Tapi entah memang “hanya trendy”, acara berbuka puasa seringkali “lebih diutamakan” dari makna ibadah ramadhan. Dari yang saya lihat, acara berbuka puasa kemudian begitu larut hingga sholat magrib kemudian dilewati.
Padahal saya lihat sendiri, “keasyikan” silaturahmi berbuka puasanya, tempat sholat sering kali sepi. Bahkan “entah” dengan berpakaian agamis, sholat magrib sendiri tidka menjadi perhatian. Hmm. Entahlah.
Memasuki minggu ketiga, konsentrasi mulai bergeser. Jemaah masjid kemudian “tinggal” yang itu-itu saja orangnya.
Mall mulai penuh. Toko pakaian mulai sesak. Minuman kaleng mulai digotong pulang. Ibu-ibu mulai membuat kue. Agenda pulang mudik mulai disusun.
Mulai minggu keempat. Kendaraan pemudik mulai berseliweran. Yang mampu “memesan pesawat” jauh-jauh hari. Yang naik bis sudah mulai berdesakan. Yang bawa mobil, mulai mempersiapkan mobilnya. Lengkap dengan perabotan yang bisa dibawa pulang. Entah “oleh-oleh” untuk orang kampong atau sekedar cinderamata “sebagai tanda” sukses di rantau orang.
Ya. Ramadhan “telah membersihkan” hati setelah selama 11 bulan bergelut dengan “aneka ragam” persoalan yang belum tuntas diselesaikan.
Ramadhan telah menjadi ritual agenda kebudayaan sebagai masyarakat majemuk dalam proses menata diri.
Namun yang pasti, keteladanan ramadhan harus berbekas. Menjadi insan yang sabar, tawaddhu dan tentu saja makhluk yang bisa bersyukur.
Kita sedang menghadapi “proses” penyucian hati. Dan Tuhan telah memberikan waktu untuk fasilitasnya.
Maka. Setiap tahun, perbaikan insan kamil terus ditumbuhkan. Menjadi penyabar, tabayyun, peduli kepada sesama dan tidak lupa memaknai arti “solidaritas” terhadap kesengsaraan atas kelaparan.
Agar jejak ramadhan tidak tenggelam dalam hiruk pikuk dunia.
Agar hidup tidak sia-sia menghabiskan waktu tanpa makna.