Dunia politik heboh dengan ditunjuknya Susi Puji Astuti (Susi) sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Sebagian publik memberikan apresiasi dengan mengakui “kegigihan” membangun usaha dari nol. Perusahaan PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan hampir 50 pesawat propeler jenis Cessna Grand Caravan dan Avanti. Dari dua perusahaan itu, Susi bisa menghidupi ribuan karyawan. Susi juga dikenal sebagai Wanita pertama dengan pesawat Cessna berhasil menembus Meulabouh pasca Tsunami di Aceh.
Namun sebagian lain apriori dengan gaya “nyentrik” dan “cueknya'. Usai disebutkan namanya oleh Jokowi dalam sesi perkenalan Menteri, dia cuek mengambil rokok meminta awak media untuk sejenak “menghentikan” wawancaranya dan memberikan kesempatan untuk “merokok”. Dirinya juga memiliki tato. Dua hal itu masih dianggap tak lazim di Indonesia, apalagi bila dilakoni perempuan.
Sikap apriori dilihat dengan gaya urakan. Susi melawan mainseat perempuan Indonesia yang digambarkan “bersikap sopan”, “kemayu, menjaga citra, pakai sanggul, klimis dan ayu. Susi melawan mainseat.
Sikap ini kemudian mencibir dan kemudian menghujat. Tentu saja juga dilihat latar belakang kehidupan perkawinan dan pendidikan yang cuma tamat SMP (kelas 3 SMA drop out).
Dunia heboh. Sebagian mengagumi kiprahnya. Sebagian lagi menghujat.
Namun yang menarik perhatian saya, bukan hujatan ataupun pujian terhadap Susi. Tapi sindiran kelas menengah di Indonesia yang menghujat pendidikan Susi yang cuma tamat SMP. Kelas menengah Indonesia “menggunakan ukuran” kelas elite. Titel berjubel, pakaian yang sopan, gaya yang parlente.
Saya tersentak. Bagaimana mungkin sikap kelas menengah di Indonesia yang “menghujat” habis-habisan “seakan-akan” Susi tidak pantas menduduki Menteri. Menggunakan ukuran nilai dari menara gading.
Pendidikan membebaskan
Hampir setiap tahun, Indonesia menghasilkan ratusan ribu sarjana. Namun harus diakui pendidikan di Indonesia kemudian “hanya” berhasil mencetak tukang. Hanya menjadikan kaum terdidik sebagai teknorat semata.
Hampir praktis, sedikit sekali yang mau menoleh kepada Paulo Freire, pendidik multikultural yang mengabdikan dirinya kepada pendidikan yang memihak kepada penindas.
Pesannya jelas. Pendidikan selalu merupakan tindakan politis. Padahal pendidikan harus menegaskan pertanyaan seperti “apa ? Mengapa ? Bagaimana ? Untuk tujuan apa ? Bagi siapa ?. Pertanyaan itu sering disampaikan dalam diskusi-diskusinya.