Aku membaca keadaan di dunia kampusku, bermacam orang yang berkecimpung dalam banyak keadaan dan kondisi yang berbeda-beda. Dari yang mengikuti perjalanan hidupnya sampai yang tidak ingin tahu tentang apa yang terjadi pada dirinya sendiri apalagi yang terjadi disekitarnya, sedikit mengocok perut kadang. Kadang juga aku harus menggelengkan kepala menyaksikan semua berjalan begitu dinamis.
Gaya seorang mahasiswa yang khas, ada yang sangat “necis” penampilannya sampai pada mahasiswa yang penampilannya tidak dapat disimpulkan bahkan dengan kata-kata yang sangat tidak teratur sekalipun. Berbeda jauh, mungkin sejauh 2013 KM dari keadaannya waktu mejadi siswa dulu, yang selalu dipaksa berseragam rapi dan tepat waktu, karena pasti tidak akan menemukan pintu gerbang bila terlambat , di tambah ancaman skors dari sekolah kalau sampai bebrapa kali terlambat dan bonus di marahin orang tua yang pastinya tidak akan berhenti sebelum kupingnya memerah lebam.
Mahasiswa? Ya, mahsiswa. Suatu semat yang seakan amat mulia di sandang anak yang mulai hilang ingusannya, mendapatkan berbagai “doktrin” dan “hasutan” dari seniornya pada awal masa masuk kampus, terutama saat OSPEK semua mahasiswa jurusan diberi shock therapy ala senior-seniornya yang sudah disetting sedemikian rupa. Yang paling sering terlontar dari mulut senior yang kadang belum sempat sikat gigi dan harus ngospek adalah “kalian harus tahu, mahasiswa itu adalah agent of change, agent of control dll” dan membuat sesak nafas mahasiswa baru yang tidak pernah mendapat perlakuan kasar dengan kata-kata namun saat awal masuk kuliah harus sarapan kata-kata kasar dari senior-seniornya. Terlepas semua itu mendidik atau tidak, namun itulah yang terjadi.
Aku menilik ada dua macam mahasiswa yang menarik di dunia kampus, ada yang suka nulis opini di Koran-koran dan mendapatkan uang bisa nambah uang jajan, ada juga yang suka membuat “aksi” demi menyampaikan aspirasinya, baik kepada pihak kampus ataupun pemerintah, jenis yang kedua ini tidak segan-segan “turun” ke jalan demi menyuarakan aspirasi masyrakat kecil.
Perlu di ketahui ternyata keduanya ini dalam satu kesempatan saling “sok-sok-an”. yang suka nulis opini di Koran-koran kalau melihat mahasiswa melakukan “aksi turun” jalan mengatakan, “alah, mahasiswa kok gitu sih, apa gak capek, apa gunanya sih demo-demo gitu, gak ada kan. Mending dengan cara yang baik-baik, gak usah pakek cara kekerasan gitu kan bisa”. Mahasiswa jenis ini kalau ngomong emang paling “joss”, karena suka nulis pastinya banyak baca donk, bagaimana bisa nulis kalau gak pernah baca. Jadi banyak ilmu yang dia dapat dari membaca itu, walau ada sebagian tidak pernah mendiskusikan hasil bacaannya itu, karena ilmunya untuk konsumsi pribadi.
Sedangkan yang mahasiswa suka “aksi turun” jalan juga menggunjing yang suka nulis di Koran, dengan mengatakan, “alah, bisanya nulis, ya kalau dibaca, wonk belum tentu yang dikritik baca opininya, apalagi Cuma masuk di Koran-koran lokal, hadewhhhhhh. Mending bergerak daripada diam mengeram di tempat tidurnya saja, ini menyuarak suara rakyat”. Mahasiswa jenis ini kalau ngomong tidak kalah “joss”nya karena jangan salah mereka juga suka baca buku, namun berbeda dengan yang nulis di Koran-koran, jenis yang kedua ini kalau baca buku setelah itu didiskusikan untuk mendapatkan penjelasan yang lebih komprehensif agar pemahamannya tidak sepotong-sepotong.
Yang paling menarik yang kedua ini, karena apa yang mereka lakukan tanpa ada iming-iming uang atau apa, mereka memang memperjuangkan suara rakyat. Terlepas juga ada yang berjuang demi bayaran, bagi mereka yang tidak punya hati nurani kepedulian terhadap rakyat. Berbeda dengan yang pertama, yang pastinya akan mendapat bayaran bahkan sangat bersemangat lagi menulisnya dengan honor yang sering dia dapatkan itu. Dan yang kedua selalu berkata bahwa apapun yang dilakukannya adalah demi rakyat kecil, selalu mengawal kebijakan pemerintah dan bila tidak sesuai dengan yang sudah ditetapkan maka akan “turun” jalan.
Aku menilai sangat lucu keadaan dua jenis mahasiswa tersebut, karena sama-sama tidak tahu apa maksud yang di perjuangkannya, tidak tahu konsep pekerjaannya dan kadang harus saling menghujat walaupun hanya dibelakang tembok setebal baja 5 M.
Tapi tidak semua mahasiswa mempunyai ciri seperti di atas, dan tidak semua mahasiswa penulis opini seperti yang aku asumsikan dan tidak semua mahasiswa aktifis dan suka demo seperti yang aku anggap. Aku menulis itu sesuai yang aku dapat selama kuliah sampai duduk di semester enam saat ini, aku melihat, menilai dan tertawa sendiri kadang menyaksikan keadaan lucu itu. Kadang menggerutu bahwa apakah mereka tidak pernah koreksi diri tentang gunjingan yang mereka lempar satu sama lain.
Aku berkesimpulan dengan beberapa gambaran di atas bahwa mahasiswa jenis pertama adalah mahasiswa dengan semboyan “DO LESS TALK (WRITE) MORE” dan jenis mahasiswa kedua berkeyakinan dengan semboyan “TALK LESS DO (ACT) MORE”.
Musolli Ibn Abdu al Aziz
Surabaya, 01-04-2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H