan teori ini secara mutlak. Harus juga pembuktian terhadap teoriKelalaian (culpa).
Disamping unsur kesengajaan diatas ada pula yang disebut sebagai unsur kelalaian atau kelapaan atau culpa yang dalam doktrin hukum pidana disebut sebagai kealpaan yang tidak disadari atau onbewuste schuld dan kealpaan disadari atau bewuste schuld. Dimana dalam unsur ini faktor terpentingnya adalah pelaku dapat menduga terjadinya akibat dari perbuatannya itu atau pelaku kurang berhati-hati.
Wilayah culpa ini terletak diantara sengaja dan kebetulan. Kelalaian ini dapat didefinisikan sebagai apabila seseorang melakukan sesuatu perbuatan dan perbuatan itu menimbulkan suatu akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, maka walaupun perbuatan itu tidak dilakukan dengan sengaja namun pelaku dapat berbuat secara lain sehingga tidak menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-undang, atau pelaku dapat tidak melakukan perbuatan itu sama sekali.
Dalam culpa atau kelalaian ini, unsur terpentingnya adalah pelaku mempunyai kesadaran atau pengetahuan yang mana pelaku seharusnya dapat membayangkan akan adanya akibat yang ditimbulkan dari perbuatannya, atau dengan kata lain bahwa pelaku dapat menduga bahwa akibat dari perbuatannya itu akan menimbulkan suatu akibat yang dapat dihukum dan dilarang oleh undang-undang.
Maka dari uraian tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa jika ada hubungan antara batin pelaku dengan akibat yang timbul karena perbuatannya itu atau ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan pelaku dengan akibat yang dilarang itu, maka hukuman pidana dapat dijatuhkan kepada si pelaku atas perbuatan pidananya itu.
Di bidang pidana juga ditemukan pasal-pasal yang menyangkut kelalaian. Pasal 359 KUHP : Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lainmati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Sedangkan Pasal 360 KUHP (1) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun. (2) Barangsiapa karena kesalahannya (kelalaiannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana denda paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah.
Dari pembuktian inilah, Pihak berwenang akan menggunakan apakah SJ dapat dipersalahkan karena kesengajaan atau kelalaian terhadap kecelakaan yang terjadi.
Namun yang tidak boleh dilupakan, terlepas apakah SJ dapat dipersalahkan, penyewaan mobil (rental mobil) juga harus dibuktikan. Apakah spesifikasi terhadap mobil yang disewa mempunyai standar yang ditentukan untuk laik kendaraan. Baik pengereman, suspensi, keamanan standar ataupun perangkat keamanan untuk kendaraan yang disewakan. Dari pernyataan SJ, yang sudah merasa tidak baik ketika awal mengendarainya dapat mengindikasikan penyewaan mobil tidak dapat lepas dari pertanggungjawaban pidana dan membuktikan kesalahan dari penyewaan mobil.
KESALAHAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
Berkaitan dalam asas hukum pidana yaitu Geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sir rea, bahwa tidak dipidana jika tidak adakesalahan, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yangdimaksud pertanggungjawaban tindak pidana.
Setelah kita sedikit menguraikan tentang Kesengajaan dan kelalaian, tinggal kita menentukan siapa yang harus dipertanggungjawabkan dimuka hukum. Selain daripada data-data yang telah dipaparkan apakah SJ dapat dipertanggungjawabkan dimuka hukum, penyewaan mobil yang adanya unsur ”kelalaian” menyewakan kendaraan yang kurang laik jalan, pihak pengelola jalan tol juga harus diminta pertangungjawabkan. UU No. 22 Tahun 2009 telah memberikan tanggungjawab kepada pengelola jalan untuk bertanggungjawab. Pasal 273 bisa memberikan pelajaran pada pihak terkait agar memperhatikan hak-hak korban pengguna jalan yang menjadi korban akibat buruknya infrastruktur. Tol Purbaleunyi KM 96 + 800 dimana Kondisi jalanan di sekitar Kilometer itu sedikit menurun dan berbelok yang rawan terjadi kecelakaan merupakan tanggung jawab dari pengelola dan SJ dapat menggunakan mekanisme gugatan perdata meminta pertanggungjawaban dari pengelola jalan tol. Pasal 273 UU No. 22 Tahun 2009 membuka ruang untuk itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H