Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Catatan Kecil untuk Tim Independent

27 Januari 2015   05:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diibaratkan lakon wayang, goro-goro sudah dimulai. Lakon masih misteri disimpan sang dalang. Dengan menggunakan berbagai pasukan, goro-goro kemudian “menyita” perhatian public. Entah sambil ngomel terhadap “lambatnya” Jokowi terhadap peristiwa ini ataupun kegeraman terhadap “Cepatnya” pengungkapan kasus terhadap BW dan kemudian disusul ditangkap terhadap BW di tengah jalan, membuat sebagian mulai “meragukan” professional Bareskrim mengungkapkan kasus.

Keraguan itu berdasar. Pengalaman empiric yang terekam di memori public, praktis - laporan terjadinya tindak pidana memerlukan waktu yang cukup lama pengungkapannya.

Dalam tahap penyelidikan, penyidik memerlukan “bukti permulaan yang cukup untuk meningkatkan ke tahap penyidikan. Dilakukan gelar perkara, dicroscek antara satu kesaksian dengan lain, menghubungkan antara saksi dengan barang bukti sehingga menimbulkan keyakinan kepada penyidik telah terjadinya tindak pidana.

Selain itu Insting penyidiklah yang cukup membantu mempercepat pengungkapan kasus.

Betul. Ada perkara yang cepat diungkapkan. Penulis pernah bertemu menyidik yang mengungkapkan kasus pembunuhan yang cukup heboh di Jambi hanya memerlukan waktu “8 jam”. Insting penyidik meyakini setelah melihat TKP, melihat kerumuman orang yang melihat mayat di tepi sungai Batanghari, memeriksa korban, melihat motif dan melihat luka si korban.

Kejelian penyidik membuktikan sebuah teori kriminologi “setiap kejahatan pasti meninggalkan jejak”. Kemampuan penyidik membaca jejak dibutuhkan selain jam terbang penyidik, juga insting yang terasah, informasi di tempat perkara hingga berbagai pengolahan data sehingga menjadi informasi yang berguna.

Tentu saja selain dipelajari didalam teknik penyidikan, “ketenangan” membaca jejak dan “tidak ada intervensi” terhadap perkara membuat perkara cepat diungkapkan.

Sehingga prestasi polisi dalam mengungkapkan kasus pembunuhan praktis selalu bisa diungkapkan.

Sekarang mari kita lihat apakah kemampuan penyidik didalam mengungkapkan kasus terhadap BW (komisioner KPK) memang “handal” ?

Pertanyaan mengganggu. Apakah kasus ini sudah pernah disidik ?

Menurut mantan Wakapolri, Ogroeseno, kasus ini pernah dilaporkan dan kemudian dicabut.Membuat laporan, mencabut dan kemudian memproses lagi merupakan acrobat yang “kehilangan” legitime yang sulit diterima dalam proses pembuktian.

Lha, ini khan main-main. Masak laporan yang telah dicabut kemudian diproses lagi ? Apakah Bareskrim “mau dipermainkan seperti itu ?’.

Bahkan dengan tegas, dia berujar, Harusnya kan dikumpulkan dulu fakta-fakta di lapangan. Polisi itu tugasnya membuat terang suatu perkara. Bukan mengumpulkan barang bukti, kalau kumpulkan barang bukti kan namanya pemulung barang bukti. Enggak boleh

Dari titik ini saja, merupakan amunisi yang akan berbalik kepada Bareskrim Polri.

Lalu siapa yang melaporkan perkara ini ?

Ya. Sugianto. Seorang legislator yang terpilih dari Dapil Kalimantan Tengah dengan perolehan suara mencapai 41.337 suara (35,8%).

Nama Sugianto menjadi populer saat terjadi kasus penyiksaan investigator lingkungan hidup Faith Doherty dari Environmental Investigation Agency, London dan Ruwidrijanto, anggota lembaga swadaya masyarakat Telapak Indonesia. Sugianto juga dituding menyiksa Abi Kusno Nachran, wartawan tabloid Lintas Khatulistiwa. Abi ternyata masih kakek Sugianto.

Penyiksaan yang diterima Faith Doherty waktu itu cukup kejam. Empat jari tangan kirinya terpotong, menyisakan hanya jempol. Sedangkan Abi Kusno Nachran, jari di tangan kanannya utuh, tapi sekujur lengannya menyimpan bekas luka. Abi menyebut dua nama yang bertanggung jawab atas kekerasan itu: Sugianto dan Abdul Rasyid.

Tahun 2010, Sugianto kemudian mencalonkan diri sebagai Calon Bupati Kotawaringin Barat. Pilkada ini hanya diikuti dua pasangan calon Sugianto Sabran-Eko Soemarno dan Ujang Iskandar-Bambang Purwanto. Berdasarkan hasil penghitungan suara yang dilakukan KPUD Kotawaringin Barat, Sugianto-Eko memenangkan Pilkada dengan meraih 67.199 suara.

Ujang Iskandar-Bambang Purwanto kemudian menggugat di MK dengan didampingi Bambang Widjojanto. MK kemudian membatalkan Sugianto-Eko.

Sugianto-Eko tidak puas dan “mempersoalkan keterangan saksi” yang dianggap palsu. Sugianto kemudian melaporkan kasus pemberian keterangan palsu itu ke Bareskrim pada 2010 lalu. Hasilnya, Ratna divonis lima bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sekarang marilah diskusikan mengenai kapasitas saksi.

Melihat pemberitaan di berbagai media, simpang siur laporan dari pelapor, ok, kita tetapkan tanggal 19 Januari 2015. Apakah ketika waktu datang, saksi pelapor langsung membawa saksi ? Biasanya, saksi pelapor belum membawa saksi. Dan itu lumrah.

Apakah saksi pelapor mempunyai kapasitas saksi sebagai saksi pelapor ?. Padahal didalam KUHAP, saksi adalah orang yang mendengar, mengetahui dan melihat langsung terjadinya tindak pidana ?

Apakah saksi pelapor telah memenuhi kriteria sebagai saksi pelapor.

Selain itu juga, didalam KUHAP juga dijelaskan, saksi yang diminta keterangan juga dilihat kehidupannya, pergaulan sosialnya, track record (saya sengaja menterjemahkan secara sederhana). Data ini penting untuk melihat relevansi dan kepentingan dari saksi pelapor terhadap peristiwa ini.

Apabila saksi pelapor diragukan keterangannnya, maka saksi pelapor dapat disebutkan sebagai Saksi palsu (false witness). Saksi palsu berbahaya selain karena bukan semata-mata karena kesalahan memberikan keterangan (yang dilihat dan didengar), melainkan yang lebih fundamental adalah kebohongan di dalam hatinya (a lie in the heart of the witness). Dengan kata lain, sebuah kesaksian yang palsu bukan hanya masalah ketepatan representasi pengalaman melainkan masalah hati yang disebut Riceour sebagai the evil intention yang berakibat fatal dalam mengupayakan keadilan.

Dari titik ini saja, Bareskrim terlalu teledor untuk melanjutkan pemeriksaan ini.

Terus. Apakah kemudian keesokan harinya saksi pelapor kemudian membawa saksi-saksi ? Itu baru saksi.

Dalam keterangan pers, Mabes Polri mengklaim telah menghadirkan alat bukti seperti saksi, saksi ahli dan surat.

Nah. Apakah tanggal 19 Januari 2015 saksi pelapor telah membawa saksi ahli. Siapa saksi ahli yang mau bersama-sama dengan saksi pelapor memberikan keterangan tanggal 19 Januari.

Apabila tanggal 19 Januari 2015, saksi pelapor belum membawa saksi ahli, maka dibutuhkan proses administrasi pemanggilan saksi ahli paling cepat 3 hari sebagaimana diatur didalam KUHAP.

Artinya. tanggal 20 Januari, barulah surat panggilan terhadap saksi ahli. Dan sesuai dengan KUHAP, maka saksi ahli diberikan waktu 3 hari untuk datang memberikan keterangan.

Terus. Tanggal 23, barulah datang saksi ahli memberikan keterangan. Maka tim penyidik harus gelar perkara di internal kepolisian.

Padahal kita sudah tahu, tanggal 23 Januari, pagi hari sudah dilakukan penangkapan terhadap BW.

Misteri inilah yang membuat saya bingung untuk melihat “cepatnya” Bareskrim mengungkapkan kasus ini

Sehingga tidak salah, tokoh selevel mantan Wakapolri, dengan keras menyindir “Makanya sekarang kalau dicabut dan dilaporkan kembali kan akrobat. Harusnya kan dikumpulkan dulu fakta-fakta di lapangan. Polisi itu tugasnya membuat terang suatu perkara. Bukan mengumpulkan barang bukti, kalau kumpulkan barang bukti kan namanya pemulung barang bukti. Enggak boleh

Tidak tahu Wakapolri

Peristiwa yang menarik,ketika Wakapolri tidak mengetahui tentang penangkapan. Berbagai berita headline mengabarkan Johan Budi yang sudah menghubungi Wakapolri tentang penangkapan BW, namun Wakapolri sama sekali tidak mengetahui tentang penangkapan BW.

Saya percaya kepada pernyataan dari Wakapolri yang sama sekali tidak mengetahui tentang penangkapan BW. Artinya memang ada “operasi liar’ diluar koordinasi Wakapolri.

Ini sangat berbahaya dan justru menimbulkan trauma tentang “penculikan” sampai selevel komisioner KPK. Cara-cara ini mengingatkan kelakuan orde baru yang menjalankan operasi diluar kendali pemimpin tertinggi.

Begitu berbahayakah BW sehingga dilakukan penangkapan. Padahal berbagai Peraturan Kapolri sudah mengatur tentang tatacara penangkapan yang berdampak kepada kondisi social yang akan menurunkan martabat dan kewibawaan Polri.

Berbagai catatan ini sengaja memaparkan fakta-fakta bagaimana operasi rekayasa terhadap BW sudah kasat mata. Tim Independent yang dibentuk Jokowi dapat menguraikan dan memberikan pandangan sehingga “tuduhan” serius terhadap rekayasa terhadap BW dapat diungkapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun