Mohon tunggu...
Musolli Moez
Musolli Moez Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

sastra, iya, aku yakin punya jiwa itu, walaupun tak seorangpun yang lahir dari rahim ibuku menajdi sastrawan. tapi aku merasa aku dilahirkan dari rahim yang mempunyai selera santra. iya, akan menjadi sastrawan handal pada jamannya.

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Pupus Harapan untuk Semester 6

15 Juni 2013   10:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:59 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Isu tidak cairnya dana bidikmisiku sudah memuncak, sudah ada kejelasan kalau memang tidak akan cair dana bidikmisiku, sudah pupus, putus. Rasa ceria yang kemarin aku paksakan, semua hanya sia-sia, bias saja, fatamorgana. Kini saatnya aku juga merasakan sengsaranya dikhianati para petinggi, pejabat Negara “yang terhomat”. Betaba menyiksa siksaan mereka, “lebih baik dipukul daripada diiris hati ini” itulah kata-kata pujangga yang sering aku konsumsi, sekarang aku rasakan perihnya sakit hati yang sebenarnya.

Aku malu pada pertiwiku, negeri ini hanya diisi oleh orang-orang bermental busuk, tidak punya otak bahkan terkesan dungu. Semester 6 ini seakan mau mengakhiri semuanya, semua harapan dan cita-citaku, entah aku bisa bertahan sampai kapan. Mungkin kalau belum cair juga sampai semester 7 atau 8, maka aku tidak tahu siapa yang akan membiayai semua yang aku butuhkan untuk semester puncak itu, tidak sedikit dana yang diperlukan untuk semester puncak itu.

Aku malu pada orang-orang yang mengelu-elukanku, yang bisa dapat program beasiswa bidikmisi, dijadikan rujukan untuk bertanya bagi yang mengharapkan mendapatkan beasiswa ini. Sungguh menggiurkan kata-kata beasiswa itu, walaupun sebenarnya diperuntukkan bagi keluarga yang kurang mampu tapi yang berkecukupan juga berlomba untuk mendapatkan beasiswa ini. Aku malu kalau masih menggantungkan, meminta subsidi pada kedua orang tuaku, karena sudah 5 semester sebelumnya aku sudah dapat dihidupi oleh program beasiswa yang sangat mengesankan ini.

Aku di jurusan tafsir hadis, fakultas usuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya, di semester 6 ini, perkuliahan tafsir dan hadis berkaitan dengan Siyasah Imarah, iya, tentang kepemimpinan. Pembahasan kepemimpinan di kaji dengan serius sesuai dengan tema yang didapat masing-masing teman kelasku, kadang mendapat kerancuan dengan keadaan nyata yang disaksikan dengan apa yang diajarkan dalam dua sumber kitab utama dalam Islam tersebut. Kadang mengalami kebingungan, ketika mengaca pada keadaan nyata yang dilakukan oleh para pejabat yang notabene beragama Islam, banyak tindakan mereka tidak mencerminkan sebagai seorang Muslim.

Dari kajian-kajian perkuliahan yang semacam itu, sering aku merenung, bagaimana bisa seorang Muslim tidak bangga dengan kemuslimannya?. Kok bisa mengaku seorang muslim kalau tidak bisa menjadi muslim sebenarnya, apalagi menjadi pejabat? Bukannya dalam Islam sudah jelas, bagaimana menajdi seorang pejabat atau pemimpin yang baik? Sekarang ada lagi, lembaga yang bernama Kementrian Agama (disingkat: KEMENAG), mayoritas atau mungkin semua pejabatnya orang Muslim malah menjadi sarang korupsi yang renyah, masalah demi masalah terus sambung-menyambung.

Aku yang mahasiswa bidikmisi jadi bingung dengan keadaan seperti di atas, sebenarnya mau dibawa kemana Negara ini dengan keadaan pejabatnya yang hampir semuanya sama saja. Sama-sama tidak punya akal yang benar-benar sehat, setelah menjadi pejabat, menduduki satu jabatan yang bersangkutan menjadi pikun, menjadi amnesia dengan apa yang mereka janjikan sebelum menjadi pejabat Negara. Semua dilupakan, semua hilang dari ingatannya.

Ada satu keadaan janggal lagi, pada saat pelantikan semua yang menduduki jabatan akan mengucapkan sumpah. Akan tetapi, pada pelaksanaannya seakan apa yang disumpahkan hanyalah angin belaka yang berlalu tanpa kata, kalau mereka memang muslim asli, pasti mereka tahu ancaman di akhirat nanti. Kalau mereka masih beriman pada hari akhir, mereka akan berpikir dua kali untuk melanggar sumpah mereka yang pasti di awali dengan basmalah dan dua syahadat.

