[caption id="attachment_320538" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas.com)"][/caption]
Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang dikutip DetikFinance menyebutkan bahwa hingga akhir September 2013 utang pemerintah Indonesia telah mencapai Rp 2.273 triliun (Senin, 28/10/2013). Jumlah utang pemerintah Indonesia tersebut, jika dibagi rata dengan jumlah penduduk Indonesia hasil Sensus Penduduk tahun 2010 sebanyak 237.641.326 jiwa, maka setiap orang Indonesia pada akhir September 2013 telah memiliki utang sebesar Rp 9.564 juta.
Jumlah utang pemerintah Indonesia terus bertambah besar karena pertama nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat terus melemah menjelang akhir 2013. Sampai sekarang kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat telah mencapai Rp 12.130 per dolar Amerika Serikat (
(sumber https://www.google.com/search?q=kurs+rupiah+bterhadap+dolar +Amerika+Serikat, 27/1/2014).
Kedua, pemerintah terus menambah utang baru. Tahun 2014 pemerintah merencanakan untuk menambah utang baru sebesar Rp 154,2 triliun atau 1,49 persen terhadap PDB. Utang tersebut untuk menutup defisit anggaran, karena tahun 2014 direncanakan total anggaran pendapatan negara sebesar Rp 1.662,5 triliun. Sementara total Belanja Negara (APBN) tahun 2014 sebesar Rp 1.816,7 triliun (sumber: Pidato Kenegaraan Presiden SBY, 16/8/2013).
Peningkatan jumlah APBN dari tahun ke tahun patut disyukuri. Sebagai gambaran, tahun 2013 jumlah APBN sebesar Rp 1.657 triliun, pada tahun 2014 direncanakan meningkat menjadi Rp Rp 1.816,7 triliun.
Akan tetapi, peningkatan jumlah APBN paralel pula dengan peningkatan utang pemerintah Indonesia dan tidak meningkat kesejahteraan dari sebagian besar rakyat Indonesia.
Utang Meningkat Drastis
di Masa Presiden SBY APBN Indonesia di era Orde Reformasi, telah meningkat jumlahnya sekitar lima belas kali dibanding APBN pada akhir Orde Baru. Pada saat yang sama, meningkat pula utang pemerintah Indonesia yang mencapai lebih dari 300 persen dibanding utang di masa Orde Baru. Peningkatan utang yang sangat tajam terjadi pada awal Orde Reformasi. Total utang di akhir Orde Baru (1997) sebesar Rp 552,5 triliun atau 57 persen terhadap PDB.
Pada akhir 1999 utang pemerintah Indonesia meningkat drastis menjadi Rp 939,5 triliun atau 85 persen terhadap PDB (sumber: Kompas.com, Orla Mewarisi, orba Menambah Utang Luar Negeri, Jumat, 2 September 2011)
Peningkatan jumlah utang terjadi secara dramatis di masa pemerintahan Presiden SBY. Selama 9 (sembilan) tahun masa pemerintahannya yaitu dari 2005-2013, total utang yang dilakukan pemerintahannya sebesar Rp 1.496,12 triliun, dengan perincian: Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%) * Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%) * Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%) * Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%) * Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%) * Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%) * Tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (25%) * Tahun 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3%) * September 2013: Rp 2.273,76 triliun (27,5%) (Sumber: DetikFinance, 28/10/2013)
Mengapa Tidak Meningkat Kesejahteraan Rakyat
Sejatinya kalau APBN meningkat dan utang meningkat dalam jumlah yang luar biasa besar, rakyat makin sejahtera, kehidupan rakyat semakin bertambah baik.
Namun dalam realitas, yang terjadi pada rakyat jelata (wong cilik) adalah sebaliknya. Mereka semakin susah dan terpinggirkan. Penyebabnya antara lain: pertama, APBN yang ditopang dengan utang, tidak disasarkan untuk membangun ekonomi yang berkeadilan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, di mana pemerintah wajib memberi affirmative action untuk memberdayakan dan memajukan mayoritas rakyat Indonesia yang masih miskin, kurang pendidikan dan tertinggal.
Pemerintah membangun ekonomi, mengamalkan asas persaingan bebas (free competition), sehingga hasilnya tidak memberi manfaat nyata bagi kemajuan rakyat jelata, justru semakin memperkaya mereka yang sudah kaya dan maju.
Kedua, di era Orde Reformasi terlalu banyak kementerian dan lembaga negara yang didirikan, serta pembentukan daerah baru seperti kabupaten, kota dan provinsi, sehingga banyak menghabiskan anggaran belanja. Selain itu, pemerintah tidak hidup sederhana, hemat dan efektif dalam menggunakan anggaran belanja negara, dan terus menambah jumlah pegawai, sehingga anggaran belanja negara banyak terkuras untuk membayar belanja pegawai.
Ketiga, beban negara untuk membayar cicilan utang pokok dan bunga sangat besar dan terus meningkat jumlahnya. Sebagai gambaran:
Tahun 2010
- Cicilan utang pokok Rp 124,68 triliun - Cicilan bunga Rp 105,65 triliun,
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 230,33 triliun
Tahun 2011
- Cicilan utang pokok Rp 141 triliun
- Cicilan bunga Rp 106 triliun Total
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 247 triliun
Tahun 2012
- Cicilan utang pokok Rp 139 triliun
- Cicilan bunga Rp 122,13 triliun
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 261,13 triliun
Tahun 2013
- Cicilan utang pokok Rp 160,421 triliun
- Cicilan bunga Rp 111,798 triliun
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 272,219 triliun
Sumber:
* Blog.resistnews.web.id/2012/catatan kritis atas pembangunan.html –
* DetikFinance, Kamis, 23/01/2014 08:04 WIB
Mengapa Rakyat Jelata Makin Susah
Sebagai sosiolog dan peneliti yang sering turun ke masyarakat bawah, saya menyaksikan kesulitan yang dihadapi rakyat jelata (wong cilik).
Selain itu, saya mendengar keluhan dan ratapan masyarakat bawah dari berbagai daerah dalam beberapa dialog interaktif di awal 2014 ini melalui Radio Elshinta Bandung dan Radio Elshinta Jakarta serta RRI Pro 3 Jakarta, pada saat saya menjadi narasumber (pembicara) dalam berbagai dialog tersebut.
Masyarakat bawah makin susah hidup mereka di era Orde Reformasi dibandingkan era Orde Baru. Sebabnya, pertama, mahalnya harga sembilan bahan pokok (sembako). Ekonom Dr. Hendri Saparini, dalam acara peluncuran CORE Indonesia di Musium Nasional beberapa waktu lalu. Dia mengemukakan bahwa dalam lima tahun terakhir sembilan bahan pokok (sembako) telah meningkat harganya sekitar 60 persen, yang berarti harga sembako mengalami kenaikan harga setiap tahun sebesar 12 persen.
Kenaikan harga sembako dan semua jenis barang tidak disertai dengan meningkatnya pendapatan rakyat jelata, sehingga mereka merasakan meningkatnya kesulitan hidup yang dialami.
Maka fenomena rakyat jelata merindukan Presiden Soeharto belakangan ini, sangat berkaitan erat dengan kesulitan hidup yang dialami rakyat jelata akibat harga sembako tidak terjangkau harganya oleh rakyat jelata.
Hal itu terjadi karena kegagalan pemerintahan Presiden SBY dalam politik sembako yang menyerahkan harga sembako kepada mekanisme pasar bebas. Puncak kekecewaan rakyat jelata, mereka kemudian mengenang masa pemerintahan Presiden Soeharto, walaupun tidak ada kebebasan, dan dianggap kejam serta otoriter dalam menjalankan pemerintahan, tetapi harga sembako murah dan terjangkau harganya oleh rakyat jelata.
Kedua, pekerjaan susah mendapatkan sekarang. Rakyat jelata (wong cilik) dalam berbagai kesempatan mereka mengemukakan kepada saya bahwa mereka lebih mudah mendapatkan pekerjaan di masa Orde Baru dibandingkan di era Orde Reformasi. Sekalipun gaji yang diperoleh dari hasil pekerjaan tidak besar di masa Orde Baru, tetapi karena sembako murah, maka pendapatan yang diperoleh dirasa cukup dan bahkan bisa menabung. Inilah kondisi umum yang dirasakan rakyat jelata, sehingga rasa tidak puas terhadap pemerintahan Presiden SBY sangat besar.
Kesimpulan
Saya sangat prihatin melihat kenyataan bahwa masa pemerintahan Presiden SBY yang panjang selama hampir 10 (sepuluh) tahun di era Orde Reformasi, dan pada tahun 2014 ini akan mengakhiri masa pengabdiannya sebagai Presiden RI selama dua periode yaitu 2004-2009 dan 2009-2014, gagal membawa peningkatan kehidupan ekonomi dari mayoritas bangsa Indonesia, yang dapat menjadi “success story” yang akan dikenang sepanjang masa oleh rakyat Indonesia selama Presiden SBY memimpin Indonesia.
Pada hal dalam sembilan tahun masa pemerintahan Presiden SBY (2005-2013) telah berutang sebesar Rp 1.496,12 triliun, sehingga total utang pemerintah Indonesia saat ini telah mencapai Rp 2.273,76 triliun.
Jumlah utang pemerintah Indonesia masih akan mengalami peningkatan pada tahun 2014. Semoga pada tahun-tahun mendatang ditemukan solusi untuk berhenti berutang.
Akhirnya saya mengemukakan rasa sedih yang amat mendalam bahwa meningkatnya utang pemerintah Indonesia yang luar biasa besar dari tahun ke tahun, tidak memberi manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia.
Saya mengharapkan model pembangunan yang dijalankan sekarang ini segera diakhiri karena bertentangan dengan tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Semoga Pemilu 2014 menghasilkan wakil-wakil rakyat yang lebih memihak kepada amanat penderitaan rakyat serta berhasil memilih Presiden dan Wakil Presiden RI yang tidak lagi memiliki kepentingan apapun kecuali ingin mewujudkan “Indonesia Raya” yang maju, bersatu, adil dan makmur. Jakarta, 28 Januari 2014
Musni Umar adalah Sosiolog, Direktur Institute for Social Empowerment and
Democracy (INSED)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H