Lebaran tahun ini merupakan salah satu lebaran yang paling kontroversial. Terlepas dari perdebatan tentang penggunaan Rukyat dan Hisab didalam penentuan 1 Syawal, penentuan apakah masih Tarawih atau takbiran justru terlambat direspon Pemerintah. ”keterlambatan” ini lebih dimaknai sebagai Pemerintahan yang peragu dan cenderung tidak bisa bertindak cepat dan memberikan kepastian informasi. Padahal penentuan yang disampaikan Pemerintah dapat menjadikan berbagai agenda menyambut Idul Fitri berlangsung dengan baik. Baik pelaksaaan Sholat Idul Fitri, pembayaran Zakat fitrah dan berbagai ibadah lainnya. Termasuk juga berbagai kesiapan ”rumah tangga” yang tidak dapat dipisahkan dari suasana idul Fitri.
Banyak diskusi menarik yang berkaitan dengan penentuan 1 Syawal. Penggunaan metode Rukyat dan Hisab yang menjadikan berbagai organisasi keagamaan memaparkan metodenya. Dari ranah ini, penulis tidak ikut membicarakannya. Selain karena sudah menjadi ranah agama dan kaum ulama, ilmu astromoni juga turut membantu dan menerangkan gejala-gejala alam untuk menentukan berbagai hal ikhwal yang berkaitan dengan hari-hari penting kehidupan.
Dalam pengamatan terhadap Idul Fitri, makna fitri sudah bergeser. Dalam kajian ilmu sosiologi, arus mudik merupakan peristiwa penting dalam masyarakat agraris di Indonesia. Mudik dipresentasikan sebagai ritual ibadah dalam refleksi diri. Mudik diwujudkan sebagai identitas masyarakat yang masih mengagungkan nilai-nilai lokal didalam menghadapi pusaran zaman. Mudik merupakan kesempatan ”bersilahturahmi” dan tradisi bersinggunggan dengan budaya. Dengan tradisi mudik, masyarakat menjadi berarti dan menemukan jati diri sebagai insan manusia yang rendah hati.
Namun dalam perkembangan, Idul Fitri dan mudik menjadi konsumsi ”kapitalisme” dan jauh dari makna hakiki. Pengumpulan dana untuk dan menjelang Idul fitri menjadi waktu untuk berfoya-foya (baca tertangkapnya pejabat Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).Belum lagi, pembelian aneka ragam yang berkaitan dengan Idul Fitri sudah melebihi budget rumah tangga yang cenderung gila-gilaan.
Sebutlah namanya Tini. Seorang Ibu rumah tangga biasa. Tini mempunyai 2 orang putra dan 2 orang putra. Yang paling besar sudah tamat SMA Negeri. Tidak melanjutkan kuliah. Yang kedua dan ketiga di SMP. Sedangkan yang kecil masih SD. Tini sehari-hari berjualan gado-gado di dekat rumahnya. Menumpang di rumah kenalannya. Sebuah perumahan elite di Telanaipura Jambi. Rumah yang kosong karena pemiliknya bekerja dan tinggal di luar kota Jambi.
Untuk menghadapi lebaran, Tini berjualan gado-gado di pasar bedug. Sebuah pusat jajanan Ramadhan perkotaan Sipin Jambi. Hasil yang didapatkan cukup lumayan untuk menghadapi Idul Fitri.
Namun, Tini tidak mau menghabiskan hasil gado-gado untuk Idul Fitri. Untuk Baju anak-anak, baju yang masih bagus dikeluarkan dari lemari. Disetrika dan diberi pengharum. Sedangkan kue-kue didapatkan dari hasil pembuatan kue yang dipesankan dari kenalan. Tini tidak larut. Tini tidak mau ikut antri pembagian duit Rp. 20.000,- di dekat rumahnya. Bagi Tini, selama Tuhan memberi rejeki dan masih mampu mendapatkan rejeki, Tini tidak berhak mendapatkan duit Rp. 20.000,-.
Kesederhanaan hidup, makna Fitri yang hakiki merupakan pelajaran penting yang diteladani oleh Tini. Tidak perlu orasi panjang, open house, pamer kekayaan dan segala pernik yang justru mengaburkan Idul Fitri itu sendiri.
Dari gejala ini sebenarnya kembali kita bertanya, makna relevansi Idul Fitri dan arus mudik hakiki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H