Saya kemudian membaca sumpah serapah dan kemudian mengaitkan dengan pernyataan yang memilukan.
Pernyataan seperti "Sia yang bilang idak perlu infrastruktur. Sia yang bilang idak makan semen. Paja Kalera" (Siapa yang bilang tidak perlu infrastruktur. Siapa yang bilang tidak makan semen. Nah. Kalo terjemahan "Paja Kalera', saya lebih suka menyebutkan, sumpah serapah terhadap orang yang keras kepala dan tidak mau diatur)Â
Terlepas dari urusan politik dimana Jokowi hanya meraih 30% suara di Sumbar, perbaikan jalur dan mengembalikan keadaan semula merupakan tanggungjawab negara. Jokowi tidak pernah melihat kepentingan dari suara yang diraihnya.
Tanggungjawab sebagai Kepala Pemerintahan yang tidak ingin rakyatnya menderita harus dikedepankan tanpa harus melihat dukungan suara politiknya.
Cara ini juga dilakukan untuk infrastruktur di Papua, datang ke NTB dan Sulteng hingga mengurusi daerah-darah terpencil.
Bukankah Jokowi datang ketika bencana di NTB dan Sulteng sebagai "Bapak" yang paling merasakan "kehilangan rumah", "keluarga yang tidur ditenda-tenda", bahkan kehilangan handai tolan ?
Dalam mengurusi "urusan" infrastruktur, "kesinambungan" antara pulau mutlak diperlukan. Sebagai Kepala Negara, Jokowi tidak perlu mengaitkan dengan kepentingna politik.
Itu cara yang masih terekam jelas gaya orde baru.
Bukankah kita masih ingat di memori ketika suara yang tidak mendukung orde baru kemudian jalannya tidak diurus ?.
Apakah kita mau mengulangi cara orde baru sementara kita mengutuk cara-cara orde baru.
Maka. Marilah kita beri dukungan, kita ingatkan kepada Jokowi. Agar mengurusi kewajibannya sebagai Kepala Pemerintahan. Memberikan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia.