Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Cara Membaca Kasus Dahlan Iskan

12 Juni 2015   10:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:05 1740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

 

Publik jagat politik gempar. Dahlan Iskan (DI) ditetapkan tersangka atas kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk PT PLN di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara tahun 2011-2013 senilai Rp 1,06 triliun. Ada semacam “penolakan” dari publik atas penetapan tersangka. Selain (DI) dikenal “bersih”, Dahlan Iskan sudah dikenal sebagai pebisnis tangguh. Dengan memiliki kelompok media terbesar, Jawa Post Group, majalah Globe Asia menempatkan DI sebagai orang ke 93 terkaya di Indonesia. Kekayaan DI ditaksir mencapai US$370 juta. Tokoh selevel Rhenaldi Kasali menyindir penetapan tersangka DI dan menuangkan didalam opini “Dahlan dan SOP”.

 

Keengganan” publik terhadap penetapan tersangka berangkat dari asumsi “DI dikenal bersih”. Dengan dikenal “bersih” maka DI tidak mungkin melakukan korupsi. Selain itu juga DI juga sudah memiliki kekayaan US$ 370 juta sehingga tidak perlu melakukan korupsi.

 

Penetapan tersangka DI memang memiliki daya ledak (magnitudo) yang luar biasa. Dengan memiliki Jawa Post Group yang menguasai media terbesar di Indonesia, memiliki implikasi cukup serius. DI memiliki jaringan di kalangan wartawan dan dikenal dekat dengan berbagai wartawan Jawa Post. Dengan kesederhanaannya, DI telah dipatri hati wartawan-wartawan Jawa Post.

 

Namun penetapan DI kemudian disikapi dengan rasa emosional yang dalam. Ada rasa haru, tidak percaya, marah ataupun rasa ketidakpercayaan kepada proses penyidikan di Kejati Jakarta. Sehingga ketika membaca kasus DI, obyektifitas sulit ditemukan.

 

Untuk menjawab persoalan ini maka asumsi membaca kasus DI harus diletakkan pada konteks hukum pidana. Terutama penegakkan hukum (law enforcement) sehingga tidak bias dan jauh dari melihat kasus ini secara utuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun