Mohon tunggu...
Musri Nauli
Musri Nauli Mohon Tunggu... Administrasi - Media Ekspresi untuk melihat problema hukum, gejala-gejala sosial dan alam kosmologi Rakyat Indonesia

Saya mencatat peristiwa disekitar saya yang sering diperlakukan tidak adil. Dari kegelisahan saya, saya bisa bersuara. Saya yakin, apa yang bisa saya sampaikan, akan bermakna suatu hari nanti.\r\nLihat kegelisahan saya www.musri-nauli.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Issu “Anggie” dari Sudut Hukum Pidana

2 Maret 2012   01:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:39 753
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum selesai kita melihat persidangan M. Nazaruddin (nas), kita seakan-akan “geram” melihat persidangan yang menghadirkan saksi Angelia Sondakh (Anggie). Kita “geram” disadari keterangan yang diberikan anggie jauh dari alam sadar dan rasionalitas terhadap keterangan yang diberikan. Terlepas dari rasa ”geram” terhadap keterangna yang telah diberikan Anggie, namun dari sudut pandang hukum acara Pidana terhadap keterangan Anggie menimbulkan persoalan yang cukup serius.

Didalam KUHAP, sudah ditentukan, Yang dimaksudkan dengan keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan di muka persidangan. Harus diperhatikan apakah keterangan tersebut sama dengan keterangan yang diberikan di muka pejabat yang berwenang. Apakah keterangan yang diberikan dihadapan Penyidik maupun keterangan di hadapan Jaksa Penuntut Umum. Keterangan tersebut dibuat dalam berita acara pemeriksaan (BAP). Apabila saksi yang telah memberikan keterangan tersebut mencabut keterangannya, maka haruslah mempunyai alasan yang cukup untuk mencabut keterangan itu. Sedangkan keterangan yang diberikan di muka persidangan itulah yang menjadi alat bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal 184 KUHAP. Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan benar-benar mengalami, melihat dan mendengar sendiri. Keterangan itu adalah keterangan yang menjelaskan tentang peristiwa pidana. Baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan keterangan saksi. Sedangkan Keterangan yang didapat dari orang lain tidak dapat menjadi alat bukti yang sah (Testimonium de audito.lihat penjelasan pasal 185 KUHAP).

Namun berdasarkan ketentuan pasal 168 ayat (1) huruf a KUHAP, “keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”, memberikan tafsiran bahwa seseorang dalam suatu penyertaan tindak pidana untuk mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini disebabkan karena saksi mahkota (kroon getuide) adalah kesaksian seorang yang sama-sama menjadi terdakwa. Dengan kata lain saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana.

Pada dasarnya secara prinsip KUHAP menyatakan dalam Pasal 66 bahwa Tersangka atau Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian. Menurut Pasal 189 ayat (2) KUHAP, keterangan terdakwa hanya dapat digunakan untuk dirinya sendiri, disamping itu terdakwa juga memiliki hak ingkar berdasarkan Pasal 175 KUHAP. Menurut Pasal 168 huruf (c) KUHAP: tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, bunyi pasal tersebut dapat ditafsirkan bahwa yang bersama-sama sebagai terdakwa mengundurkan diri sebagai saksi. Oleh karena itu bahwa kehadiran dan/atau penggunaan saksi mahkota ini dilarang oleh KUHAP dan Yurisprudensi MA. (Lihat Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung MARI, No. 1950 K/Pid/1995, tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1952 K/Pid/1994, tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 1706 K/Pid/1994,Yurisprudensi Mahkamah Agung No 381 K/Pid/1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung No 429 K/Pid/1995).

Yurisprudensi MA tersebut sangat menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia sudah seyogianya diikuti oleh hakim-hakim lain, sebagaimana komentar Ali Budiarto terhadap Yurisprudensi MA tersebut : ”Putusan Mahkamah Agung dalam kasus kematian Gadis tokoh buruh Marsinah ini merupakan terobosan baru yang menciptakan yurisprudensi yang berbobot dan bernilai mengenai status hukum ”Saksi Mahkota” yang selama puluhan tahun dijalankan dan diterima oleh para hakim sebagai sesuatu yang benar. Dengan adanya yurisprudensi baru ini, maka adanya ”Saksi Mahkota” adalah bertentangan dengan Hukum Acara Pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Hakim seharusnya menolak saksi mahkota”( Varia Peradilan No 120, September 1995).

Secara normatif penggunaan saksi mahkota merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip peradilan yang adil dan tidak memihak (fair trial) dan juga merupakan pelanggaran kaidah HAM secara universal sebagaimana yang diatur dalam KUHAP itu sendiri, khususnya hak ingkar yang dimiliki terdakwa terdakwa dan hak terdakwa untuk tidak dibebankan kewajiban pembuktian (vide pasal 66 KUHAP), di samping itu juga penggunaan ’saksi mahkota’ oleh Penuntut Umum selama ini jelas melanggar instrumen hak asasi manusia secara internasional (International Covenant on Civil and Political Right )

Seringkali keterangan terdakwa dalam kapasitasnya sebagai saksi mahkota yang terikat oleh sumpah digunakan sebagai dasar alasan untuk membuktikan kesalahan terdakwa dalam perkaranya sendiri apabila terdakwa berbohong. Hal ini tentunya bertentangan dan melanggar asas non self incrimination. Dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR dijelaskan sebagai berikut :“In the determination of any criminal charge against him, everyone shall be entitled to the following minimum guarantes, in full equality : (g). Not to be compelled to testify against himself or to confess guilty.”

Pada dasarnya, ketentuan Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR tersebut bertujuan untuk melarang paksaan dalam bentuk apapun . Selain itu, diamnya tersangka atau terdakwa tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menyatakan kesalahannya.

Namun berdasarkan ketentuan pasal 168 ayat (1) huruf a KUHAP, “keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa”, memberikan tafsiran bahwa seseorang dalam suatu penyertaan tindak pidana untuk mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini disebabkakarena saksi mahkota adalah kesaksian seorang yang sama-sama menjadi terdakwa. Dengan kata lain saksi mahkota terjadi apabila terdapat beberapa orang terdakwa dalam suatu peristiwa tindak pidana. Seseorang tersebut yang telah menjadi terdakwa kemudian akan menjadi saksi terhadap terdakwa lain. Begitu pula sebaliknya.

Padahal apabila dipandang dari Hak Asasi Manusia, memberikan keterangan sebagai saksi bagi terdakwa lain dalam perkara yang sama dan keterangan itu dapat digunakan sebagai hal yang memberatkan dirinya. Dengan perkataan lain sama halnya dengan cara mendapatkan suatu pengakuan dengan jalan kekerasan. Dengan demikian saksi mahkota tidak dapat didengar sebagai suatu kesaksian. (Loebby Loqman, Lobby Loeqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta, UPT Penerbitan Universitas Tarumanegara,1995, Hal. 83)

Dengan perkataan lain, saksi mahkota tidak dapat didengar sebagai suatu kesaksian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun