Pembicaraan hangat tentang kepeningkatan generasi millenial dalam kancah dunia perpolitikan tanah air, menjadi bukti dimulainya kembali proses pengembalian tongkat estafet akan lahirnya para pemuda pejuang keadilan, pemikir kritis, pembela hak rakyat, pencipta program-program pemajuan masyarakat yang berprioritas pada masyarakat perekonomian menengah kebawah.
Jiwa kepedulian tersebut muncul atas faktor-faktor pendukung diantaranya, (1) mereka sadar dampak yang mereka lakukan sekarang akan semakin mendukung keberhasilan program-program yang diterapkan pemerintah beberapa tahun mendatang, (2) jiwa pemikir yang berlandaskan ideologi pancasila menjadi cerminan dasar dari keberhasilan yang mulai ditargetkan pada masa sekarang ini, (3) sifat acuh tak acuh akan ocehan para pengkritik menjadi nilai lebih pembangkit semangat jiwa pejuang dalam ranah politik tersebut.
Bertanya soal seberapa besar peluang generasi milenial untuk dapat bertarung dalam dunia politik saat ini, muncul berbagai polemik yang menyebar luas di dunia maya akan kecilnya peluang keberhasilan mereka dalam menaungi perpolitikan, melihat daya saing yang cukup besar kemungkinannya memperkeruh suasana politik tanah air.Â
Oleh karena itu, mencuat berbagai macam spekulasi bahwa para generasi milenial yang terjun dalam dunia politik tidak hanya harus terfokus dalam satu wadah politik saja, ada berbagai pilihan yang layak bahkan patut diusahakan demi program politik baik itu berkecimpung dalam wadah ormas, hubungan diplomatik, NGO, maupun Partai Politik itu sendiri.
Tantangan Politik Tanah Air
Tahun politik telah tiba, perhelatan akbar mulai dari pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah (mulai dari bupati hingga gubernur) yang baru saja selesai diberlakukan, bahkan pemilihan presiden (pilpres) 2019 mulai bermunculan di berbagai titik di indonesia.
Bahkan tak ayal hajatan elektoral tersebut memancing para pemerhati politik untuk berlomba-lomba memberikan penilaian bahkan prediksi akan perjalanan tahun politik ke depan. Mulai dari perdebatan akan capres dan cawapres, peta koalisi partai politik peserta pemilu, hingga kejutan demi kejutan kemunculan berbagai tokoh baru baik itu dari kalangan politik, militer, pengusaha bahkan lahir nama-nama tokoh milenial pembangkit semangat kebangsaan dalam nama-nama yang diajukan oleh mereka.
Jika dicermati dengan baik, hasil polling dari berbagai macam lembaga survey melahirkan nama-nama tokoh muda dalam perebutan tahta capres dan cawapres 2019, mulai dari Akbar Faisal (Nasdem), Hidayat Nur Wahid (PKS), Priyo Budi Santoso (Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Hary Tanoesoedibjo (Perindo). Bahkan ada beberapa nama yang paling sering mencuat diantaranya Gatot Nurmantyo representasi militer, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) representasi Islam, serta Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) representasi muda.
Atas berbagai macam kebimbangan yang menghantui para masyarakat, terutama para pegiat politik tanah air. Tak ayal muncul berbagai pertanyaan diluar sana akan siapa tokoh capres dan cawapres yang akan mengisi bangku bakal calon peserta pemilu 2019, apakah akan lahir tokoh-tokoh dari kaum milenial atau bahkan kembali didominasi oleh mereka para tokoh senior pegiat politik yang lama malang melintang ditanah air. Dan akankah kembali muncul tokoh kejutan yang akan memenangkan pemilu kedepan atau petahana lah yang akan kembali memimpin republik ini.
"Melek" atau "Bungkam" ?
Pada era milenial saat ini, generasi milenial dianggap dapat berperan besar untuk membangun bangsa, dengan cara berpikir mereka yang lebih luas daripada orang-orang dimasa lalu dianggap dapat menghasilkan suatu gerakan positif melalui program-program kreatif serta daya fikir inovatif yang dapat diterapkan di bangsa ini yang berpeluang menghapus pemikiran-pemikiran rakyat yang masih primitif.