Aku sebagai mahasiswa tafsir hadis kadang juga geleng-geleng kepala dengan keadaan seperti di atas, tidak habis pikir. Apa aku terlalu normatif? Mungkin saja. Tapi tetap, semua bila tidak sesuai prosedur pasti salah, semua pasti berantakan. Bahkan nasib dari bidikmisiku, tidak tahu kemana larinya uang banyak itu, entah berapa ratus juta atau triliun. Setelah ada isu teman-teman ingin turun jalan, baru dari pihak rektorat kampusku mau bergeming, mereka merasa peduli (topeng saja), memberikan talangan tapi lebih pada sogokan 300.000 yang sama sekali tidak menutupi dari separuh utangku.

Aku menyadari itu hanya sebagai obat bius saja, lakban paling manjur untuk menutup mulutku, karena kemarin menyebar kabar turun jalan (demo), dan ternyata sukses, hampir semua temanku mengambil uang pembius dan pembungkam itu. Aku sebenarnya sudah menyangka, karena teman-teman seangkatanku sudah tidak mau kumpul saat tidak ada kata uang di dalam undangan itu, apalagi yang kataku, aku itu peduli sama mereka, ternyata aku salah, mereka tidak butuh rasa perduliku. Rencana turun jalan itu bukan untuk perutku saja sebenarnya, tapi aku mau mencari kejelasan yang sering disembunyikan, dan teman-teman senasibku dapat mendapatkan haknya kembali, sekali lagi aku salah sangka dengan mereka, mereka sama sekali tidak butuh perjuanganku.

Saat pertama kali aku sms kemarin, aku mau jelasin semua mengapa harus turun jalan pada teman-teman senasibku, tapi nihil, yang hadir hanya mereka yang benar-benar orang kurang mampu dan memperjuangkan nasib untuk mendapatkan haknya. Awal pertemuan itu sebenarnya aku sudah agak pesimis bisa mengajak yang mayoritas untuk bisa bergabung untuk mendapatkan hak yang semestinya dan itu benar, pagi tadi menjadi bukti dari perkiraanku kemarin-kemarin. Hampir semua terbius dengan uang 300.000, tanpa mereka mau tahu karena apa uang itu ada, padahal bulan-bulan sebelumnya tidak ada geming dari pihak rektorat untuk menurunkan uang yang semisal, tapi setelah isu demo mengemuka, maka uang itu muncul. (BullShit).

Semester 6 ini begitu banyak harapanku saat masuk di awal semester, mengharap tidak lama dari masuknya kuliah akan cair, tapi itu ternyata dicampur dengan kebohongan dan bumbu bau mulut pendusta. Semuanya pupus, aku tidak dapat berkutik, entah siapa yang akan mensubsidiku. Keadaan seperti ini sama sekali tidak terduga, hanya karena keserekahan beberapa orang saja aku jadi begini, ya, mungkin hanya aku. Satu semester sudah pasti tidak akan cair, entah semester depan, masih gelap.

Sebenarnya ada sidikit-banyak yang seberpikiran denganku, tapi tidak sedikit pula yang bersebrangan, ya, mereka yang ingin instan, yang cuek dengan keadaan sebenarnya. Semester 6 penuh dengan hutang, penuh dengan harapan kosong, penuh dengan penderitaan, pengalaman paling mengesankan, jadi korban keserakahan pejabat Negara yang terhormat. Apalagi yang dapat kulakukan, aku tak tahu, yang ada hanya aku harus berusaha, dan rasa ketidak percayaanku semakin menajam hampir pada semua aspek di negeri ini.

Sekarang hanya tinggal Allah swt yang satu-satunya dapat dipercaya, dan tidak akan berspekulasi untuk hambanya. Rasa kecewa yang sebenarnya kini sudah aku rasakan, entah berlanjut atau tidak, serasa aku tidak ingin mendapatkan informasi yang seperti ini, aku sudah muak. Tapi, mudah-mudahan mereka di atas yang terhormat semoga mendapat hidayah, termasuk pengurus AMBISI, agar hatinya tergugah dengan kesadaran yang sebenar-benarnya. Amin.

Bidikmisiku, semoga kabarmu baik-baik saja di sana, semoga tidak ada yang menyakitimu, aku di sini menunggumu, sampai aku selesai menghabiskan jatah 8 semesterku denganmu. Sungguh membanggakan kamu, hingga semua orang yang aku sayangi tersenyum simpul karena adanya kamu. Kamu penyambung cita-citaku, terimakasih, semua ini mungkin jalan menuju suksesku, mungkin ini pelajaran dari Allah swt buatku. Iya, karena kamu sengaja di datangkan telat padaku, jadi aku di uji kesabaranku, kekritisanku, rasa simpatiku, rasa empatiku walaupun semua dianggap omong kosong.

Pertiwiku, jangan menangis, semua ini bukan salahmu, semua ini akan segera berakhir, karena kamu tahu kan, sudah ada yang akan meredam semua yang berkaitan dengan kekacauan ini, sudah ada bibitnya. Secepatnya bibit itu akan tumbuh subur, walaupun tidak di pupuk dengan pupuk urea dari pemerintah sekarang yang hasil dari pembusukan hati mereka. Pertiwiku, cita-citamu akan terwujud dengan putra kebanggaanmu yang kau idam-idamkan. Semoga.

Musolli: 14-15/06/2013

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun